Rabu, 09 September 2015

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

 


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Secara bahasa, hadits berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan maupun penetapan Rasulullah saw. Akan tetepi para ulama Ushul Fiqh, membatasi hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan apabila mencakup perbuatan maupun takrir (penetapan) mereka menyebutnya dengan as-sunnah.

Dari pengertian-pengertian tersebut, sangat menarik apabila membicarakan tentang kedudukan hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa, al-Qur’an merupakan sumber hukum primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakannya, atau hanya membicarakan secara global bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Untuk memperjelas maupun merinci keuniversalan al-Qur’an, maka diperlukan hadits atau as-sunnah sebagai penjelas dari al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam?
2. Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar?
3. Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)?
4. Bagaimana Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits?

C. Tujuan Masalah

1. Supaya Pembaca Mengetahui Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam.
2. Supaya Pembaca Mengetahui Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar.
3. Supaya Pembaca Memahami Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya).
4. Agar Pembaca Memahami Bagaimana Hubungan antara al-Qur’an dan al-Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam


Ditinjau dari segi etimologi, makna kata as-sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan tersebut terpuji maupun tercela.[1]

Sementara secara terminologi, makna kata as-sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut.[2]

1. Menurut para ahli hadits, as-sunnah sama dengan hadits, yaitu: sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.

2. Menurut para ahli Ushul Fiqh, as-sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.

3. Menurut ahli Fiqh, makna as-sunnah mengandung dua pengertian; yang pertama sama dengan yang disebut ahli Ushul Fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.

Sedangkan as-sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.[3]

Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah saw., dan dari segi fungsi as-sunnah terhadap al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Melalui al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk patuh kepada-Nya dan patuh kepada Rasulullsh saw. Allah berfirman dalam surat an-Nisaa’(4): 80:
artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasulullah, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. an-Nisaa’: 80)

Demikian juga dalam surat an-Nisaa’ (4): 59:

artinya :Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa’: 59)

Di samping itu, Allah juga memuji akhlak Rasulullah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Qalam (68): 4:

artinya :Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam: 4)

Allah juga memerintahkan umat Islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ahzab (33): 21:

artinya :Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah merupakan suatu kewajiban.[4]

Sisi yang kedua yaitu, as-sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai penompang dalam menjelaskan hukum Islam; dirumuskan dalam tiga hal.[5] Pertama, as-sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kedua, as-sunnah berfungsi menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an. Ketiga yaitu, as-sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an.

Atas dasar itu, kita hampir tidak menemukan satu contohpun bagi hukum yang dibawa oleh as-sunnah, kecuali kita temukan ketentuan pokoknya di dalam al-Qur’an, baik tersurat maupun tersirat. Pendapat ini dinukil oleh asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah, yang kemudian diperteguh oleh asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqot. Syatibi berkata, “as-sunnah dari segi maknanya (esensinya) kembali pada al-Qur’an”. Ia berfungsi merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena as-sunnah berkedudukan sebagai penjelas al-Qur’an, sesuai yang ditunjukkan oleh firman Allah swt dalam surat an-Nahl (16): 44:

Berdasarkan fungsi as-sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, maka as-sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber hukum dan dalil hukum Islam, setelah al- Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama.[6]

Setelah lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi as-sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an terdiri atas tiga kategori sebagai berikut.[7]

1. Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-Qur’an
a. Merinci ketentuan-ketentuan hukum al-Qur’an yang disebutkan secara garis besar.
b. Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam al-Qur’an. 
2. Men-takhsish ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an.
4. Menetapkan hukum baru yang menurut zahirnya tidak terdapat dalam al-Qur’an.

