Senin, 10 Oktober 2016

PENERIMA WARISAN

PENERIMA WARISAN

 
PENERIMA WARISAN

MAKALAH
Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam
Dosen Pengampu :
Nur Kholis, S.H.I., M.S.I.


Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)
NAILA HUSNA (1213031)
RIFAL MAULANA AUNADIN (1213038)
________________________________________
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015 
KATA PENGANTAR 
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rohmatNya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas karya ilmiah yang “Hadits Ahkam”.
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun pada materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak yang membantu dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Aamiin.
Jepara,25 Oktober 2015

Kelompok 3 
DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii
A.    Pendahuluan    1
B.    Pembahasan    2
1.    Pengertian Penerima Warisan    2
2.    Teks-teks dan Kandungan Hadits Penerima Warisan    4
3.    Kontekstual Hadits Penerima Warisan    5
C.    Kesimpulan    8
DAFTAR PUSTAKA     9


A. Pendahuluan

Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam sunnah Rasulullah Saw, hukum kewarisan islam ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: mengganti, memberi dan mewarisi. Secara terminologis, hukum kewarisan islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah), pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[1]

Hukum kewarisan Islam yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat islam dalam usaha dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas beragama islam faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara beragama islam, tidak berlaku secara nasional. Namun, di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia.[2]

Hukum kewarisan dalam islam menjadi perhatian besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terdapat harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia, hingga sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, menunjukkan fenomena ini.[3]

Dalam pembagian warisan atas harta pewaris tidak jarang menjadi pemicu terjadinya perselisihan dalam keluarga. Agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, maka perlu pemaparan mengenai siapa-siapa yang berhak menerima warisan. Untuk mengetahui orang yang berhak menerima warisan yang lebih lanjut akan dipaparkan dalam bagian pembahasan makalah ini. Selain penerima warisan, makalah ini juga membahas mengenai hadits, makna dan kandungan, dan kontekstual hadits penerima warisan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Penerima Warisan


Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.[4] Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[5] Dengan demikian, yang dimaksut ahli waris adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani’ al-irts).[6]

Berdasarkan definisi di atas, maka syarat ahli waris yaitu:[7]

a. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

b. Mempunyai hubungan perkawinan (suami atau istri pewaris).

c. Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.

d. Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan.

Sebab-sebab mewarisi, yaitu:

a. Hubungan kekeluargaan

Hubungan kekeluargaan dibagi dua, yaitu kekeluargaan yang sebenarnya (haqiqi) dan hubungan kekeluargaan yang bersifat hukmi (yang kekeluargaan yang disebabkan oleh pembebasan budak).[8]

b. Hubungan perkawinan

Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah suami atau istri. Suami menjadi ahli waris bagi istrinya dan sebaliknya istri adalah ahli waris bagi suaminya. Adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak menyebabkan kewarisan apapun terhadap kerabat istri atau kerabat suami. Dalam hal ini anak tiri dari suami bukanlah ahli waris dari suami, demikian pula anak tiri dari istri bukanlah ahli waris dari istri.[9]

c. Hubungan agama (sesama muslim)

Untuk mengetahui hubungan agama, telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahui dari kartu identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi-bayi yang baru lahir atau anak yang dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[10]

d. Hubungan wala’ (sebab memerdekakan budak)

Majikan mewarisi kepada budaknya yang telah ia merdekakan, tidak sebaliknya. Hubungan ini sudah tidak berlaku lagi, karena setelah islam datang, perbudakan sudah dihapus oleh islam, karena perbudakan bertentangan dengan syariat islam.[11] Dalam Kompilasi Hukum Islam sebab hubungan wala’ ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini lebih-lebih di Indonesia perbudakan tidak diakui lagi keberadaannya.[12]

2. Teks-teks dan Kandungan Hadits Penerima Warisan


a. Hadits riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim[13]



وعن ابن عبا س رضي الله عنهما عن النبي ص.م. قال : الحقوا الفرائض باهلها, فما بقي فهو لآولى رجل ذكر. :متفق عليه



Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW. Ia bersabda, Serahkanlah bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya adalah untuk laki-laki yang lebih dekat (kepada mayit). (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Perkataan “serahkanlah bagian kepada yang berhak” itu maksudnya, ialah bagian-bagian yang telah ditentukan. Sedangkan mereka yang berhak itu ialah orang-orang yang telah ditentukan berdasarkan nash. Hadits ini menunjukkan bahwa sisa dari pembagian tersebut sesudah terpenuhinya semua yang berhak adalah untuk keluarga laki-laki yang terdekat (ashabah). Maka ini tidak dapat disertai oleh orang yang lebih jauh dari mayit.[14] Hadits yang disebutkan di atas menjadi landasan kewarisan ashabah yang berlaku dikalangan ulama AhluSunnah. Hadits menyebutkan kewarisan furudh dalam jumlah yang terbatas sebagai tambahan penjelas dari apa yang secara dzahir dinyatakan Allah dalam al-Qur’an.[15]

b. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah[16]

و عن عبد االله بن عمر وان النبي ص.م. قال : لا يتوارث أهل ملتين شتى. رواه أحمد وأبو داود وابى ماجه-

