Senin, 20 Juli 2015

MAKALAH FENOMENA JILBAB KETAT (JILBOB)

Jilbab Vs Jilboobs

FENOMENA JILBAB KETAT (JILBOB)

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah
Bahtsul Masa’il 1
Dosen Pengampu:
MUHAMMAD HUSNI ARAFAT, LC., M.S.I



Disusun oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM             1213001
FATHUL YAZID ALM                             1213014
TYAS ZULMIA                                          1213054
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)

JEPARA 2015




DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN........................................................................... 2
A.    Definisi Jilbab Dalam Al-Qur'an..................................................... 2
B.     Fungsi Jilbab yang dicarikan Dari Berbagai Sumber................... 4
C.    Jilbab Ketat-Pakaian Ketat............................................................. 5
D.    Batasan Aurat Laki-Laki Dan Wanita Menurut 4 Madzhab...... 7
BAB III : PENUTUP................................................................................... 9
A.    Kesimpulan....................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 10

BAB I
PENDAHULUAN

Kerudung atau Jilbab merupakan kata yang tidak asing lagi diperdengarkan oleh telinga kita saat ini. Suatu kain yang berfungsi sebagai penutup aurat wanita kini sedang ramai dipergunakan sebagai trend center dunia fashion. Banyak terdapat model dan tipe-tipe jilbab disugguhkan kepada wanita muslimah untuk mempercantik diri. Bahkan sampai diadakan suatu pameran untuk mengenalkan produk jilbab dengan berbagai model.
Dewasa ini sering kali kita menjumpai wanita-wanita muslimah yang menggunakan berbagai model jilbab. Di kalangan mahasiswa, terdapat banyak model jilbab. Hal ini membuktikan bahwa ketertarikan wanita muslim untuk mengembangkan fashionnya melalui jilbab.
Minimnya pengetahuan tentang hakikat menggunakan jilbab serta tuntunan yang diberlakukan oleh agama islam, membuat wanita-wanita muslim seenakknya mengenakan jilbab. Pada dasarnya jilbab berfungsi untuk menutup aurat kewanitaan agar terhindar dari hal maksaiat. Akan tetapi, terkadang saat ini hanya digunakan sebagai kedok atau identitas bagi wanita-wanita tertentu agar terkesan baik, sopan, santun, dan berbudi luhur. Dan bahkan hanya dijadikan sebagai trend dan fashion style saja. Bila fenomena ini terus berkelanjutan, betapa mirisnya kondisi wanita muslim dan harga diri dari wanita muslim sekarang ini.
Untuk menghadapi fenomena-fenomena dewasa ini tentang pengetahuan menggunakan jilbab. Maka, akan dibahas tentang hakikat berjilbab, fungsi jilbab, manfaat jilbab, dan hukum serta ketentuan berjilbab. Selain itu, pembahasan ini agar bermanfaat bagi pembaca dan dijadikan sebagai suatu pengetahuan yang berupa referensi menggunakan jibab yang baik dan benar sesuai syariat islam yang sesungguhnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi Jilbab Dalam Al-Qur'an

