Minggu, 26 Juli 2015

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA MASA KONTEMPORER (Ali Abd Al-Raziq 1888-1966)

 
Ali Abd Al-Raziq

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA MASA KONTEMPORER

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah
Fiqih Siyasah
Dosen Pengampu:
Muhammad Husni Arafat, Lc., M.S.I
Disusun oleh:

ACHMAD MIFTACHUL ALIM 1213001
ALI MUSTAHAR 1213004
LAILY ANISAH 1213019
ABDUL ROHIM 1213053
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015





BAB I

PEMBUKAAN

Islam sebagaimana yang pernah dipimpin oleh Rasulullah (sebagai kepala negara) terkadang dipandang sebagai sebuah konsep dalam kenegaraan yang harus diikuti oleh negara-negara islam. Ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.

Sekh Ali Abd al-Raziq (1888-1966) muncul dan terkenal pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata khilafah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Hal itu terjadi karena negara yang bersistem khalifah, yang masih mengikuti sistem pemerintahan islam pada masa Rasulullah tidak bisa berkembang efektif. Peran terpenting dalam kehidupan Ali Abd al-Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khilafah.

Maka dari itu pemakalah tertarik untuk menggali lebih jauh tentang pemikiran politik pada masa kontemporer pada masa Ali Abdul Raziq.




BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Politik Pada Masa Ali Abd Al-Raziq (1888-1966)


Biografi Ali abd al Raziq, nama lengkapnya adalah syeikh Ali Abd Al-Raziq. Ia lahir di as’Said yang termasuk wilayah Al-Mania, Mesir. Ayahnya bernama Hasan Pasha atau Abdul Raziq Pasha Sr yang mana adalah seorang pembesar yang terpandang di daerah pinggiran dan Ali Abd Raziq lahir di pedalaman propinsi Menia pada tahun 1888. Ali Abd Raziq alumnus Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir, dan pernah pula belajar ilmu ekonomi dan politik di Oxford University, Inggris. Ia pernah berprofesi sebagai hakim Mahkamah Syari’ah, Mesir.[1]

Keluarga Ali Abd Al-Raziq merupakan keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. ayahnya berkicinpung dalam dunia politik bahkan ia pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizbu al- Ummah) pada tahun 1907. Setelah revolusi tahun 1919, Al-Asharar Al-Dusturiyah, partai ini adalah partai kelanjutan Hizbu Al-Ashrar al Ummah yang mempunyai dukungan yang rapat dengan Inggris.

Pendidikan Ali Abd al Raziq menganut pendidikan Abduh meskipun ia tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena pada Abduh wafat pada tahun 1905, saat itu Ali baru berusia 17 tahun kemudian dia belajar di Al-Azhar. Pada umur masih amat muda 10 tahun ia mempelajari hukum pada Seyikh Ahmmad Abu Thatwah, sahabat Abduh, Khatwah sebagai Iman Abduh adalah murid Jamal al Din Al-Afgani, Ali selama satu tahun atau dua tahun mengikuti perkuliahan di al janni‘ah Al-Mishiyyah, itulah Prof Santillana yang memberikan perkuliahan sejarah filsafat setelah Ali Abd al Raziq memperoleh izasah Aumyyah dari Al Azhar tahun 1911 ia mulai mengajar di universitas tapi itu tak lama pada bagian kedua tahun 1912 ia berangkat ke Inggris untuk belajar di unversitas Oxford, disitu ia banyak mempelajari ilmu ekonomi dan politik juga banyak membaca dan mempelajari ide- ide Barat sehingga pikiran dia banyak terpengaruh oleh pikiran Barat.

Islam berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Salah satu perkembangan pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat adalah penegasan dari sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang dalam ini adalah pencarian tentang konsep negara. Masalah ini kian makin komplek karena tatkala konsep negara bangsa yang berasal dari barat berpengaruh di praktekan dalam lingkungan Islam.

Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.[2] Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya yang berjudul Al- Islam wa Ushul Al-Hukm (islam dan dasar-dasar pemerintahan), hasil dari penelitian yang dilakukannya beberapa tahun. Buku ini banyak mendapat kritik dari ulama-ulama Al-Azhar, karena isinya penuh dengan kritikan dari Raziq terhadap sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh “sekelompok umat islam” Selama lebih kurang 13 abad, dan kritikanya terhadap teori-teori politik para ulama zaman klasik dan pertengahan. Konklusi – konklusi yang dikemukakannya merupakan hasil penelitian dan analisanya terhadap ayat-ayat Alquran dan kepemimpinan Nabi, teori-teori politik para ulama dan praktik pemerintahan sistem khilafah. Buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1925.

