Senin, 14 September 2015

Cara Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar (Macet)

Cara Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar (Macet)

Print
Print
Satu masalah printer yang sering kita temui adalah Tinta Warna Tidak Keluar saat mencetak. Seperti malam ini yang ku alami. Tentu saja, hal ini sangatlah mengganggu dan menghambat pekerjaan yang sedang kita lakukan. Bahkan, untuk printer tertentu, ada kasus dimana tinta warna pada printer masih penuh tetapi saat mencetak tetap saja warnanya tidak keluar sama sekali. Kenapa bisa demikian, apa sebenarnya yang terjadi pada printer kita itu? Ada beberapa sebab untuk masalah ini dan ada beberapa alternatif solusi untuk mengatasi masalah tinta warna yang tidak keluar tersebut.

Pada artikel-artikel sebelumnya sebenarnya sudah banyak kita bahas mengenai berbagai permasalahan pencetakan pada mesin printer kita. Namun situs khusus printer memang belum membahas masalah yang satu ini secara lebih rinci. Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan mencoba membahas seputar permasalahan tentang Printer Tinta Warna Tidak Keluar tersebut. Penting untuk kita mengetahui berbagai latar belakang yang mengakibatkan mesin printer kita tidak dapat bekerja secara normal seperti ini, karena hal ini akan berkaitan dengan cara mencegah printer mengalami masalah yang sama di kemudian hari.
 

Pada beberapa printer, masalah warna tidak keluar ini bisa terdiri dari beberapa jenis yaitu antara lain sebagai berikut:

  1. Warna merah tidak keluar
  2. Tinta warna biru tidak keluar
  3. Tinta warna kuning tidak keluar
  4. Semua warna tinta tidak keluar
  5. Hasil cetak warna tercampur (merah jadi biru, hijau jadi kuning, coklat jadi ungu dan sebagainya)

Dari berbagai tipe masalah tersebut ada yang mengharuskan kita melakukan penanganan yang berbeda dan ada juga yang dapat di atasi dengan menggunakan satu langkah saja. Lalu apa solusi untuk masalah tinta warna tidak keluar tersebut?

 Penyebab Tinta Warna pada Printer Tidak Keluar

Untuk dapat menentukan langkah apa yang tepat maka kita sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa yang menyebabkan tinta warna yang ada pada perangkat printer kita tidak dapat keluar saat digunakan untuk mencetak. Karena itu kita harus mencari tahu terlebih dahulu penyebabnya sebelum melakukan perbaikan. Masalah seperti ini dapat di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut:
  • Tinta telah habis
  • Tinta tersumbat
  • Cartridge rusak

Berbagai indikator penyebab terjadinya masalah pada printer tersebut di atas bisa saja terjadi karena kelalaian kita atau bisa juga karena faktor lain. Agar lebih jelas mari kita lihat satu persatu penjelasan di bawah ini.
  • Tinta telah habis

Kadang karena panik dan kurang begitu mengerti mengenai printer hal ini bisa terjadi yaitu tinta pada printer telah habis namun masih digunakan untuk mencetak. Tentu saja, karena tinta sudah habis maka saat kita mencetak maka warna tinta tersebut tidak akan keluar. Baca juga: mengatasi hasil cetak bergaris printer

Untuk mengetahuinya kita dapat memperhatikan beberapa ciri pada hasil cetakan sebelumnya. Ciri tinta printer habis biasanya akan didahului dengan hasil cetakan yang bergaris dan semakin pudar. Hal ini dapat terjadi pada semua warna yang ada. Contohnya, kalau tinta merah habis maka cetakan warna merah lama kelamaan akan bergaris dan memudar, jika yang habis tinta biru maka hasil cetakan warna biru pun akan memudar dan bergaris dan seterusnya. Lebih jelasnya, hasil cetakan dibagian atas kertas masih normal kemudian bagian tengah akan mulai pudar dan bergaris dan bagian akhir kertas akan semakin tidak jelas dan kabur.
  • Tinta tersumbat

Tinta tidak keluar bisa juga di sebabkan karena tinta tersumbat. Ada beberapa kemungkinan penyumbatan yang bisa terjadi, pertama bisa tersumbat di bagian selang tinta (jika memakai infus) atau bisa juga tersumbat pada cartridge printer-nya.

Gejala untuk penyumbatan ini juga menghasilkan hasil cetakan yang tidak sempurna yaitu bergaris, pudar dan bahkan tidak ada warna apapun yang keluar. Yang membedakan hasil cetakan tinta tersumbat dan tinta habis ini juga tidak begitu kentara apalagi jika kita tidak terbiasa dengan masalah cetak mencetak. Untuk membedakan hasil cetakan tinta habis dan tersumbat kita dapat melihat dengan teliti kertas cetakan yang ada. Jika warna pudar dan bergaris secara merata dari awal sampai akhir maka akan cenderung ke penyumbatan tinta.
  • Cartridge rusak

Kalau tinta tidak keluar bisa juga dikarenakan komponen printer kita yang bermasalah, dalam hal ini cartridge yang sudah rusak atau aus. Kalau cartridge rusak biasanya hasil cetakan akan pudar seluruhnya atau bergaris seluruhnya atau bahkan tidak keluar seluruhnya.

Jika ketiga atau salah satu penyebab tersebut terjadi pada printer yang kita gunakan maka sudah jelas bahwa hasil cetak pada printer akan mengalami masalah.

Cara Mengatasi Tinta Warna Tidak Keluar

Di atas telah dipaparkan secara rinci apa saja yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan printer ini. Sekarang dengan latar atau bekal analisa penyebab kerusakan tersebut kita dapat menentukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini. Langkah atau cara untuk mengatasi masalah tinta printer ini dapat kita bagi ke dalam 3 langkah sesuai dengan gejala dan penyebab yang ada.

Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar jika Tinta telah habis

Jika kita mengalami masalah ini maka langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan memeriksa dan memastikan bahwa tinta pada printer yang kita gunakan masih ada dan belum habis. Kita dapat memastikan tinta tersebut belum habis dengan memperkirakan berat cartridge yang ada. Jika penyebabnya karena tinta yang telah habis maka solusi yang bisa kita lakukan adalah dengan mengisi lagi warna tinta yang sudah habis tersebut.

Setelah mengisi tinta, pertama kita bisa melakukan cleaning atau deep cleaning terlebih dahulu baru setelah itu mencobanya kembali. Jika setelah di isi dan setelah dilakukan cleaning (pembersihan) pada cartridge namun masalahnya belum teratasi maka kemungkinan besar penyebabnya memang bukan karena tintanya yang habis. Jika demikian maka kita bisa melakukan langkah selanjutnya yaitu memeriksa saluran tinta.

Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar jika Tinta tersumbat

Setelah mengalami masalah ini pertama kita bisa melakukan langkah pertama di atas yaitu memastikan tinta masih cukup dan belum habis. Jika sudah dipastikan dan masalahnya belum teratasi maka selanjutnya kita bisa melakukan cek pada saluran tinta. Kita bisa cek dan memastikan bahwa saluran tinta tidak ada yang tersumbat khususnya jika kita menggunakan printer yang telah di modifikasi atau printer infus.

Cara untuk mengetahui tersumbat atau tidaknya tinta kita bisa cek pada selang tinta pada printer infus. Jika menggunakan printer standar maka yang kita cek adalah cartridge printer-nya. Untuk selang infus kita bisa mengurutnya dari awal sampai akhir dari ujung penampung sampai pada bagian cartridge. Sedangkan untuk cartridge kita bisa melakukan deep cleaning untuk mengetahuinya.