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
القَمِيصُ: ثَوبٌ واسِعٌ للمرأة دون المِلحَفَة أو ما يُغَطّى به ثِيابَها من فوقُ كالملحفة أو هو الخمار
(Jilbab adalah) gamis (al qomiish) pakaian yang luas, tapi selain selubung/selimut (al mihafah), atau sesuatu yang dipakai olehnya untuk menyelimuti pakaiannya mulai dari atas seperti selubung/selimut (al mihafah). Atau, dia adalah al khimar (penutup kepala).Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma`ani.
Dari atas tampaklah jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa dipengaruhi oleh berbagai factor, salah satunya adalah sebab perjalanan waktu dari masa Nabi Muhammad SAW. sampai sekarang atau disebabkan jarak antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai peradaban atau kebudayaan berpakaian yang berbeda.
Allah SWT dalam Al Quran berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٥٩
Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Asbabun Nuzul
    Pada suatu riwayat dikemukakan bahwa Siti Saudah (istri Rasulullah) keluar rumah untuk sesuatu keperluan setelah diturunkan ayat hijab. Ia adalah seorang yang badannya tinggi besar sehingga mudah dikenal orang. Pada waktu itu Umar melihatnya, dan ia berkata: “Hai Saudah. Demi Allah, bagaimana pun kami akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?” Dengan tergesa-gesa ia pulang dan saat itu Rasulullah barada di rumah Aisyah sedang memegang tulang sewaktu makan. Ketika masuk ia berkata: “Ya Rasulallah, aku keluar untuk sesuatu keperluan, dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku)”. Karena peristiwa itulah turun ayat ini (S. Al Ahzab: 59) kepada Rasulullah SAW di saat tulang itu masih di tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kau keluar rumah untuk sesuatu keperluan.”
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa istri-istri Rasulullah pernah keluar malam untuk mengqadla hajat (buang air). Pada waktu itu kaum munafiqin mengganggu mereka yang menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah SAW, sehingga Rasul menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab: “Kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Turunnya ayat ini (S. Al Ahzab: 59) sebagai perintah untuk berpakaian tertutup, agar berbeda dari hamba sahaya.
Ayat di atas turun ketika wanita merdeka (seperti wanita-wanita sekarang) dan para budak wanita (wanita yang boleh dimiliki dan diperjual belikan) keluar bersama-sama tanpa ada suatu yang membedakan antara keduanya, sementara madinah pada masa itu masih banyak orang-orang fasiq (suka berbuat dosa) yang suka mengganggu wanita-wanita dan ketika diperingatkan mereka (orang fasiq) itu menjawab kami mengira mereka (wanita-wanita yang keluar) adalah para budak wanita sehingga turunlah ayat di atas bertujuan memberi identitas yang lebih kepada wanita-wanita merdeka itu melalui pakaian jilbab.
Ayat ini terletak dalam Al Quran setelah larangan menyakiti orang-orang mukmin yang berarti sangat selaras dengan ayat sesudahnya (ayat jilbab), sebab berjilbab paling tidak, bisa meminimalisir pandangan laki-laki kepada wanita yang diharamkan oleh agama, dan sudah menjadi fitrah manusia, dipandang dengan baik oleh orang lain adalah lebih menyenangkan hati dan tidak berorentasi pada keburukan, lain halnya apabila pandangan itu tidak baik maka tentu akan berdampak tidak baik pula bagi yang dipandang juga yang melihat, nah, kalau sekarang kita melihat kesebalikannya yaitu ketika para wanita lebih senang untuk dipandang orang lain ketimbang suaminya sendiri maka itu adalah kesalahan pada jiwa wanita yang perlu dibenarkan sedini mungkin dan dibuang jauh jauh terlebih dahulu sebelum seorang wanita berbicara kewajiban berjilbab.

B.    Fungsi Jilbab yang Dicarikan Dari Berbagai Sumber:

1.    Melindungi muslimah dari fitnah. Sebagai gambaran, tragedi yang dikisahkan dalam Al-Qur'an tentang Nabi Yusuf AS sangatlah jelas. Wanita memang menarik , tapi bukan berarti ia hidup untuk menarik perhatian lawan jenis.Tetapi wanita muslim hidup hanya untuk Allah SWT yakni Tuhannya, dengan cara menjalankan keinginan Tuhannya, yang membuat dirinya jauh dari fitnah . Allah memerintah muslimah untuk menutup auratnya ( Jilbab ), demi kebaikan hidup muslimah sendiri. Agar tidak diganggu oleh laki-laki yang bernafsu liar. Jilbab ini dapat meredam daya tarik tubuh luar biasa , sehingga seorang muslimah akan jauh dari godaan laki-laki pengumbar hawa nafsu.
2.    Mengangkat derajat dirinya di mata Allah. Dengan jilbab, seorang muslimah akan menjaga prilaku dan meluruskan niatnya hanya karena Allah SWT. Jilbab adalah menjalankan kewajibannya, bukan sekedar trend berbusana. Jilbab menutupi aurat yg memang seharusnya tidak boleh dilihat oleh kaum pria (bukan muhrim), karena itu adalah kewajiban berarti jilbab menyelamatkan kita dari dosa dan memberi kita nilai lebih sebagai seorang muslimah di mata Allah,SWT karena telah menjalankan perintah-Nya.
3.    Menciptakan lingkungan sehat. Dengan berbusana muslim dan berjilbab, ia menjadi kuntributor bagi lingkungan yang sehat dan amanah. Terus menggali keimanan dan menjadi suri tauladan bagi lingkungan, minimal dalam keluarganya sendiri. Muslimah yg memakai jilbab akan terlihat sopan dalam berpakaian dibandingkan dengan kebanyakan dari mereka yg tidak memakai jilbab, dan kebanyakan dari para muslimah yang berjilbab lebih pintar mengatur cara berbicara dengan orang lain, sopan dalam bahasa, santun dalam bertindak.
4.    Perisai dari perbuatan tercela. Menggunakan jilbab memiliki nilai kemuliaan dalam Islam, keindahan dalam Islam. Menjadi benteng kekuatan dari perbuatan tercela dan tipu daya syetan. Apabila niat memakainya adalah hanya untuk Allah, dan karena Allah semata, serta tujuan hanya untuk melaksanakan perintah Allah semata. Kejahilan kaum adam lebih cenderung ke wanita yang berpakaian terbuka dibandingkan dengan yang berpakaian tertutup, tentu kita sangat menghindari hal-hal seperti itu, tapi kebanyakan dari mereka yang berpakaian terbuka lebih senang digoda oleh para lelaki, untuk itulah mereka berpakaian terbuka.