Raziq mengakui, kalau mau disebut negara, bahwa Nabi telah mendirikan negara di Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksanaan hukum dalam pemerintahan sudah ada di zaman Nabi.[3] Tetapi katanya, sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh Nabi.[4] Demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain seperti masalah keuangan dan pengawasannya, dan keamanan jiwa dan harta (kepolisian).[5] Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pendelegasian tugas kepada para sahabat untuk melaksanakan berbagai tugas menajadi petunjuk bahwa Muhammad SAW disamping sebagai Rasul juga adalah pemimpin politik.[6]

Raziq berpendapat, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari dakwah islamnya dan berada di luar tugas kerasulannya.[7] Pemerintahan yang dibentuk oleh Nabi, lebih lanjut adalah amal duniawi yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.[8]

Sesungguhnya pernyataan-pernyataan tersebut bukan pendapat-pendapat Raziq yang sebenarnya. Pendapatnya itu hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang dianut oleh umat islam bahwa Nabi mendirikan negara, ia melihatnya sebagai tugas yang berada di luar missi kerasulannya. Beliau tidak punya tugas untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat ini untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di madinah.

Setelah Raziq mengemukakan beberapa ayat Al-qur’an, ia menyatakan, teks-teks ayat al-qur’an menyatakan bahwa fungsi Muhammad SAW sebagai Rasul tidak ada kaitannya dengan kekuasaan politik. Ayat-ayat satu sama lain saling memperkuat bahwa tugas Illahi yang dibebankan kepada Rasulullah tidak melampui batas-batas yang meliputi kekuasa duniawi (sultan).[9] Tugasnya hanya sebagai rasul untuk menyampaikan dakwah agama, dan semata-mata mengabdi kepada agama tanpa ada kecenderungan kepada kekuasaan maupun kedudukan sebagai raja. Karena itu beliau tidak pernah mendirikan suatu negara. Sebab, nabi bukanlah seorang penguasa ataupun pemegang tampuk pemerintahan. Beliau juga tidak pernah menganjurkan untuk mendirikan pemerintahan politik.[10]

Apabila dinyatakan Nabi pernah membentuk kekuasaan politik (negara), tapi mengapa tidak memiliki perangkat-perangkat pemerintahan, tidak pula dikenal sistem pemerintahannya. Beliau pun tak pernah memberi petunjuk kepada umat tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura. Bahkan mengapa beliau membiarkan para ulama terjerat dalam kebingungan menghadapi persoalan sistem pemerintahan yang ada di zaman beliau.[11] Lebih jauh ia menjelaskan, sepanjang hayat beliau tidak pernah mengisyaratkan sesuatu yang berkenaan dengan apa yang disebut “Negara Islam” atau “Negara Arab”.[12] Tidak ada sesuatu yang menginformasikan bahwa Rasulullah ikut campur dalam persoalan pilitik bangsa Arab. Sebab beliau tidak pernah melakukan perubahan terhadap model pemerintahan, sistem administrasi maupun pengadilan yang selama ini berlaku dilingkungan kabilah-kabilah Arab.

Beliau juga tidak pernah mencampuri urusan mereka baik interaksi sosial maupun ekonomi. Tidak pula ada keterangan bahwa beliau pernah memecat seorang gubernur, merekrut seorang hakim, dan mengeluarkan peraturan tentang sistem perdagangan, pertanian dan industri.[13] Karena hak rasul atas umatnya hanya hak yang berkaitan dengan tugas kerasulannya. Beliau tidak punya hak seperti hak raja atas rakyatnya.[14] Bila umat tunduk kepada Rasulullah, menurut Raziq, ketundukan itu adalah ketundukan akidah dan keimanan, bukan ketundukan kepada kekuasaan dan pemerintah. Sebab kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan agama, bukan kepemimpinan duniawi. Karena itu perekat persatuan orang-orang Arab semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik.[15] Artinya masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah itu adalah masyarakat agama, bukan masyarakat politik, alasan yang dikemukakan Raziq adalah “yang dikehendaki Allah dengan Islam adalah untuk mempersatukan umat manusia atas dasasr ikatan keagamaan yang berlaku di seluruh penjuru dunia ini”.[16] “Islam”, katanya “hanya membentuk ikatan keagamaan.[17]

Raziq membenarkan bahwa Rasulullah memiliki kekuasaan, yaitu kekuasaan yang bersifat umum. Karena itu perintahnya mesti ditaati kaum muslimin, dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Muhammad Rasulullah memiliki kekuasaan paling besar dari pada rasul - rasul lain. Beliau lebih berhak untuk itu baik kekuasaan risalah maupun kekuasaan menyampaikan dakwah yang diberikan oleh Allah. Yaitu kepemimpinan dakwah kepada agama Allah untuk menyampaikan tugas kerisalahan. Kemudian kekuasaan rasulullah atas kaumnya adalah kekuasaan rohaniah, sumbernya keimanan yang ada didalam hati. Kekuasaan yang membimbing kepada agama Allah. Sedangkan kekuasaan seorang raja adalah bersifat fisik yang berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan manusia. Kekuasaan Rasul untuk agama, sedang kekuasaan raja untuk urusan dunia.[18]

Oleh karena kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan keagamaan yang beliau peroleh dari tugas kerasulan, maka setelah beliau wafat, kata Raziq, “kepemimpinan beliau selesai. Tidak siapa pun yang dapat melanjutkannya. Bila setelah beliau wafat diharuskan adanya kepemimpinan bagi umat, maka kepemimpinan itu adalah bentuk baru dan tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan beliau. Kepemimpinan setelah beliau adalah kepemimpinan politik dan bersifat temporer. Suatu kepemimpinan yang bercorak kekuasaan politik dan pemerintahan, bukan kepemimpinan agama.”[19]

