Selasa, 08 September 2015

AR-RIWAYAH BIL-MA’NA (Periwayatan Hadits dengan Makna)


AR-RIWAYAH BIL-MA’NA

(Periwayatan Hadits dengan Makna)


Periwatan Hadis


TugasMata Kuliah: Hadits dan Ilmu Hadits
DosenPengampu :MayadinaRohmiMusfiroh, M. A.
DisusunOleh:
Achmad Miftachul Alim (1213001)
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.TamanSiswa (Pekeng) TahunanJepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT kami ucap kan atas selesainya tugas pembuatan makalah dengan tema “ar-riwayah bil ma’na”ini. Dengan taufiq ridha dan inayah-Nya tugas ini dapat di selesaikan dengan baik tanpa halangan apapun.

Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Hadits dan Ilmu Hadits. Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan bagi siapa saja yang membacanya walaupun penyusun makalah ini memiliki sedikit kelebihan dan banyak kekurangan, kami mohon untuk kritik dan sarannya.



Jepara, 2April 2015



Kelompok 3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


Kehadiran hadits atau as-sunnah dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci terhadap suatu persoalan. Hadits atau as-sunnah yang menjadi penjelas atau bayan al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual al-Qur’an. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian hadits dan as-sunnah. Pendapat yang populer dikalangan ulama hadits menyebutkan bahwa hadits dan as-sunnah adalah dua istilah yang semakna.

Pendapat tersebut memunculkan perbedaan antara dua istilah tersebut. Hafid Hasan al-Mas’udi misalnya, dia menilai as-sunnah lebih luas dari hadits.[1] Pemahaman Rasulullah terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk “tradisi” atau sunnah kenabian. Sedangkan hadits merupakan penuturan tentang apa yang disabdakan Rasulullah atau yang dijalankan dalam praktik atau tindakan orang lain yang didiamkan beliau.

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits memiliki kedudukan yang sangat penting bagi umat Islam. Hadits menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak tersesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadits.

Dalam ajaran Islam, hadits atau sunnah memiliki posisi yang sangat penting, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Jika didiskusikan lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan hadits. Pertama, periwayatan dengan lafadz, yaitu hadits diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafadz hadits yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya. Kedua, periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadits dengan redaksi yang berbeda dari redaksi hadits yang diterima oleh para perawi, namun isi, maksut dan maknanya sama.

Terkait dengan hal tersebut tulisan ini akan mencoba membahas lebih jauh tentang periwayatan hadits dengan makna. Periwayatan hadits dengan makna sangat terkait dengan hadits qouliyah. Hal ini disebabkan hadits fi’liyah dan taqririyah redaksinya bukan berasal dari Rasulullah, melainkan dari sahabat yang membuat reportasi kehidupan beliau.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep riwayah bil-makna tersebut?

2. Apakah yang menjadi latar belakang munculnya riwayah bil-makna?

3. Seperti apakah riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin?

C. Tujuan Masalah

1. Agar pembaca mengetahuai bagaimana konsep riwayah bil-makna.
2. Supaya pembaca mengetahuai apa yang menjadi latar belakang munculnya riwayah bil-makna.
3. Supaya pembaca mengetahuai seperti apa riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Konsep ar-Riwayah bil-Ma’na

Riwayah bil ma’na atau dalam bahasa Indonesianya “periwayatkan hadits dengan makna” adalah meriwayatkan hadits berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan.[2] Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksutnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama. Sehingga yang masih ingat hanya maksutnya, sementara apa yang di ucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.[3]

Konsep riwayah bil-makna, dikalangan umat Islam masih sering dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadits disebabkan oleh riwayah bil-makna. Sehingga menurut mereka, riwayah bil-makna itu mencakup seluruh hadits yang membahas tema yang sama dengan menggunakan redaksi yang berbeda. Maka, jika menemukan suatu hadits dengan redaksi yang berbeda untuk satu tema, akan langsung dikatakan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan secara makna.

Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafal tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadits dengan makna.[4]


Sedangkan periwayatan hadits dengan makna menurut Luwis Ma’luf adalah proses penyampaian hadits-hadits Rasulullah saw. dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafal, karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu.[5]


Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadits secara makna, seperti: Abdullah bin Mas’ud, Annas bin Malik, Aisyah istri Rasulullah, Umar bin Dinar, Amir asy- Sa’bi, Ibrahim asy- Sa’bi, Ibnu abi Najih, Ja’far bin Muhammad bin Ali dan Fufian bin Uyainah.[6] Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadits secara makna, seperti: Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab dan Zaid bin Arqom.

Adapun contoh hadits maknawi adalah sebagai berikut:

جا ئت امرأةالى النبي صلي الله عليه وسلم واراد ان تهب نفسها له فتقدم رجل فقا ل: يارسول الله انكحنيهاولم يكن معه من المهر غيربعض القرأن فقال له النبي صلى الله عليه وسلم انكحتكها بما معك من القرأن وفىرواية, قد زوجتكها بما معك من القرأن وفىرواية, زوجتكها على معك من القرأن وفىرواية, ملكتكها بما معك من القرأن وفىرواية.

Ada seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw. yang bermaksut menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang lelaki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Maka Rasulullah berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat al-Qur’an.


Sedangkan hukum periwayatan hadits dengan makna telah terjadi perselisihan pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits secara makna. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafalnya yang di dengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya saja.

Kemudian Imam Nawawi dalam Taqrib Nawawi berkata: “Jika seorang perawi tidak mengetahui dengan lafal-lafal (sebuah hadits) dan maksudnya, tidak teliti terhadap apa yang dibawa oleh makna dari lafal itu, tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna tanpa ada perselisihan pendapat, akan tetapi wajib baginya meriwayatkan dengan lafal yang ia dengar.[7]

Sedangkan jumhur ulama’, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadits secara makna, dengan catatan bukan hadits yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah.

Ulama-ulama lain perbendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan pengertiannya saja tidak dengan lafal aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafal-lafal yang mempunyai beberapa pengertian sehingga dapat terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut, maka wajib menyampaikan dengan lafal yang ia dengar dari gurunya.

Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya baik dan terkenal bersifat jujur, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang di dengar, bukan diriwayatkan dengan makna.[8]

Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman, ia bertanya kepada Rasulullah,”Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadits darimu tetapi saya tidak sanggup meriwayatkannya menurut apa yang saya dengar yang bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka Nabi bersabda: Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai mengharamkan yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu tidak masalah.”[9]

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, ia boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat makna yang asli, karena dia telah menerima hadits, baik lafal maupun maknanya.

Iman Mawardi mewajibkan menyampaikan hadits dengan maknanya apabila lupa lafalnya, karena khawatir apabila tidak di sampaikan maka ia termasuk orang yang menyembunyikan hadits.

Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadits tersebut yang bukan diibadati dan hanya terjadi pada masa sahabat dan tabi’in. Untuk menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits tersebut harus memakai kata-kata شبهه dan كما.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa, meriwayatkan hadits dengan maknanya adalah:

1. Segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin tidak memperbolehkan periwayatan hadits dengan maknanya saja. Tokohnya Ibnu Sirin dan Abu Bakar ar-Razi.[10]

2. Sedangkan jumhur ulama salaf dan khalaf itu memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya. Tokoh: Imam empat.[11]

3. Diperbolehkan dengan syarat yang diriwayatkan tersebut bukan hadits marfu’.

4. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asalkan diyakini bahwa hadits tersebut tidak menyalahi lafal yang didengar.

5. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafal asli yang ia dengar, apabila masih ingat maka tidak diperbolehkan untuk menggantinya.

6. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut yang paling penting adalah isi, maksud yang terkandung dan pengertiannya, masalah lafal tidak dijadikan persoalan.