C.    Jilbab Ketat - Pakaian Ketat

Saat ini pakaian ketat sudah menjadi trend mode yang tidak mengenal usia. Trend fashion saat ini sepertinya mewajibkan kita untuk tampil trendi dan kurus. Saat ini, iklan-iklan di berbagai media juga menampilkan model-model cantik dengan berpakaian ketat agar lebih menarik. Memang benar jika saat ini persepsi orang tentang kecantikan adalah tampil langsing atau mungkin malah kurus dengan pakaian yang ketat. Namun, kebanyakan orang tidak menyadari dengan menggunakan pakaian ketat justru menimbulkan bahaya bagi dirinya. Banyak diantaranya para remaja yang gemar mengenakan pakaian ketat tanpa mengetahui bahaya pakaian tersebut bagi kesehatannya.
Di antara fenomena yang sekarang menjamur dan berbahaya adalah model pakaian ketat dan terlihatnya bentuk lekuk tubuh seorang wanita. Padahal Allah dan Rasul Nya menyuruh kaum wanita untuk mengenakan hijab yang mentupi seluruh anggota tubuh agar tidak terlihat sedikitpun auratnya.
Ironisnya banyak diantara wanita yang lalai akan hal itu. Bahkan sebagian mereka mengenakan jilbab yang bermodel dan berbagai gaya dengan istilah jilbab gaul untuk menarik pandangan laki laki.
Dalil yang menunjukan hendaknya wanita tidak memakai pakiaan ketat adalah hadits dari Usamah bin Zaid di mana pernah berkata:
عن أسامة بن زيد قال: 'كساني رسول الله - صلى الله عليه وسلم – قبطية كثيفة كانت مما أهدى له دِحْيَةُ الكلبي فكسوتها امرأتي، فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : مالك لا تلبس القبطية؟ فقلت: يا رسول الله! كسوتها امرأتي، فقال: مرها أن تجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظامها' رواه أحمد وابن أبي شيبة  والبزار والطبراني، والضياء في المختارة
“Rosululllah Shalallahu ‘alahi wa Salam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut lalu di hadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada isteriku. Suatu kala Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa salam menanyakanku: “kenapa baju Quthbiyyahnya tidak engkau pakai?” kujawab : “baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku wahai Rosulullah”, lantas beliau berkata “suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya” .( HR. Ahmad)
Ini adalah penjelasan dalil yang menunjukan dilarangnya mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh. Adapun pakaian Quthbiyyah adalah produksi dari mesir yang tipis. Jika tidak di kenakan baju rangkap di dalamnya maka akan nampak bentuk lekuk tubuhnya sehingga nampaklah aurat wanita. Bahkan nampak pula warna kulitnya.
Syaikh Al Albani rahimahullah pernah mengatakan , “tujuan pakaian muslimah adalah agar tidak menggoda. Tujuan  ini bisa tercapai hanya dengan wanita berbusana longgar. Adapun berbusana ketat walau itu menutupi warna kulit, namun masih menampakan bentuk lekuk tubuh seluruhnya atau sebagiannya. Sehingga hal ini pun menggoda pandangan para pria. Dan sangat jelas hal ini menimbulkan kerusakan tanpa di ragukan lagi. Sehingga pakaian muslimah haruslah longgar ( tidak ketat).”
Syaikh Sholih Al Fauzan pernah di tanya mengenai hukum memakai pakaian ketat yang menampakan bentuk lekuk tubuh. Maka beliau jawab : “tidak boleh wanita mengenakan pakaian ketat yang menampakan bentuk lekuk tubuh kecuali di depan suami barulah di perbolehkan. Karena suami boleh melihat pada seluruh tubuh istrinya. Dan begitu pula tidak boleh memakai kaos kaki yang menampakan bentuk lekuk betis dan pahanya, bahkan tidak boleh sampai memperindah kaki dengan kaus kaki tersebut. Juga perlu diketahui bahwa pakaian ketat seperti ini punya efek bahaya. Sampai disebutkan oleh Dr. Wajih Zainul Abidin dalam perkataan beliau pada majalah kuwaitiyyah bahwa pakaian ketat pada wanita tidaklah lepas dari bahaya di antaranya membahayakan kulit.