Jika selang normal maka kemungkinan besar penyumbatan terjadi pada cartridge pada printer. Kalau cartridge-nya yang tersumbat maka yang harus kita lakukan adalah menghilangkan sumbatan yang ada. Cara menghilangkan sumbatan pada cartridge ada beberapa versi yaitu:

1) Melakukan deep cleaning
2) Mengelap kepala cartridge (tempat keluar tinta) dengan tisu yang dibahasi dengan air hangat
3) Merendam kepala cartridge dengan air hangat

Masalah sumbatan yang terjadi pada cartridge merupakan masalah yang paling sering terjadi dan paling sulit untuk di atasi apalagi jika sumbatan tinta tersebut telah parah. Jika kita mengalami hal ini kita dapat mencoba mengatasinya dengan beberapa cara di atas namun sebaiknya kita mencari referensi yang lebih lengkap mengenai langkah-langkah mengatasi cartridge tersumbat yang lebih detail.

Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar jika Cartridge rusak

Kalau yang satu ini tentu solusinya paling gampang dan paling jelas. Apa solusi-nya jika cartridge sudah rusak? Jelas solusinya adalah menggantinya dengan yang baru. Tetapi hal ini bisa saja tidak berlaku bagi kita yang mampu mengatasi kerusakan tersebut seperti seorang teknisi. Jika rusaknya karena tersumbat atau tinta beku atau tinta kering yang tidak bisa lagi di atasi dengan cara-cara di atas maka masih ada satu jalan lagi yang sedikit ekstrem.

Caranya yaitu dengan membongkar penutup bagian atas cartridge dan membersihkan sumbatan dengan pembersih. Langkahnya, pertama buka tutup cartridge, kedua ambil busa yang ada di dalam lalu rendam dengan air hangat bersihkan dan keringkan, setelah itu bersihkan sumbatan pada ujung cartridge dengan alat pembersih tinta yang disedot, pasang kembali memakai perekat dan bisa di coba.

Untuk kerusakan yang belum parah cara tersebut biasanya berhasil dan cartridge bisa digunakan kembali namun ada juga yang tidak. Dalam melakukan cara ini tentunya resikonya sangat besar, tidak dianjurkan untuk kita yang belum terbiasa karena bisa merusak cartridge. Memang, terkadang kita terjepit dan harus kreatif dalam memecahkan masalah. Jika kita mengalami masalah seperti ini jika bisa belajar Mengatasi Printer Tinta Warna Tidak Keluar tersebut jika waktunya luang dan ada bahan untuk praktek.

Tutorial atau panduan ini bukan dimaksudkan untuk menggurui, informasi yang ada hanya sebatas untuk berbagi ide dan pengalaman saja. Tidak ada niat untuk menganjurkan atau memberi saran kepada pembaca siapapun itu, untuk itu jika ingin mencoba langkah-langkah di atas harap perhatikan benar bahwa kerusakan yang bisa terjadi adalah tanggung jawab masing-masing. 

Demikian sedikit tips dari kami, semoga bermanfaat...

Cara mengatasi Catridge Canon yang Tersumbat

Cara mengatasi Catridge Canon yang tersumbat

 

Catridge Canon
Catridge Canon

 

Hasil Cetak bergaris atau hasil print putus putus, ini adalah salah satu ciri Catridge tersumbat. Catrid Canon sering mengalami tersumbat. Tersumbatnya catrid Canon inilah yang akhirnya menyebabkan hasil print menjadi tidak sempurna, bergaris atau putus putus.

Penyebab Catrid Canon hasil print bergaris karena tersumbat :

1. Printer tidak digunakan dalam jangka waktu lama.

Printer yang tidak dipakai print dalam waktu lama, bisa menyebabkan tinta dalam catridge mengendap dan menggumpal. Akhirnya Catridge canon menjadi tersumbat.

2. Printer digunakan terus, akan tetapi salah 1 warna jarang digunakan.

Misalnya, printer hanya digunakan untuk print tulisan warna Hitam saja, sedangkan warna lain tidak pernah digunakan. Hal ini menyebabkan Catridge Warna idle atau menganggur atau sama saja Catridge Canon Warna tidak digunakan lama. Dan akhirnya terjadilah pengendapan dan penggumpalan tinta.

Cara mengatasi Catridge Canon yang tersumbat.

1. Isi penuh tinta pada catridge canon anda.
2. Rendam ujung head dengan cairan cleaner selama 1 malam ( untuk penyumbatan berat)
catrige direndam air hangat
catrige direndam air hangat

3. Sedot ujung head catrid dengan menggunakan Toolkit penyedot catrid Canon
4. Tempel Ujung Head catridge dengan tissu, jika tinta sudah keluar semua, Catridge siap di coba.
5. Jika masih belum sempurna keluarnya, ulangi lagi langkah no.3 penyedotan

Nah.. sudah tau kan caranya. silahkan dicoba. dan harap berhati-hati. .. selamat mencoba kawan...

Kamis, 10 September 2015

KETERKAITAN ANTARA AKHLAK DAN TASAWUF

KETERKAITAN ANTARA AKHLAK DAN TASAWUF

 
Akhlaq yang baik

MAKALAH
Tugas Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : H. BAROWI, Drs., M. Ag,
Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS  ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hubungan antara Akhlak dan Tasawuf ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak H. Barowi, Drs., M. Ag, selaku dosen mata kuliah Ilmu Tasawuf yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Hubungan antara Akhlak dan Tasawuf. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 4 April 2015

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Istilah tasawwuf tidak dikenal dalam kalangan generasi umat Islam pertama, yaitu pada masa (sahabat) dan kedua (tabiin). Sedangkan ilmu tasawwuf menurut Ibnu Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian setelah datangnya Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta genearasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi). Dalam kehidupannya, mereka gemar beribadah, berdzikir dan beraktifitas rohani lainya. Akan tetapi, setelah banyak orang Islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadah yang disebut suffiyah dan mutasawwifin.[1] Dari sinilah kemudian dia mengembangkan dan mengamalkan tasawuf sehingga diadopsi pemikirannya hingga sekarang.

Akhlak dilihat dari sudut bahasa (etimologi) adalah bentuk jamak dari kata khulk, dalam kamus Al-Munjid berarti budi pekerti, perangai maupun tabiat.[2] Di dalam Da`iratul Ma`arif, akhlak ialah sifat – sifat manusia yang terdidik. Selain itu, pengertian akhlak adalah sifat – sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, yang disebut akhlak yang mulia, sedangkan akhlak yang buruk disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya.[3]

Pokok pembahasan akhlak tertuju pada tingkah laku manusia untuk menetapkan nilainya, baik atau buruk dan daerah pembahasan akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dalam perspektif perbuatan manusia. Tindakan atau perbuatan dikategorikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang lahir dengan kehendak dan disengaja (akhlaki) dan perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tak disengaja. Nah disinilah ada titik potong antara tasawwuf dengan akhlak yang akan dibahas pada makalah ini.



B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Tasawuf ?
2. Bagaimana pengertian Akhlak ?
3. Bagaimana keterkaitan antara Tasawuf dengan Akhlak?



C. Tujuan Masalah

1. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari tasaawuf.
2. Supaya pembaca mengetahui pengertian akhlak.
3. Agar pembaca dapat memahami keterkaitan antara tasawuf dengan akhlak.



BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf


Tasawuf berasal dari kata sufi. Yaitu kata-kata yang sering dipakai oleh orang Zahid bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (w: 150 H).

Adapun asal usul kata sufi adalah sebagai berikut :

1. Ahl al-Suffah (اهل السفة ( orang yang ikut pindah Nabi dari Mekkah ke Madinah dalam keadaan miskin, karena kehabisan bekal. Mereka hidup diemperan masjid Nabi dengan menggunakan pelana sebagai bantal ( suffah atau sofa “pelana”, baik dan mulia).[4]

2. Shaff ( صف ) barisan, karena kaum sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah.[5]

3. Sufi ( صوفى ) dari su صافى dan fi صفى yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan-latihan yang berat (mujahadah).

4. Shopos dari kata Yunani yang berarti hikmah . Orang sufi berarti orang yang mempunyai hubungan dengan hikmah.

5. Suf ( سوفى ) kain wol. Orang sufi berarti orang-orang yang sering memakai wol, yang merupakan simbol kesederhanaan dan kemiskinan.