7. Apabila hadits tersebut tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, misalnya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a. hanya pada periode sahabat
b. bukan hadits yang telah dibukukan
c. tidak pada lafal yang diibadati, misalnya lafal tentang tasyahud dan qunut.

Sedangkan syarat periwayatan hadits secara makna banyak memunculkan kontraversi di antara ulama. Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan makna. Beliau mengemukakan alasan untuk mendukung pendapatnya tersebut. Yaitu, yang pertama sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Kedua, sahabat menyaksikan langsung tentang keadaan perbuatan Rasulullah saw. Namun pendapat yang populer dikalangan ulama hadits menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadits secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari kekeliruan.

2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafal ataupun harfiyah.

3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi. Seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawani al-kalim.

4. Periwayatan hadits secara makna atau mengalami keraguan terhadap susunan matan hadits yang diriwayatkan supaya menambah kataاوكما قلdan او نحو هدا setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.

5. Diperbolehkan hanya pada saat hadits belum dibukukan secara resmi.

Sebagian sahabat juga berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah saw. maka diperbolehkan meriwayatkan hadits secara maknawi.

Abu Rayyah memberikan persyarat, yaitu tidak boleh adanya penambahan atau pengurangan dalam penerjemahannya. Apabila sayrat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak boleh meriwayatkan hadits bil-makna, tetapi harus dengan lafal.

B. Latar Belakang Munculnya Riwayah bil-Makna


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis hadits yang hafalannya lemah dan melarang yang kuat hafalannya untuk menulis hadits, karena khawatir akan tergantung pada tulisan tersebut.[12]

Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan maknanya saja.

Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:[13]

1. Adanya hadits-hadits yang ragu dan tidak mungkin diriwayatkan secara lafal, karena tidak adanya redaksi langsung dari Nabi Muhammad saw., seperti hadits fi’liyah, hadits taqririyah, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Periwayatan hadits-hadits tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

2. Adanya larangan Nabi untuk menuliskan selain al-Qur’an. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadits. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari Nabi tentang kebolehan menulis hadits.

3. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah daripada mengingat susunan kata-katanya.

C. Ar-Riwayah bil-Ma’na Sebelum dan Sesudah Tadwin


Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum termodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal atau matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.[14]

Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan hadits secara makna bagi orang yang cukup mampu menjaga lafal hadits. Dalam hal ini pembahasan berkisar antara dua hal, yakni hukum riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin.

1. Riwayah sebelum tadwin

Tentang hukum riwayah bil-makna sebelum tadwin hadits secara resmi, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, di antaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima.

Yang menganut pendapat ini bertujuan untuk meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadits. Jika periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak ada pada mereka. Alasan lain secara ijma’, ulama memperbolehkan penerjemahan hadits dari bahasa Arab ke dalam bahasa Asing bagi orang yang mengetahui bahasa tersebut. Logikanya, jika penerjemahan kebahasa Asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti lebih baik.

2. Riwayah sesudah tadwin

Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis daalam kitab-kitab hadits. Ketika hadit itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya telah jelas. Oleh karenanya, periwayatan tidak diperbolehkan, mengingat makna asal periwayatan adalah memindahkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima dan di dengar dari Rasulullah. Sedangkan riwayah bil-makna menyimpang dari makna asal ini.

Sementara asal diperbolehkannya riwayah bil-makna adalah karena adanya darurat dalam pelaksanaannya dan kondisi khusus misalnya lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya dalam kitab-kitab, alasan yang menyebabkan adanya rikhsah telah hilang, sehingga tetap wajib untuk meriwayatkan hadits secara lafal.