Di bagian akhir bukunya, Raziq kembali memperjelas pendapatnya bahwa islam tidak mengenal lembaga khilafah. Lembaga ini tidak punya akar dasar dalam ajaran islam. Demikian pula segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi kenegaraan tidak bersangkut paut dengan agama. Semuanya adalah masalah politik dan masalah duniawi. Islam tidak mengenal lembaga semacam itu tapi ia tidak menolaknya, tidak memerintahkan, dan tidak melarang. Semuanya terserah kepada pertimbangan akal umat.[20]

Pandangan-pandangan Raziq yang dipaparkan tersebut merupakan kritik terhadap lembaga khilafah yang muncul pasca Nabi, kritik terhadap teori-teori politik para ulama tentang khilafah dan imamah, dan kritik terhadap hubungan agama dan negara yang sama-sama melekat pada lembaga khilafah. Jelasnya ia menolak sistem khilafah, menolak pendapat bahwa pendirian negara wajib atas pertimbangan agama, dan menolak pemerintahan agama, yang ada hanya pemerintahan duniawi dan kekuasaan duniawi. Dasar pembentukannya bukan karena perintah agama, melainkan karena pertimbangan akal dan tuntutan situasi sosial dan politik yang menghendaki adanya kekuasaan politik bagi umat. Baginya agama dan negara mempunyai tugas masing-masing, tidak boleh dipersatukan dalam satu lembaga.

Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunakan dalil akal dan logika (dalil ‘aqli), seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi’in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara’ yang mutlak. Sebagian lagi berargumen dengan dalil Sayr’i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil aqli dan syar’i secara bersama-sama. Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum Muslimin.




BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengakhiri tulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa Ali Abdul Raziq merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.

Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah:

1. Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam,

2. persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya,

3. pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.

Akibat dari pemikirannya itu, ia mendapat banyak sorotan dan kritikan dari para ulama di Mesir.




DAFTAR PUSTAKA



Ali Abd al-Raziq, Al-islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo, 1925), cetakan 3, hlm 39.

http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pemikiran-dari-ali-abdul-raziq_1.html, Tgl 10 Mei 2015, 19:45 WIB.

J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : PTRaja Persada, 1994,) Cet. 1, hlm. 304


[1] J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : PTRaja Persada, 1994,) Cet. 1, hlm. 304
[2]http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pemikiran-dari-ali-abdul-raziq_1.html, Tgl 10 Mei 2015, 19:45 WIB.
[3] Ali Abd al-Raziq, Al-islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo, 1925, cetakan 3), hlm 39.
[4] Ibid, hlm. 44
[5] Ibid, hlm. 45
[6] Ibid, hlm. 53-55
[7] Ibid, hlm. 55
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 71.
[10] Ibid, hlm. 64-65.
[11] Ibid, hlm. 57.
[12] Ibid, hlm. 87.
[13] Ibid, hlm. 83-84.
[14] Ibid, hlm. 72.
[15] Ibid, hlm. 86.
[16] Ibid, hlm. 81.
[17] Ibid, hlm. 70.
[18] Ibid, hlm. 68-69.
[19] Ibid, hlm. 90.
[20] Ibid, hlm. 103.

MAKALAH SHALAT JUM'AT

Khotib sedang Khutbah jum'ah

SHALAT JUM’AT

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester IV Mata Kuliah

Tafsir Ahkam 1

Dosen Pengampu:

Mayadina Rahma Musfiroh, M.A.







Disusun Oleh:

1. Ach. Miftachul Alim (1213001)
2. HildaFentiningrum (1213017)
3. Nur Hikmah (1213036)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)

JEPARA 2015


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya kami diberikan kesehatan untuk dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Salawat salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga sahabatnya.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok di Semester IV mata kuliah Tafsir Ahkam 1 fakultas Syari’ah prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU), di mana judul makalahnya adalah “SHALAT JUM’AT”
Dalam menyusun makalah ini, ternyata tidak mungkin terlaksana apabila tanpa semangat, dukungan, serta bimbingan dari pihak-pihak yang sangat kami hormati. Oleh karena itu, pertama kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mayadina Rahmi. Musfiroh, M.A. selaku dosen mata kuliah Tafsir Ahkam 1 yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Kedua, kami berterima kasih kepada kedua orang tua kami atas doa dan dukungan moril maupun materil yang telah diberikannya. Kemudian, kami juga berterima kasih kepada sahabat-sahabat kami di fakultas Syari’ah prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU), yang telah membantu kami demi kelancaran penulisan maklah ini.
Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang diharapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat. Amin…
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jepara, 09 Mei 2015