D.    Batasan Aurat Laki-Laki Dan Wanita Menurut 4 Madzhab

1.    Batas-batas aurat wanita

a.    Menurut Madzhab Syafi’ie, ada 2 qaul:
Qaul pertama: Aurat wanita merdeka dihadapan laki-laki ajnabi ialah seluruh tubuh badan tanpa kecuali.
Qaul kedua: Aurat wanita dihadapan laki-laki ajnabi ialah seluruh tubuh badan kecuali muka dan telapak tangan. Walau bagaimanapun, jika menampakkan muka dan dua telapak tangan yang dapat menimbulkan fitnah kepada wanita itu, maka wajiblah ia menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali. Fitnah ialah apa yang tampak pada dirinya yang mana jika melihatnya dapat mendatangkan nafsu syahwat.
b.    Menurut Madzhab Hambali, ada 2 qaul:
Qaul pertama: semua anggota wanita adalah aurat tanpa kecuali kepada laki-laki ajnabi.
Qaul kedua: semua anggota tubuh wanita bagi laki-laki ajnabi adalah aurat kecuali muka dan dua telapak tangan. Tapi jika menampakkan aurat adalah menimbulkan fitnah baginya, maka wajiblah juga menutupinya.
c.    Menurut Madzhab Hanafi, ada 2 qaul:
Qaul pertama: aurat wanita merdeka dihadapan laki-laki ajnabi adalah seluruh tubuh kecuali muka dan dua telapak tangan. Tapi jika menampakkan aurat adalah menimbulkan fitnah baginya, maka wajib menutupnya.
Qaul kedua: semua anggota tubuh wanita bagi laki-laki ajnabi adalah aurat, kecuali uka dan dua telapak tangan hingga ke pergelangan tangan dan dua telapak kaki.
d.    Menurut Madzhab Maliki:
Aurat wanita merdeka dihadapan laki-laki adalah seluruh tubuh kecuali muka dan dua telapak tangan. Tapi jika menampakkan aurat adalah menimbulkan fitnah baginya, maka wajib menutupnya.
Jadi dapat diketahui bahwa batas aurat wanita yang telah ditetapkan oleh syariat menurut pendapat dan fatwa madzhab adalah:
Pertama: Di hadapan laki-laki bukan mahramnya adalah seluruh tubuh. Maksudnya termasuk rambutnya, mukanya, kedua telapak tangannya dan telapak kakinya. Hukum ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “sesungguhnya wanita itu ialah aurat.”(HR. Al-Bazar dan At-Tirmidzi)
Ketika sendirian atau di hadapan laki-laki mahramnya atau di hadapan wanita Islam yang baik akhlaknya, batas auratnya adalah antara pusar hingga lutut. Namun, demi menjaga adab wanita sebaiknya menutup aurat secara sempurna agar tidak menimbulkan fitnah.
Kedua: Di hadapan wanita kafir dan wanita yang rendah akhlaknya, aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya kecuali anggota dzahir ketika bekerja, yaitu kepala, muka, leher, dari dua telapak tangan hingga siku, serta dua telapak kaki. Selain itu haram membukanya.
Aurat wanita sahaya (hamba) kepada laki-laki mahramnya dan sesame perempuan, auratnya adalah dari pusat hingga lutut. Sedangkan dengan laki-laki ajnabi yaitu seluruh tubuhnya.