6. Sufi menunjuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau baik.

7. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.

Secara terminology (istilah), tasawuf diartikan beragam. Hal ini diantaranya karena berbeda cara memandang aktifitas-aktifitas para kaum sufi. Berikut ini ada beberapa definisi tasawuf yang diformulasikan oleh ahli tasawuf.

Ma’ruf al-karkhi sebagaimana yang dikutip oleh As-suhrwardi mengatakan: Tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.[6]

Abu bakar Al-Kattani sebagaimana yang dikutip oleh imam Al-Ghazali berkata: Tasawuf adalah budi pekerti, barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan petunjuk (nur) Islam. Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya.

Menurut Al-Junaidi Al-Bagdadi (w.297 H/910 M), selaku bapak tasawuf moderat, Tasawuf berararti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah (biologis), menjauhi hawa nafsu, memeberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, member nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah swt dan mengikuti syariat Rasulullah saw. Keberadaan bersama Allah swt tanpa adanya penghubung baginya.[7]

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Tasawuf adalah melakukan pengabdian kepada Allah dengan cara mensucikan diri, meningkatkan akhlak dan ketaqwaan kepada Allah SWT, membangun kehidupan jasmani dan rahani untuk mencapai kebahagiaan abadi atau hakiki.

Karakteristik dan Maqamat Tasawuf :


1. Karakteristik Tasawuf


Menyajikan pengertian yang lengkap tentang makna tasawuf ini adalah hal yang sulit, walau demikian ahli berusaha mengkaji tasawuf dari karakter yang paling menonjol. Pertama tasawuf diartikan sebagai pengalaman mistik. Dalam pemahaman ini tasawuf diartikan sebagai suatu kondisi pemahaman yang dapat memungkinkan tersingkapnya realitas mutlak. Pemahaman tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang bersifat demonstrative, tetapi ilham yang menusup kedalam lubuk hati, karena itu tasawuf mustahil dapat diekspresikan atau dijabarkan, karena tasawuf itu berupa kondisi perasaan yang sulit dijabarkan kepada orang lain dengan kata-kata biasa. Cirri umum dari tasawuf ialah memiliki nilai-nilai moral yang tujuannya membersihkan jiwa yang hanya dapat diperoleh melalui latihan fisik-psikis serta pengekangan diri dari pengaruh materialism duniawi.

Berdasarkan objek dan sasarannya tasawuf diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu:

a. Tasawuf Akhlaqi

Yaitu tasawuf yang sangat menekankan pada moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna meperoleh kebahagiaan yang nyata. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini meliputi ; Takhalli, yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Tahalli, yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap perbuatan yang terpuji. Dan Tajalli, yaitu melakukan tersingkapnya nur ilahi seiring dengan hilangnya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan kedua diatas atau takhalli dan tahalli.

b. Tasawuf Amali

Yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, sehingga tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah. Dan tasawuf ini juga sering disebut tasawuf Syar’i, yaitu berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Ini identik dengan tharikat, sehingga bagi mereka yang masuk tarikat akam memperoleh bimbingan dari mursyid.

c. Tasawuf Falsafi

Yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan metafisik.[8]

2. Maqamat dalam Tasawuf

Menurut abu Nasr As-Sarraj maqamat dalam tasawuf yaitu:

a. Tobat, yaitu memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan serta berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa yang telah dilakukan.

b. Wara’, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang tidak baik atau subhat. Dalam pengertian sufi wara’ adalah menghindari jauh-jauh segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).

c. Zuhud, yaitu menjauhi dari perkara yang bersifat keduniawian.

d. Fakir, yaitu tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rizqi, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

e. Sabar, yaitu menghindari diri dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah SWT, tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap perwira walaupun sebenarnya berada dalam kafakiran dalam bidang ekonomi.

f. Tawakal, yaitu penyerahan diri seorang hamba kepada Allah SWT setelah ada usaha maksimal.

g. Ridha, yaitu menerima qadha’ dan qadar Allah SWT dengan hati senang, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira.[9]

B. Pengertian Akhlak


Secara Etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari kata khuluk yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabi’at. Yang mempunyai sinonim dengan moral dan etika, moral dan etika berasal dari bahasa latin yang artinya kabiasaan. Akhlak berasal dari kata kerja khalaqa yang artiya menciptakan. Khalik artinya pencipta dan makhluk artinya yang diciptakan. Kata khalak yang mempunyai kata yang seakan diatas mengandung maksud bahwa akhlak merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak tuhan dan manusia. Dengan demikian, akhlak dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan semesta alam.

Sedangkan secara terminologi akhlak adalah:

1. Menurut Imam Ghozali:

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan.[10]

2. Ibnu maskawih :

Ahklak adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang tertanam didalam jiwa seseorang secara kuat sehingga menjadi kepribadian, dilakukan secara sepontan tanpa paksaan atau tekanan dari luar diri seseorang, dan dilakukan dengan ikhlas hanya mengharap ridho Allah SWT.

Pembagian akhlak ada dua yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah.


1. Akhlak Mahmudah artinya: akhlak yang terpuji, contoh akhlak mahmudah adalah:[11]

a. Sabar, adalah mampu menahan diri atau mampu mengendalikan amarah.

b. Ikhlas, adalah mengejakan sesuatu amal hanya semata-mata karena Allah, yakni harus mengharap ridhoNya.

c. Jujur, adalah mengatakan sesuatu itu dengan apa adanya dan harus dengan hati yang lurus.

d. Pemaaf, adalah orang yang memberikan maaf kepada peminta maaf yang menyadari kesalahannya.

e. Pemurah, adalah sikap seseorang yang ringan untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain,

f. Menepati janji, adalah orang yang datang ketempat yang sudah disepakati sebelumnya.

2. Akhlak Madzmumah adalah akhlak yang buruk atau tercela, contoh akhlak madzmumah adalah:[12]

a. Ujub dan Takabur, Ujub adalah mengagumi kemampuan dirinya sendiri. Sedangkan takabur, adalah membanggakan diri karena dirinya merasa lebih dari pada yang lain.

b. Ria dan Sum’ah, Ria adalah beramal baik dan bermaksud ingin memperoleh pujian orang lain. Sedangkan sum’ah, adalah berbuat atau berkata agar didengar orang lain sehingga namanya jadi terkenal.

c. Malas dan Tamak, Malas adalah enggan atau tidak mau melakukan sesuatu, dan Tamak( serakah) adalah terlalu bernafsu untuk memiliki sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri.

d. Dendam dan Iri hati, Dendam adalah keinginan untuk membalas kejahatan yang dilakukan orang lain atas dirinya. Dan Iri hati adalah perasaan tidak senang apabila melihat orang lain mendapat kesenangan.

e. Fitnah dan Penipuan, Fitnah adalah berita bohong atau desas- desus tentang seseorang dengan maksud yang tidak baik. Sedangkan penipuan adalah perkataan atau perbuatan tidak jujur dengan maksud menyesatkan seseorang dan mencari untung dari perbuatannya tersebut.

f. Bohong dan Khianat, Bohong adalah dusta, berarti tidak sesuaidengan keadaan yang sebenarnya., sedangkan Khianat adalah perbuatan tidak setia terhadap pihak lain.

g. Bakhil dan Takut miskin, Bakhil adalah perasaan tidak rela memberikan sesuatu kepada orang lain atau untuk kepentingan agama. Dan Takut miskin adalah rasa cemas akan menderita hidupnya karena kekurangan harta.

Sedangkan tujuan dari akhlak adalah sebagai berikut:

1. Untuk membentuk pribadi muslim.

2. Bertingkah laku yang baik demi meningkatkan derajat kehidupan manusia.

3. Menyempurnakan keimanan.

4. Sebagai pengatur cara hidup berkeluarga dan bertetangga.

5. Mengatur adab pergaulan berbangsa dan bernegara.

Jadi mempelajari ilmu akhlak bukanlah sekedar untuk mengetahui mana akhlak baik dan buruk, akan tetapi yang penting adalah, mengamalkan dan menerapkan akhlak yang luhur itu dalam kehidupan sehari-hari, sesuai tuntutan ajaran Islam.