Kelompok 09

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C. Tujuan................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN..................................................................................................... 2
A. Ayat Tentang Shalat Jum’at................................................................................. 2
B. Terjemah............................................................................................................... 2
C. Mufradat.............................................................................................................. 3
D. Asbab al-Nuzul dan Munasabah.......................................................................... 3
E. Tafsir Ayat........................................................................................................... 5
F. Hikmah dan Hukum............................................................................................. 8
G. Ikhtilaf al-Mazhab................................................................................................ 9
PENUTUP............................................................................................................. 10
1. Kesimpulan......................................................................................................... 11
2. Saran................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12


PENDAHULUAN




A. Latar Belakang




Shalat Jum’at merupakan shalat yang dikerjakan pada hari Jum’at saja. Shalat Jum’at ini mengajak kaum beriman untuk bersegera memenuhi panggilan Ilahi. Di sisi lain, dapat ditambahkan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan hari Sabtu yang ditetapkan Allah untuk tidak melakukan aktivitas mengail. Sikap mereka ini dikecam. Karena itu, kaum muslimin hatus mengindahkan perintah Allah meninggalkan aneka aktivitas untuk beberapa saat pada hari Jum’at karena, kalau tidak, mereka akan mengalami kecaman dan nasib seperti orang-orang Yahudi itu.[1]




Allah menurunkan ayat tentang Shalat Jum’at sebagaimana asbabun nuzul yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Inilah yang melatar belakangi kami menulis makalah ini, untuk mengetahui apa yang ada di balik shalat Jum’at.










B. Rumusan Masalah




1. Bagaimana Asbabun Nuzul dan Munasabah dari ayat tentang shalat Jum’at?




2. Bagaimana penafsiran para ulama tentang shalat Jum’at?




3. Apa hikmah dan kandungan hokum dari shalat Jum’at?




4. Bagaimana perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang shalat Jum’at?










C. Tujuan




1. Mengetahui dan memahami Asbabun Nuzul dan Munasabah dari ayat tentang shalat Jum’at.




2. Mengetahui dan memahami penafsiran para ulama tentang shalat Jum’at.




3. Mengetahui dan memahami hikmah dan kandungan hokum dari shalat Jum’at.




4. Mengetahui dan memahami perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang shalat Jum’at.
















PEMBAHASAN



A. Ayat Tentang Shalat Jum’at





Surat Al-Jumu’ah (62) ayat 9-11:




يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩ فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠ وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ١١
B. Terjemah





9. Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah menuju dzikrullah dan tinggalkanlah jual beli. Itulah yang baik buat kami mengetahui.




10. Lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian dari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.




11. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka berbondong-bondong kepadanya dan meninggalkanmu berdiri. Katakanlah apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi.”










C. Mufradat




نودي = diseru




فاسعوا = maka segeralah




ذروا = tinggalkanlah




البيع = jual beli




قضيت = telah ditunaikan/dilakasanakan




انتشروا = bertebaranlah




ابتغوا = carilah




تفلحون = kamu beruntung




راوا = mereka melihat




تجارة = perdagangan




لهوا = permainan




انفضّوا = mereka bubar




تركوك = mereka meninggalkanmu



D. Asbab al-Nuzul dan Munasabah




1. Asbab al-Nuzul





Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah. Dia berkata, ketika Nabi sedang berkhutbah pada hari Jum’at, rombongan para pedagang[2] sampai di Madinah.[3] Ketika itu, harga-harga di Madinah melonjak, sedang kafilah tersebut membawa bahan makanan yang sangat dibutuhkan. Tabuh tanda kedatangan kafilah di pasar pun ditabuh sehingga terdengar oleh jama’ah Jum’at. Ketika itulah sebagian jamaah masjid berpencar dan berlarian menuju pasar untuk membeli karena takut kehabisan.[4] Sehingga hanya tinggal 12 orang saja yang masih mengikuti dan mendengarkan khutbah.[5] Ada riwayat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi tiga kali dan selalu pada hari Jum’at. Riwayat berbeda-beda tentang jumlah jamaah yang bertahan bersama Rasulullah saw. Ada yang menyatakan empat puluh orang, ada lagi empat, atau tiga atau dua belas orang.[6] Kemudian Allah menurunkan ayat berikut:




وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ




“dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggakan kamu sedang berdiri (berkhutbah).”










Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa apabila ada gadis-gadis yang nikah, maka berlangsunglah keramaian dengan seruling dan alat musik lainnya, sehingga orang-orang itu meninggalkan Rasulullah yang sedang berkhutbah di atas mimbar dan mereka pergi untuk melihat keramaian itu. Maka turun ayat 11 ini yang menegaskan bahwa nikmat yang diberikan oleh Allah lebih baik daripada keramaian dan perniagaan. (H.R. Ibnu Jarir dari Jabir).[7]
2. Munasabah





Dalam surat Al-Jum’ah ayat 5:










مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ ثُمَّ لَمۡ يَحۡمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلۡحِمَارِ يَحۡمِلُ أَسۡفَارَۢاۚ بِئۡسَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥




Allah mencela orang-orang Yahudi karena mereka lari dari kematian untuk mencintai dunia dan menyukai kenikmatannya.[8] Oleh karena orang yang tidak mengamalkan kitab yang diturunkan kepadanya itu mencintai kehidupan dan meninggalkan segala yang bermanfaat baginya di akhirat.[9]