2.    Batas-batas aurat laki-laki

a.    Imam Hanafi dan Imam Hambali berpendapat:
Laki-laki diwajibkan menutup auratnya diantara pusat hingga lutut jika dilihat oleh laki-laki atau wanita ajnabi kecuali kepada istrinya. Selain istrinya maka diharamkan melihat aurat di antara pusat sampai dengan lututnya.
b.    Imam Maliki dan Imam Syafi’ie berpendapat: Aurat laki-laki ada dua keadaan, yaitu: 1.) Auratnya dengan sesama laki-laki dan wanita mahramnya adalah antara pusat sampai dengan lutut. 2.) Aurat dengan perempuan yang bukan mahramnya adalah seluruh tubuh.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jilbab adalah gamis (al qomiish) pakaian yang luas, tapi selain selubung/selimut (al mihafah), atau sesuatu yang dipakai olehnya untuk menyelimuti pakaiannya mulai dari atas seperti selubung/selimut (al mihafah). Atau, dia adalah al khimar (penutup kepala).Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma`ani.
kebanyakan orang tidak menyadari dengan menggunakan pakaian ketat justru menimbulkan bahaya bagi dirinya. Banyak diantaranya para remaja yang gemar mengenakan pakaian ketat tanpa mengetahui bahaya pakaian tersebut bagi kesehatannya.
Ringkasnya menutup aurat adalah kewajiban seorang wanita muslimah dan laki laki tepat ketika dia berikrar menjadi seorang muslim, tidak ada menunda-nunda dalam memakainya dan tanpa pertimbangan apapun dengan cara yang minimal atau maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-karim
Amru bin Abdil Mun’in Salim, Mar’ah Al Muslimah.
Fiqh Al-Arba’ah, jilid I,
fatawa al mar’ah al muslimah, Darul Haistami.
Jilbab Al Mar’ah Almuslimah fil Kitab was Sunnah.
Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 1982).

Sabtu, 18 Juli 2015

Tips bagi Jurnalis Dasar

Tips jurnalistik dasar bagi wartawan pemula: bagaimana menulis berita yang baik untuk koran/perMingguan

berikut ini beberapa tips untuk jurnalis dasar bagi wartawan

1: Menulis dengan jujur.

Fakta tidak boleh dipelintir. Opini dan penafsiran harus ditulis dalam alinea yang berbeda. Boleh tidak netral, tapi harus independen.
Berbohong dalam berita adalah dosa terberat wartawan. Jika jumlah aktivis LSM yang mendemo bupati hanya puluhan orang, jangan tulis ratusan atau ribuan orang. Berita bohong seperti ini sangat sering muncul di koran-koran daerah, terutama menyangkut liputan pilkada.
Jika harus menulis interpretasi atas sebuah fakta, tuliskanlah di paragraf terpisah, dan tunjukkan secara jelas kepada pembaca supaya mereka tahu mana yang fakta dan mana opini atau penafsiran si wartawan.
Reporter yang meliput berita di lapangan harus bersikap independen terhadap semua pihak yang terkait dengan topik tulisannya. Berikan kesempatan yang sama bagi semua narasumber untuk menjelaskan versi mereka, jangan memvonis kebenaran. Wartawan boleh tidak netral, misalnya kalau harus memihak pada rakyat yang jadi korban penindasan penguasa, namun harus selalu independen dengan memberikan kesempatan pada penguasa untuk berbicara.

2: Tanda Baca koma dan pola piramida terbalik.

Berhati-hatilah menggunakan tanda baca koma. Bila salah penempatan, maka redaktur di kantor redaksi bisa salah memahami laporan anda. “Amir memukul, Budi ditangkap polisi” (yang memukul ialah si Amir, kok malah Budi yang ditangkap) adalah berbeda maknanya dengan “Amir memukul Budi, ditangkap polisi” (ini benar, yang ditangkap adalah Amir).
Menulis berita biasa haruslah dalam format piramida terbalik. Yang paling penting di bagian paling atas; alinea-alinea di bawahnya semakin kurang penting. Saya sering membaca berita koran daerah yang memuat nama-nama pejabat yang menghadiri sebuah acara seremonial pada alinea kedua atau ketiga, padahal inti beritanya justru di alinea kelima atau bahkan menjelang akhir.

3: Catat dengan detail. Dengarkan dengan cermat. Rekam, jangan andalkan ingatan.