C. Hubungan antara akhlak dan tasawuf


Ilmu tasawwuf pada umumnya dibagi menjadi tiga, pertama tasawuf falsafi, yakni tasawuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal pikiran, tasawuf model ini menggunakan bahan – bahan kajian atau pemikiran dari para tasawuf, baik menyangkut filsafat tentang Tuhan manusia dan sebagainnya. Kedua, tasawuf akhlaki, yakni tasawuf yang menggunakan pendekatan akhlak. Tahapan – tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi tampak jelas padanya). Dan ketiga, tasawuf amali, yakni tasawuf yang menggunakan pendekatan amaliyah atau wirid, kemudian hal itu muncul dalam tharikat.

Sebenarnya, tiga macam tasawwuf tadi punya tujuan yang sama, yaitu sama – sama mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah), karena itu untuk menuju wilayah tasawuf, seseorang harus mempunyai akhlak yang mulia berdasarkan kesadarannya sendiri. Bertasawuf pada hakekatnya adalah melakukan serangkaian ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ibadah itu sendiri sangat berkaitan erat dengan akhlak. Menurut Harun Nasution, mempelajari tasawwuf sangat erat kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Sunnah yang mementingkan akhlak. Cara beribadah kaum sufi biasanya berimplikasi kepada pembinaan akhlak yang mulia, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Di kalangan kaum sufi dikenal istilah altakhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau juga istilah al-ittishaf bi sifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat – sifat yang dimiliki oleh Allah.

Jadi akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan salah satu ajaran dari tasawwuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawwuf akhlaki adalah mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir terhadap siksaan Allah. Kemudian, dilihat dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari dalam tasawwuf amali, ada dua macam hal yang disebut ilmu lahir dan ilmu batin yang terdiri dari empat kelompok, yaitu syariat, tharikat, hakikat, dan ma`rifat.



BAB III

PENUTUP



A. Kesimpulan

Tasawuf adalah melakukan pengabdian kepada Allah dengan cara mensucikan diri, meningkatkan ahlaq dan ketaqwaan kepada Allah SWT, membangun kehidupan jasmani dan rahani untuk mencapai kebahagiaan abadi atau hakiki. Maqamat tasawuf terdiri dari tobat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridho.

Akhlak adalah perbuatan yang tertanam didalam jiwa seseorang secara kuat sehingga menjadi kepribadian, dilakukan secara sepontan tanpa paksaan atau tekanan dari luar diri seseorang, dan dilakukan dengan ikhlas hanya mengharap ridho Allah SWT. Akhlak ada dua yaitu madzmumah (akhlak yang tercela) dan akhlak Mhmudah (akhlak yang terpuji).

Akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan salah satu ajaran dari tasawuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawuf akhlaki adalah mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir terhadap siksaan Allah SWT. Kemudian, dilihat dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari dalam tasawuf amali, ada dua macam hal yang disebut ilmu lahir dan ilmu batin yang terdiri dari empat kelompok, yaitu syariat, tharikat, hakikat, dan ma`rifat.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurang dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Saran kami setelah membuat makalah ini, agar bagi pembaca menerapkan apa yang telah kami tulis dalam makalah ini dalam kehidupan sehari-hari, trimakasih.



DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad. Kuliah Ilmu Tasawuf. Jakarta: Bulan Bintang. 1996.
Ma`luf, Luis. Kamus Al-Munjid. Beirut: Al-maktabah al-Katulikiyah. 1998.
M.A, Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2000.
Jamil. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi. 2003.
Rahmawati, Ani. Aqidah Akhlak. Semarang: Akik Pusaka. 2011.




[1] Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 18.
[2] Luis Ma`luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Al-maktabah al-Katulikiyah, 1998), hal. 194.
[3] Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 24.
[4] H.M Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2003), hal 30.
[5] Ani Rahmawati, Aqidah Akhlak, (Semarang: Akik Pusaka 2011), hal. 3.
[6] H.M Jamil, Op. Cit., hlm. 31.
[7] Ani Rahmawati, Op. Cit., hlm. 4.
[8] Ibid., hal. 6.
[9] Ibid., hal. 7.
[10] H.M Jamil, Op. Cit., hlm. 2.
[11] Ibid., hal. 12.
[12] Ibid., hal. 13.

Rabu, 09 September 2015

Sejarah Islam Di Indonesia

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

 
Sejarah Islam DI Indonesia


A. Pendahuluan

Indonesai adalah negara dengan penduduk terbesar di dunia setelah Tiongkok, Amerika dan India. Indonesia memiliki penduduk sekita 14 juta jiwa yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Hal ini menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Tentu hal tersebut menarik banyak kalangan untuk diteliti. Bagaimana bisa negara yang sebenarnya bukan negara Arab memiliki penduduk yang mayoritas Muslim. Banyak yang mengatakan Islam di Indonesia memiliki ciri khas dengan negara-negara lainnya apalagi Arab. Perbedaan Islam di Indonesia yang moderat dengan penyebaran yang nyaris tanpa adanya kekerasan tentunya menarik untuk dikaji.

Proses penyebaran Islam merupakan proses yang penting dalam sejarah Indonesia. Ada banyak teori mengenai kapan, dimana, dan bagaimana Islam menyebar dan berkembang di Indonesia. Teori tersebut diperdebatkan oleh banyak sejarawan yang tidak mungkin mencapai suatu kesimpulan yang pasti, karena sedikitnya bukti yang tidak cukup informatif untuk dijadikan sebuah landasan teori.

Dengan berbagai dinamika dan lika-liku permasalahan yang diuraikan di atas, penulis berusaha mencoba menjawab sedikit mengenai hal tersebut dalam makalah ini. Penulis akan menguraikan situasi peradaban Islam, kesultanan-kesultanan di Indonesia serta peninggalan peradaban masa kesultanan Islam pra penjajahan kolonial Belanda.


B. Situasi Peradaban Islam Masa Kesultanan di Indonesia


Penduduk kepulauan Nusantara (Indonesia saat ini) sebelum datangnya agama Islam sebagian besar penduduknya sudah memiliki kepercayaan Hinduisme, Budhaisme, animisme dan dinamisme. Namun pada peradaban berikutnya hal itu berbalik arah, mayoritas penduduk Indonesia saat ini beragama Islam. Proses transformasi kepercayaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, ada dua teori besar mengenai kapan proses Islamisasi ini dimulai. Dua teori tersebut menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia pada abad ke 7 M dan teori lainnya menyatakan Islam masuk di Indonesia pada abad ke 13 M.[1]

Teori pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, pendapat ini dikemukakan sejarawan seperti H. Agus Salim, M. Zainil Arifin Abbas, Hamka, dll. Pendapat ini didasarkan pada berita Tiongkok zaman Dinasti Tang. Berita ini mencatat bahwa abad ke-7 M terdapat pedagang Muslim di Desa Baros, daerah barat Sumatera Utara. Seorang orientalis Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History, menuliskan bahwa: orang Islam yang mengunjungi Indonesia pertama kali kemungkinan besar adalah saudagar Arab pada abad ke 7 M yang singgah di Sumatera dalam perjalan menuju ke Tiongkok.[2]

Pendapat ini juga sama dengan hasil “Seminar Masuknya Islam di Indonesia” di Medan tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M. Seminar tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1. Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke 7 M langsung dari Arab.

2. Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.

3. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia aktif mengambil bagian.

4. Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.

5. Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.