Kemudian dalam surat Al-Jum’ah ayat 10:




فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠




Allah menyebutkan bahwa orang-orang mukmin tidak dilarang memetik buah dunia dan kebaikannya, sambil mengusahakan apa yang bermanfaat baginya di akhirat, seperti shalat pada hari Jumat di masjid dengan cara berjamaah. Orang mukmin harus bekerja keras untuk dunia dan akhirat.[10]




Surat sebelumnya, yaitu As-Saff ditutup dengan perintah untuk berjihad, yang dinamakan sebagai perniagaan. Dan surat ini ditutup dengan perintah shalat Jumat dan pemberitahuan bahwa shalat itu lebih baik daripada perniagaan duniawiyah.[11]
E. Tafsir Ayat





Al-Jumu’ah dinamakan Jumu’ah karena kata ini terambil dari kata al-Jam’u (artinya ‘berkumpul’) karena para pemeluk agama Islam berkumpul di hari itu sekali seminggu di tempat-tempat peribadatan yang besar. Dalam bahasa Arab kuno, hari jum’at dikenal dengan nama hari Arubah.[12]




يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩




Makna ذكرالله pada ayat 9 surah al-Jumuah. Secara harfiah, kata ini diartikan kepada “mengingat Allah.” Akan tetapi, ذكرالله dalam ayat ini berarti “shalat Jum’at.”[13] Dalam ayat ini ditegaskan bahwa apabila adzan Jum’at telah dikumandangkan maka orang-orang mukmin harus menghadirinya untuk mendirikan shalat Jum’at tersebut. Segala pekerjaan atau kesibukan harus ditinggalkan, baik kesibukan berdagang maupun kesibukan lainnya, karena inti perintah dalam ayat di atas adalah berdzikir kepada Allah dengan mengerjakan shalat Jum’at.[14]




Kata فاسعوا terambil dari kata سعى yang pada mulanya berarti berjalan cepat tapi bukan berlari.[15] Maksud ayat ini bukan berarti berjalan dengan cepat karena berjalan yang sperti ini dilarang sebagaimana yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.[16] Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti berjalan kaki dan itu menurut mereka adalah anjuran bukan syarat.[17]




Kata ذلكم dalam ayat ini diisyaratkan kepada perintah yang terkandung dalam ayat فاسعواالى ذكرالله dan ذرواالبيع (kepergian mengingat Allah dan meninggalkan kegiatan jual beli). Dengan demikian, penggalan ayt di atas berarti, “berangkat menghadiri shalat Jum’at di masjid dan meninggalkan kegiatan perdagangan guna mengingat Allah pada waktu adzan telah dikumandangkan, adalah lebih baik dari segalanya.” Oleh karena itu, segala pekerjaan harus ditinggalkan dan bersegera pergi melaksanakan shalat Jum’at setelah adzan dikumandangkan. Dengan kata lain, haram hukumnya bagi laki-laki yang wajib menghadiri shalat Jum’at melakukan kegiatan apa pun jika adzan Jum’at telah dikumandangkan.[18]




فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠




Ayat ini menjelaskan bahwa orang-ornag muslim dipersilahkan bekerja dan berusaha kembali mencari rezeki jika shalat telah selesai dikerjakan. Artinya, carilah karunia Allah berupa rezeki untuk keperluan dunia dan akhirat.[19] Perintah bertebaran di bumi dan mencari sebagian karunianya pada ayat di atas bukanlah perintah wajib. Dalam kaidah ulama-ulama dinyatkan “apabila ada perintah yang bersifat wajib, lalu disusul dengan perintah sesudahnya, yang kedua itu hanya mengisyaratkan bolehnya hal tersebut dilakukan.”[20]




وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ١١




Ayat ini menggambarkan keadaan para sahabat Nabi ketika ayat itu diturukan. Mereka keluar dari masjid pergi menemui para pedagang yang baru sampai di Madinah untuk membeli barang dagangan, padahal, Nabi Muhammad sedang berkhutbah.[21]




Muqatil bin Hayyan, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir berkata, “dahulu, Nabi mendahulukan shalat dari khutbah sebagaimana pelaksanaan shalat hari raya. Akan tetapi, pada suatu jum’at ketika rasulullah sedang berkhutbah, masuklah seorang laki-laki ke dalam masjid dan berkata, Dahiah bin Khalifah telah tiba membawa barang dagangan.” Maka orang-orang dalam masjid bergegas pergi untuk mendapatkan barang dagangan itu, kecuali hanya sedikit mereka yang masih tetap dalam masjid. Berdasarkan kejadian ini, Nabi mendahulukan khutbah dari shalat Jum’at.[22]




Allah mencela orang yang meninggalkan khutbah di hari Jum’at karena menyambut kedatangan barang dagangan ke kota Madinah di kala itu.[23] Allah memperingatkan bahwa pahala yang ada di sisi-Nya berupa kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat adalah lebih baik dari harta, benda dan kesenangan hawa nafsu. Sebab, kesenangan yang diperoleh melalui pemuasan hawa nafsu dan berfoya-foya merupakan kesenangan yang semu, tidak abadi. Karena, di balik kesenangan yang semu itu akan muncul kesengsaraan, kesedihan, dan rasa takut yang amat dahsyat.[24]