Saya sering melihat reporter koran yang baru beberapa tahun bekerja melakukan wawancara atau liputan berita di lapangan dengan tidak mencatat sama sekali! Manusia dengan otak super! Bahkan hanya duduk di warung kopi dengan jarak seratusan meter dari lokasi demo atau acara seremonial yang akan jadi topik beritanya. Tapi sepulang meliput, dia bisa dengan santai menulis berita di komputer warnet, tanpa takut sedikit pun bahwa kemungkinan ada data dan fakta yang salah-tulis.
Wartawan pemula sering malu untuk bertanya, “Pak Kadis, ejaan nama Bapak yang benar Jhonny atau Joni atau bagaimana?”
kalau narasumber mengucapkan kalimat dengan makna ganda atau kurang jelas, tanyakan kembali dan tegaskan. Jangan sampai yang dia maksud adalah “Polisi belum akan memeriksa dia” tapi anda tulis dalam berita sebagai “Polisi tidak akan memeriksa dia”.

4: Tulis dalam kalimat yang jelas, lengkap, dan jernih.

Redaktur koran harian akan membiarkan naskah berita reporter yang ditulis dengan kalimat yang membingungkan, karena dia dikejar tenggat menyelesaikan halamannya. Kalau anda menulis berita kriminal tentang mencuri, maka sebutkan sejelas-jelasnya SIAPA yang mencuri, SIAPA yang menjadi korban, dan APA yang dicuri. Jangan anda malah asyik menulis BAGAIMANA pencurian itu terjadi, atau ajakan kapolsek agar warga melakukan ronda malam.
Yang paling mendasar dalam sebuah berita biasa ialah APA dan SIAPA, baru kemudian DI MANA, KAPAN dan yang lainnya. Jangan tulis “Menurut Amir, bla-bla-bla…” tanpa anda jelaskan siapa itu si Amir; apakah dia demonstran, penonton aksi demo, atau pendukung pihak yang didemo.
Sering saya melihat pembaca koran menggerutu, “Apa maksudnya berita ini, tak jelas.” Berita mesti ditulis dengan kalimat yang jernih. Susunlah kalimat-kalimat tunggal, dan sebisa mungkin hindari memakai anak kalimat jika hal itu berpotensi membuat pembaca bingung.

5: Fokus pada topik berita. Jangan melebar ke sana-sini.

Sejak meliput dan wawancara di lapangan, reporter koran sudah harus tahu apa topik atau sudut pandang laporannya. Bila memilih “nasib guru honorer berupah kecil”, maka temuilah pihak-pihak yang terkait dengan isu tersebut. Selain wawancara dengan guru, tanyai juga kepala sekolah, pejabat Dinas Pendidikan, anggota DPRD dari komisi yang membidangi pendidikan, pensiunan guru, dll. Jangan malah anda hanya mengutip komentar aktivis LSM karena dia punya saudara yang baru diputus-kontrak sebagai guru honorer.
Kalau misalnya anda kesal melihat seorang pejabat yang suka berindehoi di kafe-kafe malam, maka liputlah itu secara khusus dan jangan selipkan pada berita bertopik lain, “Ditanya mengenai dugaan korupsi stafnya, Kepala Dinas yang sering berdisko di Tenda Biru ini mengatakan….” Terlalu nampak ‘kali tak dikasih amplop. Malu kita sebagai wartawan.

6: Tulis dengan proporsional, jangan berlebihan.

Ini kelemahan banyak reporter koran di daerah. Fakta yang diaperoleh dari narasumbernya, katakanlah kejaksaan, adalah bahwa Kabag Umum sedang diselidiki terkait kasus dugaan penggelembungan dana pembelian seprai dan gorden rumah dinas bupati. Tapi kemudian ditulisnya dalam berita “Tapanuli Utara sarang korupsi”. Jika anda ingin menulis berita Tapanuli Utara sebagai sarang korupsi, maka beberkanlah sekian banyak data kasus korupsi di daerah itu.
Ada wartawan koran menulis berita “Dengan arogannya Camat menjawab via telepon bahwa…” hanya karena si narasumber berbicara ketus-ketus.
Sebaliknya reporter lain yang baru mendapat amplop tebal dari pejabat mengirim naskah berita ke redaksinya “Bupati yang sangat dicintai rakyatnya ini mengatakan…,” padahal si bupati baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan beberapa kali didemo warga.

