BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Umat Islam mayoritas dan masih eksis di Indonesia. Karena itu tetap
menjadi sebuah peluang besar bagi umat
Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan hukum Islam. Namun idealisme
serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan tangan, tapi
butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka
merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur,
walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia adalah hukum
konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan
yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal yang menyangkut masalah
pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta waris,
sebagaimana yang banyak kita kenal dengan
Istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”.Dan sebagaimana kita ketahui
bersama, KHI ini banyak digunakan sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan
Agama. Hukum Waris Islam merupakan hukum yang harus kita jaga, semestinya
sebagai umat Islam kita harus mempelajari hukum waris dari Agama kita.Salah
satunya adalah dari Kompilasi Hukum Islam tersebut.Karena didalamnya kita dapat
melihat nilai-nilai Islam yang wajib untuk kita pelajari.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.
BagaimanaLatar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.
TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Latar
Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
2.
Hukum
Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam?
3.
Pasal
- Pasal Kewarisan Yang Termuat Dalam Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan
dengan perkembangan hukum dan peradilan
Islam di Indonesia.
Pertama, pada tanggal
25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi
Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat
legalisasi pemerintah dalam bentuk
Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi
pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
Kedua, pada tanggal
29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan lahirnya undang-undang ini,
persoalan mengenai kewenangan atau kompetensi dan hokum acara Peradilan
Agama menjadi berakhir meskipun dalam batas-batas tertentu masih dapat
dipersoalkan. Kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun
2006. Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 menjadi Undang-UndangNo.3 Tahun
2006 telah mengokohkan Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan.
Secara hukum kedudukannya sudah tidak persoalkan lagi namun di sisi lain ia
tidak mempunyai hukum materil atau hukum terapan unikatif. Untuk mengatasi
persoalan ini, Kompilasi Hukum Islam hadir sebagai hukum positif yang
diperlukan untuk landasan rujukan setiap Peradilan Agama.
Orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada
ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada
Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.
Perkawinan.
b.
Waris.
c.
Wasiat
d.
Hibah.
e.
Wakaf.
f.
Zakat.
g.
Infaq.
h.
Shadaqah.
i.
Ekonomi syariah
Didalam penjelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa
bidangkewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing
ahli waris.
Terdapat pembaruan yang cukup menonjol dalam kompilasi hukum Islam,
terutama jika dibandingkan dengan sistem kewarisan yang dikembangkan oleh Ahlussunnah.
Cerminan asas bilateral dalam kompilasi hukum Islam adalah pasal 174 ayat 2
yang berbunyi : Apabila semua ahli waris ada maka yang berhakmendapat
warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda
atau duda. Kalimat pendek dalam pasal ini mengakhiri polemik panjang
tentang apakah anak perempuan dapat menghijab (menghalangi) saudara pewaris
atau tidak.
Sistem kewarisan yang dikembangkan Ahlussunnah menegaskan bahwa
hanya anak laki-laki saja yang dapat menghijab saudara pewaris. Konsekuensi
berikutnya dari diterimanya asas bilateral adalah dikenalnya pranata pembagian
tempat (plaatsvervulling) dalam Kompilasi Hukum Islam.
Ada perbedaan yang sangat menonjol antar kedudukan cucu ( ahli
waris dalam garis lurus ke bawah ) dari anaklaki-laki dan cucu dari anak perempuan. Dua jenis cucu ini tidak mungkin
mewaris bersama-sama, sebab cucu dari anak laki-laki menghijab cucu dari anak
perempuan. Cucu dari anak laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris dzul faraid
atau ashabah, sedangkan cucu dari anak perempuan berkedudukan sebagai ahli
waris dzul arham. Ketentuannya adalah ahli waris dzul arham baru mewaris
apabila tidak ada ahli waris dzul faraid atau ashabah.
KHI yang merupakan kumpulan materi/bahan hukum islam yang tersebar
di berbagai kitab fikih klasik, di samping bahan-bahan lain yang berhubungan, kemudian
diolah melalui proses dan metode
tertentu, lalu dirumuskan dalam bentuk yang serupa perundang-undangan (yaitu
dalam pasal-pasal tertentu) lahir berdasarkan atas landasan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991.
Khusus mengenai buku II tentang hukum kewarisan, KHI memuat enam bab,
43 pasal, terhitung mulai pasal 171 sampai dengan pasal 214 dengan perincian sebagai berikut:[1]
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 171
a.
Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentangpemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahliwaris dan
berapa bagiannya masing-masing.
b.
Pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c.
Ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinandengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris.
d.
Harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya maupun
hak-haknya.
e.
Harta
warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tahjiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dan kartu
identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusanHakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.
Dipersalahkan
telah membunuh atau mencobamembunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.
Dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukanpengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatanyang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
Pasal 174
Ayat (1),
kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a.
Menurut
hubungan darah:
-
Golongan
laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki- laki, paman dan
kakek.
-
Golongan
perempuan terdiri dari: ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dan nenek.
Ayat (2),
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah,
ibu, janda atau duda.
Pasal 175
Ayat (1),
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a.
Mengurus
dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b.
Menyelesaikan
baik utang-utang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c.
Menyelesaikan
wasiat pewaris.
d.
Membagi
harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Ayat (2),
Tanggung jawab ahli waris terhadap utang ataukewajiban pewaris
hanya terbatas pada jumlah atau nilai
hartapeninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian,bila
dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengananak laki-laki, maka bagian anak
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkananak.
Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Pasal 178
Ayat (1),
Ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau duasaudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara ataulebih, maka ia mendapat
sepertiga bagian.
Ayat (2),
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambiloleh janda
atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkananak.Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidakmeninggalkan
anak.Dan bila pewaris meninggalkan anak, makajanda mendapat seperdepalapan
bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
makasaudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masingmendapat seperenam
bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat
sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh
bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara perempuan kandungatau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalampembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampumelaksanakan hak
dan kewajibannya, maka baginya diangkatwali berdasarkan keputusan Hakim atas
usul anggota keluarga.
Pasal 185
Ayat (1),
Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripadasi pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya,kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
Ayat (2),
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihidari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187
Ayat (1),
Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris
semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai
pelaksana pembagian harta warisandengan
tugas:
a.
Mencatat
dalam suatu daftar harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun
tidak bergerak yang kemudiandisahkan
oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan
uang.
b.
Menghitung
jumlah pengeluaran untuk kepentinganpewaris sesuai dengan pasal 175 ayat (1)
sub a, b, dan c.
Ayat (2),
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalahmerupakan harta
warisan yang harus dibagikan kepada ahli warisyang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan
dapatmengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukanpembagian
harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan
itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untukdilakukan
pembagian harta warisan.
Pasal 189
Ayat (1),
Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahanpertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana
semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang
bersangkutan.
Ayat (2),
Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidakdimungkinkan
karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh
seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masing masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka
masingmasingistri berhak mendapat bagian
atas gono gini dari rumahtangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan
bagian pewarisadalah menjadi hak para
ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau
ahliwarisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atasutusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya
kepada BaitulMal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Komilasi hukum Islam merupakan hukum Islam yang dijadikan atau
diadopsi kedelam hukum positif Indonesia.Hal ini tentunya terjadi karena
mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim sehigga menjadikan hukum Islam
sangat bagus untuk dimasukkan ke dalam hokum positif Indonesia. Juga sebenarnya
hukum Islam jauh lebih baik dari pada hukum-hukum yang lain. Selain itu hukum
Islam juga sangat cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
B.
SARAN
Demikian
makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca
yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan saran kritik konstruktif
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR ISI
[1] Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2011) Cet 3, hlm. 51-57.