Pandangan para ulama tentang periwayatan bil-makna, secara garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara mutlak, boleh secara mutlak dan boleh dengan syarat.

a. Tidak membolehkan secara mutlak
Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayatan hadits secara lafal, dan melarang sam sekali periwayatan secara makna. Mereka ini termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang secara keras periwayatan hadits secara makna ini beragumentasi bahwa:
1) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tinggi.
2) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits “nabiyyika” dengan “rasullika”.
Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar, al-Qosim, Muhammad bin Sirrin, Malik bin Annas, dan Ahmad bin Hambal.

b. Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua ini termasuk golongan mutasahil dalam periwayatan. Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna.
Periwayat yang termasuk kelompok ini adalah Hasal al-Basri, as-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakha’iy.

c. Membolehkan dengan syarat

Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah dengan menentukan persyaratan-persyaratan, mereka menghendaki periwayatan tidak terlalu sembrono dan lengah yang disebabkan kelonggaran ketentuan yang ada. Mereka menganggap periwayatan bil-makna merupakan rukhsoh bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.

Pendapat ini banyak dianut oleh para sahabat dan tabi’in, diantaranya Aisyah ra., Abu Sa’id al-Khudri, Amr bin Dinar, dll.
Penganut pendapat ini mengajukan beberapa argumentasi, yaitu:[15]
1) Perbedaan lafal hadits asal tidak merubah arti diperbolehkan, yang tidak diperbolehkan adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
2) Mengganti lafal hadits dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja diperbolehkan, maka mengganti lafal hadits dengan bahasa Arab yang muradis tentunya lebih baik.
3) Yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah hadits-haditsnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga maksud hadits berarti boleh.



BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan


Riwayat hadits bil-makna adalah periwayatan hadits yang isi dan matanya berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadits tersebut tetap sama. Meskipun dalam sejarah hadits riwayah bil-makna telah diakui terjadi secara besar-besaran, di antara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya riwayah bil-makna dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ushul fiqh serta Abu Rayyah.Sedangkan ulama yang membolehkan seperti Ibn Mas’ud, ia membolehkan apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah, dan harus dengan hati-hati.

Pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis hadits yang hafalannya lemah. Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan maknanya saja.

Periwayatan sebelum tadwin banyak ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, yaitu salah satunya mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam. Sedangkan periwayatan sesudah tadwin para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis daalam kitab-kitab hadits.

B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang ar-Riwayah bil-Ma’na.
Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika. 1995.
Ahmad Jasim, Abdul Aziz. Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil-Ma’na. Kuwait: Jami’ah Kuwait. tt.
Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhwa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
as-Sunnah Qabla al-Tadwin. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2010.
As- Suyuti. Tadrib ar-Rawi. Kairo: Daarul Hadits. 2004.
Hasan, Hafid al-Mas’udi. Minhatul Mughits. Surabaya: Andalas. Tt.
Ma’luf, Luis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq. 1973.
Ritonga, A. Rahman. Studi Ilmu-Ilmu Hadits. Yogyakarta: Interpena. 2011.
Soetari, Endang. Ulumul Hadis. Bandung: Amal Bakti Press. 1997.
Yahya, Zakariya bin Syaraf an-Nawawi adh-Dhimisyqie. Shohih Muslim. Beirut: Darul Fikr. 2009. Juz .
http:// siskanajwa.blokspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html, di akses 2 April 2015.


[1] Hafid Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits, (Surabaya: Andalas, tt), hlm.7-8.
[2] Ibid., hlm. 61.
[3] http:// siskanajwa.blokspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html, di akses 2 April 2015.
[4] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil-Ma’na, (Kuwait: Jami’ah Kuwait, tt), hlm. 24.
[5] Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hlm. 289.
[6] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1993, hlm. 132.
[7] As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), hlm. 381.
[8] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, Op. Cit., hlm. 133.
[9] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 22-23.
[10] Muhammad Athohan, Taisirul Mustholahal al- Hadits, (Sangkapura: Haramain, 1985), hlm. 172
[11] Ibid.
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, Op. Cit., hlm. 306.
[13] A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Interpena, 2011), hlm. 181.
[14] Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 213.
[15] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhwa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 133-134.


EmoticonEmoticon