6. Kedatangan Islam di Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Teori kedua, Islam Masuk Indonesia pada abad ke 13. Pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H. Krom dan Van Den Berg. Pendapat tersebut mengacu kepada catatan perjalanan Marcopolo yang menerangkan ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Bukti yang memperkuat pendapat ini adalah ditemukannya makan Sultan Samudra Pasai yaitu Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297 M. Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, Sumatera Utara.[3]

Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai kapan Islam masuk di Nusantara berupa prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu nisan) dan beberapa catatan musafir. Batu nisan tertua ditemukan di Desa Leran kecamatan Manyar, Gresik Jawa Timur dan berangka tahun 475 H / 1082 M. Batu nisan tersebut adalah makam Fatimah binti Maimun ibn Hibatullah. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (suatu tempat di Persia) yang meninggal tahun 822 H/ 1419 M.[4]

Mengenai datang dari mana Islam di Indonesia juga terdapat beberapa teori. Teori pertama menyatakan bahwa Islam datang dari anak benua India. Teori ini diperkenalkan oleh G.W.J. Drewes, menurut Drewes orang-orang Muslim yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Kemudian Snouck Hurgronje menambahkan, komunitas Islam di anak benua menyebarkan Islam ke daerah lain dengan cara perdagangan. Teori kedua, Islam datang dari Coromadel dan Malabar, pendapat ini menurut Thomas W. Arnold dan didukung oleh Marisson, menurutnya Islam di Indonesia datang dari Gujarat itu tidak mungkin karena secara politis Gujarat belum memungkinkan menjadi sumber penyebaran ketika itu dan belum menjadi pusat perdagangan yang menguhubungan wilayah Arab dengan Asia Tenggara.[5]

Proses Islamisasi Nusantara berbeda dengan daerah Arab di mana agama Islam sendiri berasal. Penyebaran agama Islam di tanah Arab kebanyakan dengan peperangan dan penaklukan. Sedangkan proses Islamisasi Nusantara dilakukan dengan berbagai bentuk atau cara, antara lain:[6]

1. Perdagangan


Para pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat memegang peranan penting, sebab di samping berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam.

2. Pernikahan


Pernikahan merupakan saluran Islamisasi yang paling mudah. Dari pernikahan akan terbentuk ikatan kekerabatan antara dua pihak keluarga.

Contoh Islamisasi dengan pernikahan misalnya pernikahan Rara Santang (Putri Prabu Siliwangi) dengan Syarif Abdullah.

3. Politik


Penyebaran agama melalui politik dilakukan oleh para penguasa, baik dalam lingkup besar maupun kecil. Para penguasa mempunyai pengaruh dan wibawa serta disegani sehingga mereka menjadi panutan rakyat.

4. Pendidikan

Pertumbuhan Islam di Jawa sudah dikenal dengan pendidikan pondok pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Ampel Denta dengan pengasuhnya Sunan Ampel.

5. Seni budaya


Proses Islamisasi dengan seni budaya seperti seni bangunan, seni pahat, seni ukir, seni tari, musik dan sastra.


6. Melalui tasawuf


Ajaran tasawuf berupa Teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bentuk tasawuf yang diajarkan waktu itu seperti menggunakan ilmu-ilmu riyadhah dan kesaktian dalam proses penyebaran agama Islam kepada penduduk setempat.[7]


C. Kesultanan-Kesultanan di Indonesia sebelum Penjajahan Belanda


Belanda masuk ke kepulauan Nusantara sekitar abad ke 16 M.[8] Saat itu Islam sudah berkembang pesat dan banyak kesultanan-kesultanan besar yang berpengaruh besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam.

Berikut uraian beberapa periode kesultanan-kesultanan sebelum penjajahan Belanda, yaitu:[9]

1. Kesultanan Perlak (840-1292 M)


Pendiri kesultanan Perlak adalah Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, penganut madzhab Syiah. Beliau merupakan pendakwah dari Arab yang menikah dengan penduduk setempat. Kesultanan Perlak merupakan kesultanan pertama di Nusantara (tetapi masih terdapat perdebatan, ada pendapat yang menyebutkan kesultanan Samudra Pasai adalah yang pertama). Kesultanan Perlak berkuasa pada tahun 840-1292 M di wilayah Perlak, kini wilayah tersebut masuk dalam wilayah Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Kesultanan Samudera Pasai (1292-1524 M)


Kesultanan Pasai, terletak di pesisir timur laut Aceh, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh. Lahirnya Samudera Pasai diperkirakan dimulai sejak awal pertengahan abad ke 13 M. Fakta tentang berdirinya kesultanan Samudera Pasai ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata, seperti ditemukannya batu nisan yang memuat nama Sultan Malik al-Shaleh, berangka tahun 1297 M. Sultan Malik al-Shaleh adalah sultan pertama sekaligus pendiri kesultanan Samudra Pasai.

3. Kesultanan Aceh (1514-1903 M)


Kesultanan ini berdiri sejak tahun 1514 M di ujung utara pulau Sumatera. Tokoh pendirinnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang bertahta pada tahun 1514-1530 M. Pada tahun 1520 M, perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju hingga muncullah tokoh-tokoh ulama seperti Hamzah Fanshuri, yaitu seorang tokoh tasawuf.

4. Kesultanan Demak Bintara (1478-1546 M)


Demak adalah kesultanan pertama di pulau Jawa. Kesultanan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Raden Patah pada masa pemerintahannya mendirikan sebuah pondok pesantren. Penyiaran agama yang dilaksanakan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan.

Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak juga berhasil di berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kesultanan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara’.

Masjid Agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Di sana merupakan tempat berkumpulnya para Walisango saling bertukar pikiran tentang persoalan agama, cepatnya Demak menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman.

5. Kesultanan Pajang


Pajang adalah pemegang kendali kekuasaan kesultanan Jawa setelah Demak. Kesultanan Pajang terletak di daerah Kartasura, Jawa Tengah. Kerajaaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir, ia adalah menantu Sultan Trenggono (sultan ketiga kesultanan Demak) yang diberi kekuasaan di Pajang.

6. Kesultanan Mataram


Kesultanan Mataram berdiri Pada tahun 1582 M. Pusat kesultanan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta. Periode kesultanan Mataram hanya berlangsung singkat mulai tahun 1582-1677 M, yang pernah dipimpin oleh dua Sultan yaitu Panembahan Seno Pati dan Panembahan Krapyak.


D. Pembangunan Peradaban Islam Masa Kesultananan Pra Penjajahan Belanda


1. Bangunan dan Seni Arsitektur


Kemajuan peradaban Islam pada kesultanan-kesultanan Islam banyak meninggalkan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi. Misalnya adalah Masjid Baitur Rahman, bangunan ini dibuat oleh Sultan Iskandar Muda tahun 1022 H/1612 M yang terletak tepat di pusat Kota Banda Aceh dan menjadi pusat kegiatan keagamaan di Aceh Darussalam.[10] Masjid ini dilapisi emas sehingga dikagumi bangsa Barat.[11] Hal ini menunjukan tingkat kemakmuran ekonomi dan selera seni arsitektur yang tinggi.

Sewaktu agresi tentara Belanda kedua pada 10 April 1873, Masjid Raya Baitur Rahman sempat dibakar. Namun kemudian, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baitur Rahman pada tahun 1877 untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Sampai saat ini, Masjid Raya Baitur Rahman menjadi objek wisata religi yang termasuk salah satu masjid dengan arsitektur terindah di Indonesia.[12]

Masjid Raya Baitur Rahman adalah masjid yang memiliki bentuk yang sama dengan masjid-masjid di negara Islam lainya (negera Arab). Pada mulanya bentuk masjid yang dibangun dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Misalnya, Masjid Demak, Ampel, Cirebon dan lain-lain. Ciri-ciri model seni bangunan lama yang merupakan tiruan atau terpengaruh oleh seni bangun Hindu-Budha, adalah sebagai berikut:[13]

a. Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota.

b. Tidak ada menara sebagai pertanda pemberitahuan waktu shalat karena digantikan dengan bedug.

c. Di belakang masjid terdapat rangkaian makam-makam. Rangkaian macam ini hakikatnya dari fungsi candi pada zaman Hindu-Budha.