F. Hikmah dan Hukum




1. Hikmah Shalat Jum’at[25]





a. Shalat adalah sarana manusia untuk menghubungkan diri dengan Allah.




b. Pencegah perbuatan keji/tercela dan perbuatan mungkar.




c. Memupuk sifat-sifat terpuji.




d. Berdisiplin diri (terhadap waktu).




e. Memupuk rasa persamaan, persatuan dan persaudaraan.




f. Sarana tetap menjaga kebersihan.




g. Terdapat pengajaran dan pendidikan yang permanen dan terus menerus bagi jiwa-jiwa orang-orang yang beriman.[26]




h. Berzikir kepada Allah disela-sela aktivitas mencari rezeki dan penghidupan, dan merasakan kehadiran Allah di dalamnya, itulah yang mengalihkan segala aktivitas kehidupan kepada Ibadah.
2. Hukum Shalat Jum’at





Shalat Jum’at hukumnya fardhu ain bagi setiap orang yang memenuhi syarat-syarat.[27] Seluruh ulama sepakat bahwa syarat-syarat shalat Jum’at itu sama dengan syarat-syarat shalat lainnya, seperti bersuci, menutup aurat, menghadap Kiblat. Dan waktunya dari mulai tergelincirnya matahari sampai bayangan di tempat lainnya, segala sesuatu sama panjangnya. Dan ia boleh didirikan di dalam masjid atau di tempat lainnya, kecuali mazhab Maliki mereka menyatakan bahwa shalat Jum’at itu tidak sah kecuali bila dikerjakan di dalam masjid.[28]




Dan seluruh ulama telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu diwajibkan atas laki-laki saja, sedang wanita tidak.[29] Shalat Jum’at dinilai sebagai pengganti shalat Zhuhur. Karena itu, tidak lagi wajib atau dianjurkan kepada yang telah shalat Jum’at untuk melakukan shalat Zhuhur. [30]
G. Ikhtilaf al-Mazhab





Semua imam mazhab sepakat bahwa shalat jum’at hanya sah jika dilaksanakan dengan berjama’ah. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat tentang jumlah jama’ah yang sah untuk shalat jum’at, berikut ini pendapat mereka.[31]




1. Malikiah, batas minimal jumlah jama’ah yang sah untuk shalat jum’at adalah 12 orang pria, selain imam.




2. Hanafiah, syarat jama’ah yang sah untuk shalat jum’at ada tiga orang, selain imam sekalipun mereka tidak menghadiri khutbah jum’at.




3. Syafi’iah, harus mencapai jumlah 40 orang, termasuk imam.




4. Hambaliah, tidak kurang dari 40 orang, termasuk imam.




Adapun yang menjadi perelisihan para ulama dalam masalah ini, apakah boleh dilakukannya jual-beli ketika adzan Jum’at dikumandangkan?. Dibawah ini adalah pendapat empat mazhab.




a. Hanafiah dan Syafi’iah sepakat bahwa jual-beli haram dilakukan ketika adzan Jum’at Dikumandangkan meskipun jual-beli itu sah. Hanya saja, Syafi’iyah memaksudkan untuk adzan yang dikumandangkan setelah khatib naik mimbar. Sementara itu, Hanafiah memaksudkan adzan yang pertama hingga shalat jum’at itu selesai.[32]




b. Malikiah, transaksi jual-beli yang dilakukan ketika adzan, hukumnya rusak dan batal kecuali jika barang yang ditransaksikan dapat berubah, seperti barang sembelihan atau barang yang sudah dimakan sebagiannya atau jika nilai barang itu dapat berubah, baik turun maupun naik. Untuk kasus seperti ini, transaksi bisa diteruskan. Yang jelas, harga barang yang ditransaksikan tetap wajib ditentukan pada hari pengambilan, bukan pada saat terjadi transaksi.[33]




5. Hambaliah, transaksi jual-beli yang terjadi ketika adzan jum’at hukumnya tidak sah.[34]










PENUTUP




1. Kesimpulan




Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat Jum’at diwajibkan bagi kaum laki-laki. Adapun syarat-syaratnya sebagaimana syarat-syarat shalat lainnya. Namun, kegiatan yang beriringan dengan shalat Jum’at dan jumlah orang yang menghadiri shalat Jum’at ini menjadi ikhtilaf di berbagai kalangan mazhab.





2. Saran

Makalah yang disajikan ini tidak lepas dari kekurangan dan bahkan belum sempurna. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga bermanfaat. Amin.













DAFTAR PUSTAKA




Al-Jaziri, Syeikh Abdurrahman. Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab: Mudah Memahami Fikih dengan Metode Skema, trj. Syarif Hademasyah dan Luqman Junaidi. Jakarta: PT. Mizan Publika. 2010.




Ar-Rifaii, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. trj. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.




Hadhiri, Choiruddin SP. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.




Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.




Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. trj. Masykur A.B. Jakarta: PT. Lentera Basritama. 2001.




Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Jilid 11. trj. As’ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani. 2004.




Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.




Yusuf, Kadar M. Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum. Jakarta: Amzah. 2011.






[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 58.

[2] Pedagang tersebut adalah kafilah dari Syam yang dibawa oleh Dihyat Ibn Khalifah al-Kalbi.

[3] Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum, (Jakarta: Amzah, 2011), Ed. 1, Cet. 1, hlm. 56-57.

[4]M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm. 62-63.

[5] Kadar M. Yusuf, Op Cit., hlm. 57.

[6] M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm. 63.

[7] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 816-817.

[8] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar,dkk, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,1974), juz:28, hal.164

[9] A. Mustofa Al-Maraghi, Ibid., hal. 159

[10] A. Mustofa Al-Maraghi, Ibid., hlm. 164.

[11] A. Mustofa Al-Maraghi, Ibid., hlm. 149

[12] Muhammad Nasib ar-Rifaii, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, trj. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 701.

[13] Kadar M. Yusuf, Op Cit., hlm. 56.

[14] Kadar M. Yusuf, Ibid., hlm. 57.

[15] M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm. 59.

[16] Muhammad Nasib ar-Rifaii, Op Cit., hlm. 702.

[17] M. Quraish Shihab, Loc Cit.

[18] Kadar M. Yusuf, Op Cit., hlm. 58.

[19] Kadar M. Yusuf, Ibid.

[20] M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm. 61.

[21] Kadar M. Yusuf, Op Cit., hlm. 59-60.

[22] Kadar M. Yusuf, Ibid.

[23] Muhammad Nasib ar-Rifaii, Op Cit., hlm. 705.

[24] Kadar M. Yusuf, Loc Cit.

[25] Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 256.

[26] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Jilid 11, trj. As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. 1, hlm. 275-276.

[27] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab: Mudah Memahami Fikih dengan Metode Skema, trj. Syarif Hademasyah dan Luqman Junaidi, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2010), Cet. 1, hlm. 348.

[28]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, trj. Masykur A.B., (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), Cet. 7, hlm. 122-123.

[29] Muhammad Jawad Mughniyah, Ibid.

[30] M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm. 59-60.

[31] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Op Cit., hlm 368-372.

[32] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Ibid., hlm. 352.

[33] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri., Ibid., hlm. 353.

[34] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri., Ibid.

Senin, 20 Juli 2015

Pengertian, Hukum, Syarat, Rukun Sewa Menyewa (ijarah)

Sewa Menyewa dalam Islam (Al-Ijaroh)

AKAD AL-IJARAH

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah
Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu:
ZAHRATUN NAFISAH, Lc., M.H.I
  
Disusun oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM        1213001
ASLIHATUL LUTFIA            1213014
LAILI ANISAH                1213019
LIA APRILIANI                1213049

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
    Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan taufiknya kami di beri kenikmatan berupa kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, Amin
    Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqih Muamalah semester Empat Fakultas Syariah dan Hukum prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara, dengan judul “Akad Al-Ijarah”.
    Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa dukungan serta bimbingan dari pihak-pihak terkait, oleh karena itu, pertama kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah. Kedua kepada kedua orang tua kami atas do’a dan dukungan moril maupun materil yang telah di berikannya. Ketiga kami ucapkan kepada rekan-rekan di fakultas syariah prodi al-ahwal as-syahsiyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara Yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
    Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang telah di harapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin…..
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jepara, 17 Mei 2015
                                                                                                                                             Kelompok 09



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR      ii
DAFTAR ISI     iii
BAB I PENDAHULUAN     1
A.    Latar Belakang      1
B.    Rumusan Masalah     1
C.    Tujuan Penulisan    1
BAB II PEMBAHASAN     2
A.    Pengertian Ijarah dan Dasar Hukumnya    2
B.    Dasar Hukum Ijarah    3
C.    Syarat dan Rukun Ijarah    5
D.    Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik    7
E.    Perbedaan Ijarah dan Ju’alah    9
BAB III PENUTUP    11
A.    Kesimpulan     11
DAFTAR PUSTAKA     12

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Segala tindakan manusia yang bukan merupakan ibadah termasuk kedalam kategori ini. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas dalamfiqih muamalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan dibahas permasalahan ijarah yang meliputi pengertian, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya, al-ijarah al-muntahia bittamlik, serta perbedaan ijaroh dan Ju’alah.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian ijarah dan dasar hukumnya ?
2.    Apa Syarat dan Rukun Ijarah?
3.    Apa Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik ?
4.    Sebutkan Perbedaan Ijarah dan Ju’alah?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukumnya
2.    Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Ijarah
3.    Untuk mengetahui Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik
4.    Untuk mengetahui Perbedaan Ijarah dan Ju’alah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya

1.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah)

Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab berasal dari kata:   ,أجرyang sinonimnya:
a.     أكريYang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimat:  أجر الشئ (menyewakan sesuatu)
b.    أعطاه أجرا  yang artinya: ia memberinya upah, seperti dalam kalimat: أجر فلانا على كذا  (ia memberikan kepada si fulan upah sekian).
c.    أثابه yang artinya: memberinya pahala, seperti dalam kalimat: أجر الله عبده  (allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).
Al Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: الكراة أو بيع المنفعة   yang artinya: sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan: 
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض, ومنه سمي الثواب أجرا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala).
Dalam pengertian istlilah, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.)    Menurut Hanafiah
الإجارةعقد على المنفعة بعوض هومال
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2.)    Menurut malikiyah
الإجارة .... عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة
Ijarah..... adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3.)    Menurut syafi’iyah
وحد عقد الإجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل ولإباحة بعوض معلوم
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4.)    Menurut Hanbaliyah
وهي عقد على المنافع تنعد بلفظ الإجارة والكرأ وما في معناهما
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).

