Minggu, 20 November 2016

Teori Akad Dalam Islam

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan bisa terlepas dengan manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan tersebut sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhi segala yang dibutuhkan, dan harus berhubungan dengan orang lain. 

Hubungan antara satu orang dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan haruslah terdapat aturan yang dapat menjelaskan hak dan kewajiban antara keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan antara keduanya inilah yang lazim disebut dengan istilah akad. 

Akad adalah penentu yang dijadikan parameter sesuatu itu dianggap sah, karena secara keseluruhan transaksi-transaksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari akad. Sehingga dapat dikatakan bahwa akad adalah penentu dari semua transaksi. 

Begitu pentingnya masalah akad dalam kehidupan sehari-hari, maka penulis mencoba mengulas sedikit mengenai teori-teori akad dalam Islam. Lebih fokusnya akan membahas mengenai pengertian, hubungan antara akad dan tasharruf, hubungan akad dengan iltizam, rukun akad, syarat akad dan implikasi dari akad itu sendiri. 

Pengertian akad, Hubungan akad dengan Tasharuf dan akad dengan Iltizam, Akad Tasharuf, Tasharruf, Pengertian Iltizam,
Teori AKAD dalam Islam


PENGERTIAN AKAD 


Kata akad berasal dari bahasa Arab al-‘aqd yang berarti ikatan dan tali pengikat.[1] Istilah tersebut mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, bahwa akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan. 

Abu Bakar Al-Jashshosh berkata: ”Setiap apa yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk dilaksanakan secara wajib, karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu dialihkan kepada makna sumpah dan akad seperti akad jual beli dan yang lainnya, maka maksudnya adalah ilzam (mengharuskan) untuk menunaikan janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan tertentu yang akan dihadapkan pada waktu-waktu tertentu.”[2]

Dinamakan jual beli, nikah, sewa-menyewa dan akad-akad jual beli yang lain karena setiap pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya dan dinamakan sumpah terhadap sesuatu dimasa mendatang sebagai akad karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk memenuhi janjinya baik dengan berbuat atau dengan meningggalkan. 

Sebagian ulama fiqh mendefinisikan akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak dinamakan akad tapi dinamakan janji.[3] Dengan demikian dapat dibedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan dan tidak akan terjadi kecuali dari kedua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu pihak. 

Adapun makna akad secara syar’i yaitu hubungan antara ijab dan qobul dengan cara yang dibolehkan syari’at dan mempunyai pengaruh secara langsung.[4] Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qobul. 

Dengan demikian ijab dan qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.[5] Oleh karena itu, tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan kepada keridhaan dan syari’at Islam. 



HUBUNGAN AKAD DENGAN TASHARRUF DAN AKAD DENGAN ILTIZAM 


1. Akad dengan Tasharruf 


Akad adalah bagian dari macam-macam tasharruf, yang dimaksud dengan tasharruf ialah setiap yang keluar dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau yang setingkat dengan ucapan berupa aksi atau isyarat. Sehingga dalam pengertian ini makna tasharruf lebih umum daripada akad, karena akad termasuk dalam bagian tasharruf qouli.[6]

Tasharruf terbagi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharruf qouli.[7] Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah. Misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakkan benda orang lain, dll. 

Tasharruf qouli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia. Tasharruf qouli terbagi dua yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi. Tasharruf qouli ‘aqdi yaitu sesuatu yang keluar dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian. Contonya jual beli, sewa-menyewa dan perkongsian. 

Tashrruf qouli bukan ‘aqdi ada dua macam yaitu: 

a. Merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak dan memerdekakan. 

b. Tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan, jenis kedua ini tidak ada akad, tetapi semata perkataan. 