7: Periksa kalimat kutipan, pernyataan off the record, konfirmasi, dan “ucapan di kedai kopi”.

Jangan biarkan beritamu memiliki celah untuk digugat ke pengadilan. Jika harus menulis kalimat langsung, maka tulislah seperti apa adanya diucapkan oleh narasumber. Bila dia mengucapkan kalimat dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Batak, telitilah saat menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Saat melihat catatan atau mendengar rekaman wawancara, jika anda bingung atau lupa mana bagian informasi yang merupakan pernyataan off the record (tidak untuk ditulis) dan mana yang bukan, tunda dulu menuliskan bagian itu sebelum berhasil mempertanyakan kembali pada narasumber berita.
Si A menuding si B. Apakah anda sudah melakukan konfirmasi pada si B? Jika belum, jangan dulu menulis berita itu. Kalaupun harus, karena alasan-alasan tertentu, seperti deadline atau faktor kemenarikan topik berita, maka samarkanlah secara total identitas si B. Kalau si A menuding si B dalam tiga hal, maka konfirmasinya tidak boleh hanya menyangkut satu hal.
Wartawan koran duduk-duduk santai bersama pejabat dan politikus di kedai kopi, lalu ada seorang pejabat yang melontarkan pernyataan menarik, kemudian si reporter mengutip kalimat tadi dalam beritanya dengan menuliskan nama si pejabat. Jangan lakukan yang begini. Anda harus kembali menemui si pejabat untuk meminta izin apakah kalimatnya itu boleh anda kutipkan ke dalam berita.

#8: Yang terakhir, dan ini sangat mendasar: Patuhilah kode etik jurnalistik yang melarang wartawan melakukan plagiat atau menjiplak.

Jangan kira jika anda mengutip beberapa kalimat berita dari koran lain, atau menyadur bahan dari Internet, maka hal itu tidak akan ketahuan. Percayalah, cepat atau lambat akan ada pembaca yang komplain dan menyampaikannya kepada redaksi anda di kantor. Jika begitu, karir kewartawanan anda sudah sedang di ujung tanduk. Redaktur anda akan wanti-wanti untuk menerbitkan berita yang anda laporkan, dan koran lain pun akan berpikir keras untuk menerima lamaran dari wartawan tukang jiplak.
Saya punya pengalaman soal ini. Dulu di sebuah koran mingguan, di mana saya menjadi pemimpin redaksi, ada seorang redaktur saya yang menulis ulasan mengenai ulos Batak “sepanjang air sungai mengalir” alias sangat-sangat panjang. Tulisan itu terbit beberapa edisi, dan memakan ruang satu halaman penuh. Pada edisi kedua, ada seorang pembaca mengirim email kepada saya, dan ada dua orang lainnya yang menelepon langsung ke ponsel saya. Mereka komplain dan mengatakan bahwa artikel perihal ulos Batak itu adalah plagiat alias dijiplak dari situs blog di Internet, dan bukan karya si redaktur.
Memang pada tulisan itu, di bawah judulnya, tertulis “oleh…” (tanda titik-titik adalah nama si redaktur), tanpa keterangan sedikit pun bahwa karya tersebut dikutip dari sejumlah blog Internet. Bahkan dengan beraninya si redaktur menulis kredit-foto pada gambar-gambar ulos: “Foto oleh…” (juga tertulis namanya).
Setelah saya cek dan benar bahwa semua isi artikel dan foto itu adalah karya cipta milik beberapa blogger di Internet, pada koran edisi berikutnya saya menambahkan keterangan di bawah judul: “Dikutip dari berbagai sumber di Internet”. Seharusnya saya hendak menulis alamat-alamat blog yang dikutip, tapi ada alasan tertentu sehingga tidak jadi.
Beberapa hari kemudian dalam rapat redaksi, si redaktur malah protes pada saya. “Mengapa Pemred bikin begitu. Itu sama saja telah melecehkan saya. Berhari-hari saya mencari bahannya dan menggabungkannya menjadi satu tulisan,” katanya.
Bah, makjang! Sudah ketahuan menjiplak tapi masih berkelit pula. Yang dilecehkan itu sebenarnya siapa: dia atau blogger si penulis asli? Tidak lama kemudian, setelah muncul kesalahan-jurnalistik lain dalam tugasnya sebagai redaktur, akhirnya saya memecat dia dan mencari redaktur baru.