B. Macam-Macam as-Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar


Dalam menyampaikan sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya satu atau dua orang saja. Begitu juga halnya dengan para sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits tertentu ada yang didengar oleh banyak murid, tetapi hadits yang lainnya lagi didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang hanya didengar oleh satu orang saja. Hadits yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan daripada yang hanya disampaikan oleh satu ataupun dua orang. Sehingga, ada pembagian hadits dari segi jumlah periwayat, yaitu:

1. Hadits Mutawattir


Hadits mutawattir yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab); orang yang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk bohong.[8]

Contohnya seperti nukilan-nukilan yang mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat, kadar zakat dan yang sepertinya.

Ulama membagi hadits mutawattir menjadi dua, yaitu:

a. mutawattir lafdzi, yaitu mutawattir redaksinya. Contoh.[9]

...من كدب على متكدافليتبوأمقعجه من النار...

...orang yang berdusta atas nama saya hendaknya bersiap-siap menduduki api neraka.

b. mutawattir ma’na, yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.[10] Contoh:[11]

انماالأعمال بالنيات

bahwasannya segala amalan itu menurut niat.

Sesuatu dapat dikatakan hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat yaitu;[12]pertama, diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Kedua, adanya keseimbangan antara perawi pada thobaqot pertama dengan thobaqot berikutnya. Ketiga, berdasarkan tanggapan pancaindra.

2. Hadits Masyhur

Hadits masyhur yaitu, hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.[13]

Di antara as-sunnah ini adalah sebagian hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian diriwayatkan oleh kelompok yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta; seperti hadits:

لاضررولاضرار

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan juga tidak boleh membalas sesuatu yang membahayakan.

3. Hadits ahad

Adalah as-sunnah yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan mutawattir. Artinya, satu, dua atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasulullah yang kemudian diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan sanad seperti itu. Yakni pada setiap tingkatannya adalah perorangan, tidak sampai pada hitungan mutawatir.[14]

Perbedaan hadits dan atsar yaitu terdapat beberapa istilah yang mengandung perbedaan makna dalam membicarakan as-sunnah, hadits dan astar. Istilah sunnah bisa disandarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat, dan umat manusia pada umumnya. Istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.[15]


C. Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)


Para ulama bersepakat bahwa as-sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.



Argumen al-Qur’an yang mereka ajukan antara lain;[16]

1. Surat al-Hasyr (59): 7:


artinya :Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

2. Surat al-Nahl (16): 44:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.

3. Surat al-Imran (3): 31:

artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ada banyak hadits yang mewajibkan kita taat kepada Rasulullah. Sebagai contoh adalah hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini.[17]

Rasulullah bersabda:

كُلُّ اُمَّتِي يَدخُلُونَ الجَنَّىةَ اِلاَّمَن اَبَى قالوا: يارسول الله وَمن يَأبي؟ قال: مَن دخل الجنّةَ ومن عصاني فقَدأبيَ.

Semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau. Dikatakan kepada Beliau, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Siapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga, dan orang yang tidak taat kepadaku adalah orang yang tidak mau masuk surga.

Rasulullah juga berpesan apabila terjadi perselisihan hendaklah orang-orang kembali kepada as-sunnah, supaya kesepakatan bersama di antara mereka tidak disesatkan perbuatan bid’ah dan supaya tidak bercerai-berai. Misalnya hadits yang dikatakan Rasulullah ketika sedang haji wada’, yakni riwayat Ibn Abbas yang dinilai shahih oleh Al-Hakim serta disepakati Adz-Dzahabi:[18]

قَدترَكتُ فيكُم ماان اعتصَمتُم به فلَنْ تضِلوْا أَبداً: كِتابَ اللهِ وسنةَ نَبِيِه

Telah aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat, yakni al-Qur’an dan Hadits.

At-Tirmidzi meriwayatkan pula melalui Abdullah bin Mas’ud. Ketika sedang haji wada’, Rasulullah bersabda:[19]

لِيُبَلغَ الشا هدُالْغَا ئِبَ فان الشاهدَعسَ أن ُيبلَغ من هوأوعىَ لهُ منهُ

Hendaklah orang yang hadir (mengetahui sesuatu) menyampaikannya kepada yang gaib (tidak tahu atau tidak menyaksikan). Ada kalanya seseorang menyampaikan kepada orang yang lebih hafal menurutnya tentang hal ini.