Dan dari Abdullah bin ‘Amr: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, Dua pemeluk agama yang berbeda tidak dapat saling mewarisi. (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Dan zhahirnya perkataan “dua pemeluk agama tidak dapat saling mewarisi” itu berarti pemeluk agama kafir (selain islam) tidak juga bisa menjadi hak waris bagi pemeluk agama kafir lainnya. Dan begitulah pendapat Al Auza’I, Malik, Ahmad dan Hadawiyah. Tetapi oleh jumhur dikatakan bahwa maksud kalimat tersebut ialah antara islam dan lainnya. Selain itu tidak ada persoalan.[17] Yang dimaksud berbeda agama di sini adalah antara orang islam dan non-islam. Perbedaan agama yang bukan islam misalnya antara orang Kristen dan budha tidak termasuk dalam pengertian ini.[18] Selain hadits di atas, Nabi SAW mempratekkan pembagian warisan, bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak bisa saling mewarisi. Yaitu pada saat Abu Thalib, aman kesayangan beliau, meninggal dunia. Abu Thalib meninggal sebelum masuk islam, meninggalkan empat orang anak, ‘Uqail dan Thalib yang belum masuk islam, dan Ali serta Ja’far yang telah masuk islam. Oleh Rasulullah SAW harta warisan diberikan kepada ‘Uqail dan Thalib. Ini menunjukkan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk mewarisi.[19]

3. Kontekstual Hadits Penerima Warisan


Ahli waris ada dua macam, pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak.[20]

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Hubungan Darah, terdiri dari:

1) Golongan laki-laki, yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.

2) Golongan perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.

b. Hubungan Perkawinan, terdiri dari, duda atau janda.[21]

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.[22]

Yang termasuk ahli waris nasabiyah laki-laki, yaitu:[23]

a. Ayah

b. Kakek dari garis ayah

c. Anak laki-laki

d. Cucu laki-laki garis laki-laki

e. Saudara laki-laki sekandung

f. Saudara laki-laki seayah

g. Saudara laki-laki seibu

h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

j. Paman, saudara laki-laki ayah kandung

k. Paman, saudara laki-laki ayah seayah

l. Anak laki-laki paman sekandung

m. Anak laki-laki paman seayah

Urutan tersebut disusun berdasarkan kedekatan kekerabatan ahli waris dengan pewaris. Kalau semua ahli waris ada, maka yang mendapat warisan adalah anak laki-laki dan ayah.

Yang termasuk ahli waris nasabiyah perempuan, yaitu:[24]

a. Ibu

b. Nenek dari garis ibu

c. Nenek dari garis ayah

d. Anak perempuan

e. Cucu perempuan garis laki-laki

f. Saudara perempuan sekandung

g. Saudara perempuan seayah

h. Saudara perempuan seibu

Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika pewaris meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah ibu, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan sekandung.

Jika semua ahli waris nasabiyah laki-laki dan perempuan tersebut ada, maka yang dapat menerima warisan adalah ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.[25]

Adapun ahli waris sababiyah, terdiri dari duda (suami) atau janda (istri).

Apabila semua ahli waris nasabiyah dan sababiyah tersebut ada pada saat pewaris meninggal, maka yang berhak menerima bagian adalah: anak laki-laki dan perempuan, ayah, ibu, janda atau duda.[26]

Kompilasi Hukum Islam tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Kompilasi Hukum Islam hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam ada saat meninggalnya pewaris (ps. 171 huruf c).[27] Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama islam, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menyatakan: ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahui dari kartu identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi-bayi yang baru lahir atau anak yang dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[28]

C. Kesimpulan


Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

1. Hubungan Darah, terdiri dari:

a. Golongan laki-laki, yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.

b. Golongan perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.

2. Hubungan Perkawinan, terdiri dari, duda atau janda.

Kompilasi Hukum Islam hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam ada saat meninggalnya pewaris (ps. 171 huruf c).




DAFTAR PUSTAKA



Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, Cet.3.
Kompilasi Hukum Islam
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2014.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: kencana, 2005.

[1] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm. 1.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: kencana, 2005), Cet.2, hlm. 35.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), Cet.2, hlm. 356.
[4] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 210-211.
[5] Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
[6] Mardani, Op.Cit., hlm. 35.
[7] Mardani, Ibid., hlm. 27.
[8] Mardani, Ibid., hlm. 27.
[9] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 221.
[10] Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam.
[11] Mardani, Op.Cit., hlm. 29.
[12] Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 402.
[13] Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk., (Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2001), Cet.3, hlm. 2050.
[14] Faishal, Ibid., hlm. 2052.
[15] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 42.
[16] Faishal, Op.Cit., hlm. 2084.
[17] Faishal, Ibid., hlm. 2086.
[18] Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 404.
[19] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 405.
[20] Mardani, Ibid., hlm. 35.
[21] Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam.
[22] Mardani, Op.Cit., hlm. 36.
[23] Mardani, Ibid., hlm. 36.
[24] Mardani, Op.Cit., hlm. 36-37.
[25] Ahmad Rofiq, Op.Cit.,hlm. 387.
[26] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 388.
[27] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 404.
[28] Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam.


EmoticonEmoticon