2. Bidang Militer


Dalam bidang militer kesultanan-kesultanan Indonesia sudah mengalami kemajuan, itu terbukti pada peninggalannya berupa benteng-benteng pertahanan. Misalnya Benteng Indra Prata peninggalan kesultanan Aceh dan persenjataan yang dimilikinya walaupun pada akhirnya kesultanan-kesultanan Islam dapat ditaklukan kolonial Barat.

3. Bidang Ekonomi


Kesultanan Islam di Indonesia mengalami kemajuan dan kemakmuran yang cukup besar. Hal ini karena letak geografis Indonesia yang berada pada jalur perdagangan Internasional, sehingga kemajuan di bidang ekonomi, kesultanan Islam terpusat pada perdagangan dan pelayaran. Misalnya kesultanan Samudra Pasai, bahkan kesultanan ini sudah menggunakan mata uang koin dari emas.

4. Pendidikan


Menurut Muhammad Yunus, para pedagang muslim sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang di sekelilingnya. Dimana ada kesempatan, mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam. Bukan saja dengan perkataan, melainkan juga dengan perbuatan.

Didikan dan ajaran Islam mereka berikan melalui perbuatan, yaitu dengan contoh dan suri tauladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah- tamah, tulus ikhlas, amanah dan menjaga kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji, serta menghormati adat istiadat anak negeri. Pendeknya, mereka berbudi pekerti yang tinggi dan berakhlak mulia. Semua itu berdasarkan cinta dan taat kepada Allah sesuai dengan didikan dan ajaran Islam.

Sistem pendidikan yang berlaku pada masa Kerajaan Samudera Pasai tentu tidak seperti zaman sekarang ini. Sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu lebih bersifat informal, yang berbentuk majlis taklim dan halaqah.

Di Jawa Islam diajarkan oleh para walisongo, diantaranya juga sudah ada yang mengenal dengan lembaga pendidikan pesantren, misalnya adalah Pondok Pesantren Ampel Denta oleh Sunan Ampel.

5. Karya Sastra


Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajan Islam. Tema dan isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain.

Pada abad enam belas, di Jawa mulai muncul naskah-naskah Jawa yang memuat ajaran-ajaran keislaman, terutama ajaran tasawuf dengan ditemukannya naskah Jawa yang bertuliskan Hanacaraka yang kemudian dalam pembahasan akademis diberi judul Het Boek Van Bonang. Demikian pula di Aceh muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran-ajaran keislaman terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pase, Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkil.[14]



E. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, kapan kedatangan agama Islam di Indonesia terdapat dua teori. Teori pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau abad pertama Hijriah. Pendapat ini didasarkan pada berita Tiongkok zaman Dinasti Tang. Berita ini mencatat bahwa pada abad ke-7 M terdapat pedagang Muslim di Desa Baros, daerah barat Sumatera Utara. Pendapat tersebut juga sama dengan hasil “seminar masuknya Islam di Indonesia” di Medan tahun 1963.

Teori kedua, Islam Masuk Indonesia pada abad ke 13. Pendapat tersebut mengacu kepada catatan perjalanan Marcopolo yang menerangkan ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Proses Islamisasi Nusantara dilakukan dengan berbagai bentuk atau cara, antara lain: Perdagangan, Pernikahan, Politik, Pendidikan, Seni budaya maupun melalui tasawuf.

Belanda masuk ke kepulauan Nusantara sekitar abad ke 16. Saat itu Islam sudah berkembang pesat dan banyak kesultanan-kesultanan yang berpengaruh besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam. Di antaranya: Kesultanan Perlak, Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak Bintara, Kesultanan Pajang dan Kesultanan Mataram.

Pembangunan peradadaban kesultanan masa pra penjajahan Belanda sudah merambah di bergagai bidang, di antaranya bidang bangunan dan seni arsitektur, bidang militer, bidang ekonomi, pendidikan dan karya sastra.

Sebagai penutup, penulis mohon maaf dengan segala kekurangan dalam tulisan dan oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan dari pembaca. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan tambahan wawasan akan masa lampau khususnya tentang sejarah peradaban agama Islam di Indonesia. Wawasan itu dilihat dari segala aspeknya sehingga generasi sekarang dan yang akan datang akan sadar bagaimana sejarah bangsanya sendiri dan melanjutkan proses sejarah ke depan dengan baik, demi mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur dan mulia. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2013.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Maryam, Siti dkk. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Lesfi. 2004.
Stanton, Charles dkk. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 1999.
Sunanto, Musrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo persada. 2012.
Syaefudin, Machfud. Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta. 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara _(1800-1942), Diakses 28-05-2015.
http://jagosejarah.blogspot.com/2015/03/peninggalan-kerajaan-aceh-yang-harus.html, Diakses 27-05-2015.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 302.
[2] Ibid, hlm. 303.
[3] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 247.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 193.
[5] Machfud Syaefudin, Op. Cit., hlm. 249.
[6] Machfud Syaefudin, dkk., Op. Cit., hlm. 251.
[7] Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 307.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara _(1800-1942), Diakses 28-05-2015.
[9] Machfud Syaefudin, dkk., Op. Cit., hlm. 253.
[10] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 228.
[11] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2004), cet. II, hlm. 326.
[12] http://jagosejarah.blogspot.com/2015/03/peninggalan-kerajaan-aceh-yang-harus.html, Diakses 27-05-2015.
[13] Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2012), hlm. 96.
[14] Charles Stanton, dkk., Studi Islam Asia Tenggara, ( Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), cet. II, hlm. 177.

MADZHAB-MADZHAB ILMU HUKUM

MADZHAB-MADZHAB ILMU HUKUM

 

MAKALAH
Tugas Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu : Wahidullah, S.H.I., M.H.
DisusunOleh:

ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS  ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak Wahidullah, S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 8 Mei 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang ditunjukkan pada masyarakat dan untuk mengkaji layak atau tidaknya hukum tersebut dalam lingkungan. Berbicara mengenai ilmu hukum, pasti dalam pikiran kita terbesit adanya beberapa madzhab atau perbedaan yang berkembang mengenai hukum itu sendiri.
Pemikiran tentang hukum telah muncul sejak zaman kerajaan Yunani kuno dan zaman kerajaan Romawi beberapa adab yang lalu. Bangsa Yunani memberikan pemikiran besar terhadap hukum hingga ke akar filsafatnya. Sedangkan bangsa Romawi cenderung memberikan konsep-konsep dan teknik yang berhubungan dengan hukum positif.
Berikut saya akan menguraikan garis besar dari sebagian madzhab atau aliran yang dikenal dalam ilmu hukum. Makalah ini juga akan membahas tentang bagaimana perbedaan-perbedaan hukum itu. Selanjutnya, dari beberapa perbedaan itu timbul suatu aliran-aliran yang dianut oleh beberapa orang ahli untuk mengatur suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sehingga terciptalah suatu keadilan hukum.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.
1.    Bagaimanakah pengertian madzhab hukum kodrat itu?
2.    Bagaimana penjelasan madzhab  sejarah tersebut?
3.    Apakah madzhab sosiologi itu?