Sedangkan menurut ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya, para sahabat telah sepakat atas kehujjahan as-sunnah. Mereka menjadikannya sebagai referensi cara pandang keagamaan mereka, serta menjadikannya sebagai sumber hukum syara’ setelah al-Qur’an.

D. Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits


Hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring al-Qur’an.[20] Artinya seorang mujtahid dalam membahas suatu kejadian tidak boleh merujuk kepada as-Sunnah kecuali setelah tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum syara’.

Sedangkan hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi hukum yang dibawanya, yaitu sebagai berikut.[21]

1. As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa al-Qur’an, sehingga hukum itu mempunyai dua sumber dan dua dalil. Hukum-hukum tersebut antara lain yaitu; perintah mendirikan shalat, menerimakan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, larangan menyekutukan Allah, kesaksian palsu, mendurhakai orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar dan perintah atau larangan lainnya yang ditetapkan oleh ayat al-Qur’an dan didukung sunnah Rasulullah yang keduannya digunakan sebagai dalil.

2. As-sunnah merinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa al-Qur’an, membatasi kemuthlakannya dan mentakhsis keumumannya. Penjelasan, pembatasan atau pentakhsisan sunnah terhadap al-Qur’an adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an. Karena Allah memberikan hak kepada Rasulullah untuk menjelaskan nash al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl: 44)

3. As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Sehingga hukum itu ditetapkan berdasarkan dalil dan as-sunnah, bukan al-Qur’an. Antara lain, haram menikahi seorang perempuan sekaligus bibi (dari ayah atau ibu) perempuan itu, memakan binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam, memakai kain sutra dan cincin emas bagi laki-laki, juga seperti dalam hadits Nabi saw.

يحرم من الرضاع مايحرم من النسب

apa yang haram sebab nasab juga haram sebab susuan.




BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sunnah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir (ketetapan) Nabi Muhammad. Kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an; yaitu, berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an, serta membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena sunnah berkedudukan sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.

Hadits (sunnah) dilihat dari jumlah periwayatnya dibagi menjadi tiga; yaitu, hadits mutawatir, hadits masyhur dan hadits ahad. Perbedaan hadits dan atsar yaitu, istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.

Jumhur ulama sepakat akan kehujjahan hadits yang merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.

Hubungan antara sunnah dan al-Qur’an yaitu menetapkan dan menguatkan hukum, merinci dan menjelaskan keglobalan hukum, serta menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang as-Sunnah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.


DAFTAR PUSTAKA



Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 1991.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Azmah. 2011.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.
Hasbi ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2013.
Hassan, Qodir. Ilmu Musththalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2007.
Idris asy-Syafi’i, Muhammad. Kitab ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pres. 2011.
Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2011.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2011.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A., Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130.
[2] Ibid., hlm. 131.
[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), cet. 1, hlm. 39.

[4] Dr. Asmawi, M. Ag., Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Azmah, 2011), cet. 1, hlm. 44.

[5] Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), cet. XVII, hlm. 161-162.

[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 141.

[7] Ibid., hlm. 141-142.

[8] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), cet. III, hlm. 83.

[9] Ibid., hlm. 84.

[10] A. Qodir Hassan, Ilmu Musththalah Hadits, ( Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), hlm. 48.

[11] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), cet. VIII, hlm. 154.

[12] Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, ( Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 97-105.

[13] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 85.

[14] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 49.

[15] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hlm. 45-46.

[16] Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Kitab ar-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 73-75.

[17] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1991), hlm. 75-76.

[18] Ibid., hlm. 77.

[19] Ibid., hlm. 81.

[20] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 44.

[21] Ibid., hlm. 45-46.


EmoticonEmoticon