B.    Dasar Hukum Ijarah

Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.  Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a.    QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
b.    QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَ‍ٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦ قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
c.    Hadis Aisyah
عن عروة بن الزبير أن عائسة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : واستأجر رسول الله صلى الله علىه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما ووعداه غار ثوربعد ثلاث ليل براحلتيهما صبح ثلث.
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori)

C.    Syarat Dan Rukun Ijarah

1.    Rukun Ijarah

Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan Qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat :  al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’ dan al-ikra’.
Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun ijarah ada 4 yaitu:
1.    ‘Aqid ( orang yang akad).
2.    Shigat akad.
3.    Ujrah (upah).
4.    Manfaat
2.    Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a)    Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad.    Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang melakukn akad  disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
    Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan  anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad .
b)    Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
 Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk akad  (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadkan adanya ijarah.

c)    Syarat Sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid  (orang yang akad),  ma’qud alaih (barang menjadi objek akad),  ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu:
a.    Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
    Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b.    Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
    Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c.    Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d.    Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’

D.    Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik

Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan.
Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan). Definisi dua kata tersebut secara keseluruhan :
Pertama, at-ta’jiir menurut bahasa ; diambil dari kata al-ajr, yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala. Adapun al-ijaaroh : nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua : sewa barang. sewa pekerjaan.
Kedua: at-tamliik secara bahasa bermakna : menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti atau tidak.
 Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman.
Ketiga : definisi “al ijarah al muntahia bit tamlik  (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) yang terdiri dari dua kata adalah ;  sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.

a.  Landasan Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik

Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :
وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣
Artinya: ”dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
Fatwa MUI tentang Ijarah Muntahia Bittamlik
a.    Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b.    Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

c.  Bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik

Ada 2 bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik:
1.      Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
2.      Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode.

E.    Perbedaan Ijaroh dan Ju’alah


No                    Ijaroh                    Ju’alah


  1    ~ transaksi yang bersifat mengikat semenjak transaksi diadakan.    ~ transaksi yang mengikat manakala pekerja mulai melakukan pekerjaannya. Pada saat itu, tidak boleh ada pihak yang membatalkan transaksi secara sepihak.





   2    ~ upah atau uang sewa itu telah menjadi hak pihak yang menyewakan manakala pihak yang menyewakan telah memberikan kesempatan kepada pihak penyewa untuk memanfaatkan barang yang menjadi objek transaksi.
~ Upah dalam transaksi ijarah orang itu sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Dalam transaksi ijarah uang sewa boleh diserahkan di muka.    ~ upah menjadi hak pekerja setelah dia selesai bekerja dan pihak yang mempekerjakannya telah mendapatkan manfaat dari pekerjaan yang dia lakukan.




  3    ~  di antara syarat sah transaksi ijarah adalah adanya kejelasan jasa dan atau manfaat yang dijual disamping kejelasan masa sewa. Adapun dalam transaksinya tidak disyaratkan harus ada kejelasan masa kerja boleh jadi sebentar, boleh jadi lama semisal transaksi ju’alah untuk mengembalikan hewan yang kabur.    ~ Dalam transaksi Ju’alah hanya disyaratkan adanya kejelasan jasa atau manfaat yang menjadi objek transaksi. Adapun kejelasan besaran upahnya mengacu kepada upah standar di suatu daerah untuk pekerjaan semacam itu jika terjadi sengketa antara dua orang yang mengadakan transaksi Ju’alah.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan.
Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid ( orang yang akad), Shigat akad, Ujrah (upah), Manfaat.
    Syarat ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli , yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan).


DAFTAR PUSTAKA
Alaudin Al Kasani, Bada’i Ash-Shana’i Fi Tartib Ash-Syara’i , Juz 4 hlm. 176.
Ibrahim Anis, et.al., AL-Mu’jam Al-Wasith Juz 1, Dar Ihya; At-Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet 1 1972.
Muhammad Ibnu Rusd Al-qurthubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtashid, Juz 2, Da Al-Fikr, t.t.
Muhammad Bin Isma’il Al-Bukhari, Manatan Al-Bukhari Masqul Bihasiyah As-Sindhi, Juz 2, Dar Al-fikr, Beirut, t.t.
Muhammad syafi’I Antonio, bank syariah : dari teori ke praktik  (Jakarta : gema inzani dan tazkia cendekia, 2001).
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT. Grasindo, Jakarta, 2005.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy Wa ‘Adillatuh Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, Cet. 3, 1989.