C.    Tujuan Masalah
1.    Agar pembaca dapat memahami bagaimanakah pengertian madzhab hukum kodrat.
2.    Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana penjelasan madzhab  sejarah.
3.    Supaya  pembaca dapat mengetahui apakah madzhab sosiologi tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Madzhab Hukum Kodrat atau Hukum Alam

Apabila orang mengikuti sejarah hukum alam, maka ia sedang mengikuti sejarah hukum umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat ketika ide tentang hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain lagi ia diabaikan, tetapi bagaimanapun ia tidak pernah mati. 
Sebagian besar filsuf meyakini bahwa terdapat asas-asas tertentu yang sifatnya lebih tinggi dan lebih superior ketimbang hukum buatan manusia atau negara. Hukum yang lebih tinggi dan lebih superior itulah yang mereka namakan hukum alam. 
Hukum alam lebih kuat daripada hukum positif, karena menyangkut makna kehidupan manusia sendiri.  Hukum ini juga mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai asas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalam aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.
Salah satu dari pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Berbeda halnya dengan hukum positivis yang sangat tegas membedakan antara moral dan hukum. Penganut madzhab ini memandang bahwa, hukum dan moral merupakan pencerminan dan pengaturan secara eksternal maupun internal dari kehidupan manusia serta yang berhubungan dengan sesama manusia.
Menurut pandangan ini, kaidah hukum adalah hasil dari titah Tuhan dan langsung berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, ajaran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Dicurahkan  ke dalam jiwa manusia untuk memerintahkan agar setiap orang melakukan kewajibannya dan melarang supaya setiap orang tidak melakukan kejahatan.
Dari pemikiran penganut madzhab hukum alam dapat kita tangkap  beberapa pandangan umum yang dinamakan sebagai pokok-pokok pikiran hukum alam. Pemahaman hukum tentang apa yang dimaksud sebagai hukum adalah:
1.    Hukum itu tidak dibuat oleh manusia maupun negara, tetapi ditetapkan oleh alam.
2.    Hukum itu bersifat universal.
3.    Hukum berlaku abadi.
4.    Hukum tidak dapat dipisahkan oleh moral.
Meskipun dewasa ini kaidah hukum alam tidak berlaku lagi, namun konsep-konsep yang bersumber dari hukum alam telah memberikan konstribusinya terhadap dunia hukum kita di era modern. Menurut Friedman, sumbangan hukum alam adalah:
1.    Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
2.    Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak, yaitu pihak gereja dan kerajaan dalam pergaulan antara mereka.
3.    Atas nama hukum alamlah kesahan dari hukum internasional itu ditegakkan.
4.    Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
5.    Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.
Di dalam aliran hukum alam ini terdapat suatu pembedaan-pembedaan, yaitu hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali sampai pada permulaan abad pertengahan.  Hukum ini memusatkan perhatiannya pada usaha untuk menemukan metode yang bisa digunakan untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk mengatasi keadaan yang berlainan.
Berbeda dengan yang pertama, hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma.  Sehingga orang dapat menciptakan sejumlah peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.
Tokoh Hukum Alam dari masa ke masa
a.    Tokoh Hukum Alam Yunani, antara lain Socrates, Plato dan Aristoteles.
b.    Tokoh Hukum Alam Romawi, antara lain Cicero dan Gaius.
c.    Tokoh Hukum Alam abad pertengahan, antara lain Augustine, Isidore dan Thomas Aquinas.
d.    Tokoh Hukum Alam abad keenambelasan hingga kedelapanbelasan antara lain, John Locke, Montesquieu dan Rousseau.
e.    Tokoh Idialisme Transendental, antara lain Kant dan Hegel.
f.    Tokoh kebangkitan kembali Hukum Alam, antara lain Kohler, Stammler dan Leon Duguit.

B.    Madzhab Sejarah atau Madzhab Historis

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran hukum sebelumnya, yaitu sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap para pemuja hukum alam, di Eropa timbul suatu aliran baru yang di pelopori oleh Carl von Savigny (1779-1861).  Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu bangsa; selalu ada sesuatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.  Ia juga memandang bahwa hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri. Artinya, dia terjadi dan berada karena dikehendaki. Hukum itu lahir karena dalam kehidupan manusia ia memerlukan hukum.
Madzhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. Salah satu timbulnya madzhab sejarah adalah dorongan nasionalisme yang tumbuh pada akhir abad XVIII sebagai reaksi terhadap semangat revolusi dan ekspansi Prancis.
Hukum bukanlah sesuatu yang disusun atau diciptakan oleh manusia, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat.  Hukum itu penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.
Sebagaimana bahasa, hukum itu timbul melalui suatu proses yang perlahan-lahan. Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal pada kesadaran bangsa. Menurut pendapat tersebut, telah jelas bahwa hukum merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dari sejarah suatu bangsa. Karena itu, hukum selalu berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Pendapat ini bertentangan dengan ajaran madzhab hukum alam bahwa hukum itu berlaku abadi di mana-mana bagi seluruh manusia. 
Hukum itu tidak berlaku secara universal, karena hukum lahir dari jiwa rakyat yang memiliki latar belakang bangsa yang berbeda. Hukum hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
Ciri khas kaum historis hukum adalah ketidakpercayaan mereka pada pembuatan undang-undang dan ketidakpercayaan terhadap kodifikasi.  Bagi mereka hukum itu tumbuh dan berkembang, sehingga terdapat hubungan yang terus-menerus antara sistem yang ada sekarang dengan yang ada dimasa silam. Oleh karena itu, hukum yang ada pada saat ini mengalir dari hukum yang ada pada masa sebelumnya.
Aliran sejarah merupakan reaksi dari aliran hukum alam. Dari sudut pandang pengaruh historisme, hukum adalah fenomena historis; hukum mempunyai sejarah. Dan sebagai fenomena sejarah, berarti hukum tunduk kepada perkembangan yang berlangsung secara terus-menerus.
Menurut Savigny, ia mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoprasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat. 
Inti ajaran madzhab sejarah adalah sebagai berikut:
1.    Hukum menurut Savigny adalah kehidupan manusia itu sendiri. Hukum sama dengan bahasa, yang tidak dibuat tetapi lahir dari jiwa suatu bangsa dan hukum tersebut tumbuh bersama bangsa itu sendiri.
2.    Orang itu harus mencari hukum dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat, karena setiap bangsa memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain.

C.    Madzhab Sosiologi

Madzhab sosiologi dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber dan Hammaker. Madzhab ini merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan hasil pertimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi dan pertentangan serta pertimbangan kepentingan-kepentingan golongan-golongan atau kelas-kelas dalam masyarakat.
Sosiologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hubungan antara gejala masyarakat yang satu dengan gejala masyarakat yang lain, sedangkan ilmu pengetahuan hukum menurut madzhab sosiologis memberikan suatu gambaran tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. Maka demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang mencerminkan kehidupan masyarakat, guna memahami kehidupan hukum itu dari suatu masyarakat maka seorang ahli hukum harus mempelajari perundang-undangan, keputusan-kepututusan pengadilan dan kenyataan sosial.
Madzhab sosiologis memusatkan perhatiannya bukan pada hukum  tertulis atau perundang-undangan, tetapi hukum adalah kenyataan sosial. Ia memandang bahwa hukum itu dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang terdapat dalam masyarakat, seperti faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Metode yang digunakan adalah deskriptif, yaitu dengan menggunakan teknik-teknik survey lapangan, observasi perbandingan, analisis stasistik dan eksperimen.  
Pemikiran sosiologi pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam:
1.    Sociological jurisprudence, kajian ini di tunjuk sebagai suatu studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu merupakan suatu aspek ilmu hukum yang sebenarnya.
2.    Sosiology of law, menunjuk kajian ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya yang didasarkan pada suatu konsep yang memandang hukum sebagai suatu alat pengendalian sosial. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat hukum dan tugas-tugasnya dibuat, sosiologi memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu.
Esensi ajaran penganut sosiologis di dalam ilmu hukum adalah bahwa:
1.    Yang dianggap sebagai hukum, bukanlah aturan-aturan yang tertuang dalam perundang-undangan, melainkan yang diterapkan apa danya di dalam masyarakta.
2.    Hukum itu tidak otonom, artinya pembuatan dan pelaksanaan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya non hukum, seperti faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Menurut aliran hukum yang bersifat sosioligis hukum itu tidak perlu diciptakan oleh negara, karena hukum sebenarnya tidak merupakan pertanyaan-pertanyaan tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan, golongan-golongan dalam masyarakat.
Menurut madzhab sosiologis, hakim itu bebas untuk menggali sumber—sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat.
Eugene Ehrlich menyatakan bahwa hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.  Berlakunya hukum tertantung pada penerimaan masyarakat dan sebenarnya tiap golongan menciptakan sendiri masing-masing hukumnya yang hidup. Daya kreativitas masing-masing golongan saling berbeda dalam penciptaan hukumnya. Dalam kenyataan ini faktor masyarakat menjadi sangat penting untuk mengetahui evektivitas hukum dalam masyarakat.
Ehrlich juga berpendapat bahwa, pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak dari badan-badan legislatif, keputusan badan-badan yudikatif ataupun ilmu hukum, tetapi justru terletak dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks ini Leon Gubuit berpendapat bahwa, tujuan ahli hukum adalah menetapkan suatu peraturan hukum yang mutlak dan tidak dapat ditentang sekaligus obyektif, bebas dari kesewenagan manusia dan keinginan akan kekuasaan sebagai pelindung  negara. 
Tokoh dalam madzhab sosiologi yang paling terkenal adalah Roscoe Pound (1870-1964). Ia mengatakan bahwa, hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum, tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentanngan,  dan menjamin kepuasan kebutuhan-kebutuhan maksimal dengan pengorbanan minimal.
Menurut Pound, cara membentuk masyarakat adalah dengan selalu memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat sehingga menuju ke masyarakat yang lebih baik.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Aliran hukum alam merupakan suatu aliran ilmu hukum yang menekankan pentingnya peran dari hukum alam (natural law) terhadap hukum yang dibuat oleh manusia. Aliran hukum alam ini, secara garis besar, mencakup empat teori. Yaitu teori hukum alam klasik, teori hukum alam para tokoh gereja, teori hukum alam yang rasionalis dan teori hukum alam modern.
Aliran sejarah merupakan aliran yang memberikan tekanan pada peran sejarah terhadap hukum yang dipelopori oleh Carl von Savigny. Ajaran tersebut merupakan reaksi terhadap pemerintahan Jerman waktu itu untuk memberlakukan code civil Prancis di Jerman, tentang hukum alam yang berlaku dimana-mana.
Tokoh sosiologi yang paling terkenal adalah Roscoe Pound. Dengan teori bagaimana cara membentuk masyarakat agar selalu memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat sehingga menuju ke masyarakat yang lebih baik.