2. Akad dengan Iltizam 


Iltizam adalah sebuah tasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugurkannya baik datang dari satu pihak seperti wakaf, talak yang tidak ada nilai hartanya, juga ibra’ (membebaskan tanggungan), atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa.[8]

Dengan begitu, makna iltizam sama dengan makna akad secara umum, yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang sama atau keinginan satu pihak. Sehingga makna iltizam lebih umum dari makna akad secara khusus yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan iltizam tidak hanya menjelaskan dua keinginan yang ada kecocokannya.[9]

RUKUN AKAD 


Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqoha berkenaan dengan rukun akad. Menurut jumhur fuqoha rukun akad terdiri atas;[10]

1. ‘Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dari dua orang atau lebih. Misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasannya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki haq (‘aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq. 

2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah. 

3. Maudhu' al-‘aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah adalah memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti. 

4. Sighat al-‘aqad ialah ijab dan qobul, ijab ialah permulaan penjelasan yang dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qobul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab dan qobul dalam pengertian dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seorang yang berlangganan majalah, pembeli mengeluarkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos (jasa kurir). 


SYARAT AKAD 


Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam: 

1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat tersebut ialah:[11]

a. Ahliyatul ‘aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat). 

b. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya). 

c. Al wilyatul syari’iyah fi maudhu’il ‘aqdi (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang memiliki hak melakukan dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri). 

d. Alla yakkunal ‘aqdu au maudhu’uhu mamnu’an binashshin syar’iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang syara’). Seperti bai’ mulamasah, bai’ munabazah yang banyak diperkarakan dalam kitab-kitab hadits. 

e. Kaunul ‘aqdi mufidan (akad itu memberi manfaat). 

f. Baqoul ijbabi sholihan ila mauqu’il qabul (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qobul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum qobul batallah ijabnya. 

g. Ittihadul majlisil ‘aqdi (bertemu di majlis akad). Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qobul. 

2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai idhofi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.[12]

IMPLIKASI AKAD 


Menurut ulama fiqh setiap akad mempunyai akibat hukum. Yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula.[13] Artinya setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakuan akad memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti pemindahan kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalam akad ijarah (sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya. 

Dengan terbentuknya akad, maka akan muncul yang namanya hak dan kewajiban di antara pihak yang berakad.[14] Misalnya dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas obyek akad dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, dan berhak menerima uang sebagai kopensasi barang. Demikian juga dengan akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad yang dibentuk oleh kedua belah pihak. 



PENUTUP 


1. Kesimpulan 



Akad merupakan ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan. 

Akad memiliki dua hubungan yaitu hubungan antara akad dengan tasharruf yang artinya setiap yang keluar dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan, aksi atau isyarat. Dan akad itu sendiri termasuk dalam tasharruf qouli. Sedangkan hubungannya dengan iltizam yaitu, iltizam tidak hanya menjelaskan dua keinginan yang ada kecocokannya saja. 

Rukun akad terdiri dari ‘aqid, ma’qud ‘alaih, maudhu' al-‘aqd dan sighat al-‘aqad. 

Syarat adanya akad meliputi, syarat yang bersifat umum terdiri dari ahliyatul ‘aqidaini, qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi, al wilyatul syari’iyah fi maudhu’il ‘aqdi, alla yakkunal ‘aqdu au maudhu’uhu mamnu’an binashshin syar’iyin, kaunul ‘aqdi mufidan, baqoul ijbabi sholihan ila mauqu’il qabul, ittihadul majlisil ‘aqdi. Serta syarat yang bersifat khusus. 

Implikasi dari akad yaitu dengan adanya akad maka akan ada akibat hukum sesuai dengan bentuk akad tersebut. 

2. Kritik dan Saran 

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan mengenai teori akad dalam Islam. 

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain. 

DAFTAR PUSTAKA 

[1] Abdur Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. i, hlm. 50. 
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Azmah, 2010), cet. i, hlm. 16. 
[3] Ibid. 
[4] Ibid., hlm. 17. 
[5] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 45. 
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit., hlm. 18. 
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), cet. vii, hlm. 43. 
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit., hlm. 19. 
[9] Ibid. 
[10] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Jogjakarta: Teras, 2011), cet. i, hlm. 28-29. 
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), cet. iii, hlm. 29-30. 
[12] Qomarul Huda, Op. Cit., hlm. 32. 
[13] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 29. 
[14] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 48.


EmoticonEmoticon