B.    Kritik dan Saran
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum.
Kami  hanya  manusia  biasa  yang  tidak  terlepas  dari  kekurangan, maka  dari  itu  kami  mohon  maaf  apabila  ada  kesalahan  dalam  penulisan  maupun  yang  lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana. 2013.
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2014.
Ghofur Anshori, Abdul. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2009.
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Kusumohamidjojo, Budiono.  Filsafat Hukum; Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: Mandar Maju. 2011.
Prasetyo, Teguh. dkk. Ilmu Hukum & Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2014.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 1998. 
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama. 2007.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. 

ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH


ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Makalah
Tugas Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : H. Amir Gufran, Drs., M.Ag.

Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR




Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak H. Amir Gufran selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 30 Mei 2015

Kelompok 6




BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat bebebrapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan para pengikut Muawiyah, sehingga muncullah golongan-golongan baru yaitu golongan Khowarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.

Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran agama Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal dengan berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Kedua aliran inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2. Apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah?
4. Bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?



C. Tujuan Masalah

1. Agar para pembaca mengetahui bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2. Agar para pembaca dapat memahami apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3. Supaya para pembaca dapat membedakan sekte-sekte aliran Maturidiyah.
4. Supaya para pembaca mengetahui bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.



BAB II

PEMBAHASAN



A. Aliran Asy’ariyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah

Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[1] Beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari, yaitu seorang tahkim dalam Perang Siffin dari pihak Sayyidina Ali.

Menurut Ibn A’sakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya as-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[2]

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah Masjid Basroh bahwa ia telah keluar dari paham Mu’tazilah. Yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah pada malam ke 10, 20 dan 30 bulan Ramadlan. Dalam mimpi itu, Rasulullah memperingatkannya untuk segera keluar dari paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Sebab lain ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri.[4] Al-Asy’ari sangat mendambakan persatuan umat, ia khawatir kalau al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’azilah yang semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat karena terlalu menonjolkan akal pikiran.



2. Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah


a. Tuhan dan sifat-sifatNya

Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiah).[5]

b. Perbuatan manusia


Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,[6] bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni bersamaan dengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

c. Pelaku dosa besar


Menurut al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada beberapa kemungkinan:

1) Ia mendapat ampunan dari Tuhan dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku dosa besar tersebut dimasukkan ke dalam surga.

2) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau,

شَفَاعَتِىْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ

Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar.

3) Tuhan memberikan hukuman kepadanya dengan memasukkannya ke dalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia dimasukkan ke surga.

d. Keadilan Tuhan

Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-segalanya adalah milik Tuhan.

e. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk

Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[7]

f. Melihat Allah

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Tuhan yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]



3. Pengaruh Ajaran Asy’ariyah


Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan Ahlusunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasannya pengaruh ajaran Ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:

a. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.

b. Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini.


B. Aliran Maturidiyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah


Aliran ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi.[9] Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.[10] Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.[11] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

Sebenarnya al-Maturidi itu sebaya dengan al-Asy’ari. Hanya saja berbeda tempat tinggal. Al-Asy’ari hidup di Basrah Irak, sebagai pengikut madzhab Syafi’i, sedangkan al-Matiridi bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, kebanyakan pengikutnya juga bermadzhab Hanafi. Riwayatnya tidak terlalu banyak diketahui. Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia memiliki pemikiran tentang teologi yang hampir sama.

Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya juga sudah banyak yang dituangkan dalam karya tulis.

2. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah


a. Sifat Tuhan


Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi.[12] Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.

b. Kewajiban mengetahui Tuhan


Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.[13]


c. Perbuatan Manusia


Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[14]

d. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal.


Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.[15]

e. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan


Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.[16]

f. Pelaku dosa besar


Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asy’ariyah yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mu’tazilah.[17]


g. Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh al-Qur’an, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23.

artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.


3. Sekte-Sekte Maturidiyah


a. Golongan Samarkand

Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri.[18] Pahamnya lebih dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Begitu juga Tuhan berkuasa dengan dzatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, al-Maturidi berpaham Qodariyah. Al-Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain Maturidiah tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.

Aliran Maturidiyah juga sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-wa’d wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti akan terjadi. Demikian pula tentang antropomorphisme. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an. Pasti diberi arti kiasan. Dalam hal ini al- Maturidi bertolak belakang dengan pendapat al-Asy’ari yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi takwilan.

b. Golongan Bukhara


Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[19] Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.



4. Pengaruh Aliran Maturidiyah


Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.

Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.[20]







BAB III

PENUTUP




A. Kesimpulan

Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). Mulanya al-Asy’ari berpaham Mu’tazilah, karena merasa tidak cocok dengan Mu’tazilah akhirnya ia condong kepada ahli fiqh dan hadits.

Dokrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-sifatnya, perbuatan manusia, pelaku dosa besar, keadilan Tuhan, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.

Keahlian dalam berdebat al-Asy’ari dengan basis keilmuan yang dalam, shaleh, taqwa dan melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini, merupakan pengaruh dari aliran Asy’ariyah.

Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H dan wafat pada tahun 333 H.

Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan.

Sekte-sekte Maturidiyah, pertama golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.

Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli, berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.



DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Siradjuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. 2001.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2012.
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Purta. 2009.
Hanafi. Pengantar; Theology Islam. Jakarta: Al Husna Zikra. 2007.
Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia press. 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: New Cordova. 2012.
http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.






[1] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, hlm. 154.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 146-147.
[3] IbId., hlm. 147.
[4] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 154.
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 148.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta: Universitas Indonesia press, 1986), cet. V, hlm. 71.
[7]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149.
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149-150.
[9] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 168.
[10] Harun Nasution, Op.Cit. hlm. 76.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 150.
[12] Harun Nasution, Op.Cit.
[13] Hanafi, Pengantar, Theology Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 2007), cet. VII, hlm. 123.
[14] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[15]Ibid.
[16] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 190.
[17] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[18] Ibid., hlm. 78.
[19] Ibid.
[20] http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.