Sumber :
http://jararsiahaan.com/jurnalisme/teknik-cara-tips-menulis-berita-wartawan-koran/152/

Sabtu, 20 Juni 2015

FUNGSI TOMBOL WINDOWS YANG HARUS DIKETAHUI


FUNGSI TOMBOL WINDOWS - Bagi kalian yang sehari-harinya didepan komputer pastinya suadah tahu tombol windows. tapi mungkin fungsi tombol windows ini belum banyak yang kamu ketahui. nah kali ini saya akan memberikan informasi terkait Fungsi Tombol Windows yang harus kamu diketahui.
Kalian yang kerap menggunakan komputer harusnya familiar dengan salah satu tombol di keyboard yang berbentuk seperti jendela, dan mengerti fungsinya.  Tombol bernama Windows Logo Key itu ternyata mempunyai fungsi yang bisa memudahkan pengguna untuk mengakses menu-menu lain yang ada di komputer bila dipadukan dengan tombol lain (Shortcut). Tapi shortcut yang ada hanya akan berjalan apabila komputermu menggunakan sistem operasi Windows.

Windows Logo Key berada di antara tombol Alt dan Fn/ Ctrl yang berada di sebelah kiri bawah bagian keyboard. Nah, berikut beberapa fungsi shortcut yang bisa digunakan dengan bantuan Windows Logo Key.

FUNGSI TOMBOL WINDOWS

Berikut beberapa Fungsi Tombol Windows yang perlu kamu ketahui :
1. Klik Windows: untuk menampilkan Start menu.
2. Klik Windows Logo + D : untuk menampilkan desktop, meminimasi aplikasi windows yang terbuka atau mengembalikan (restore) semua aplikasi windows yang terbuka.
3. Klik Windows Logo + E : untuk membuka Windows Explorer.
4. Klik Windows Logo + F: untuk menampilkan menu pencarian file (Search Results).
5. Klik Windows Logo + Ctrl + F: untuk menampilkan menu pencarian "Search Results - Computer".
6. Klik Windows Logo + F1 : untuk membuka menu "Help and Support Center".
7. Klik Windows Logo + R : untuk membuka kotak dialog "Run".
8. Klik Windows Logo + break: untuk membuka kotak dialog "System Properties".
9. Klik Windows Logo + M: untuk meminimasi semua aplikasi windows yang sedang dibuka atau dengan kata lain kembali ke desktop.
10. Klik Windows Logo + shift + M : kebalikan dari Windows Logo + M, yakni untuk meng-undo semua windows yang diminimasi.
11.Klik Windows Logo + L : untuk mengunci workstation
12. Klik Windows Logo + U : untuk membuka menu "Utility Manager".
13. Klik Windows + tab : layar komputer akan terganti menjadi 3D.
14. Klik Windows + R lalu ketik psr.exe : untuk  memulai rekaman.
15. Klik windows + R dan masukan osk, di layar monitor akan muncul keyboard virtual
16. Klik Windows ditambah "+" atau "-" , maka kaca pembesar akan muncul di layar, dan kita bisa memperbesar atau memperkecil gambar di layar sesuai keperluan.

Nah Itulah beberapa Fungsi Tombol Windows Logo Key yang bisa dipadukan dengan beberapa tombol lain. Selamat mencoba semoga berhasil..

Jumat, 22 Mei 2015

Pengertian, Rukun, Syarat Upah dalam Islam

UPAH DALAM ISLAM

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah

Fiqih Iqtishodi

Dosen Pengampu:

ZAHRATUN NAFISAH, Lc., M.H.I



Disusun oleh:

ACHMAD MIFTACHUL ALIM        1213001

ANIK NISROATIN            1213007

FATKIYATUL FITRIYANI            1213015


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)

JEPARA 2015


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.

    Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan taufiknya kami di beri kenikmatan berupa kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya, Amin

    Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqih Iqtishadi semester Empat Fakultas Syariah dan Hukum prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara, dengan judul “Upah Dalam Islam”.

    Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa dukungan serta bimbingan dari pihak-pihak terkait, oleh karena itu, pertama kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqih Iqtishadi. Kedua kepada kedua orang tua kami atas do’a dan dukungan moril maupun materil yang telah di berikannya. Ketiga kami ucapkan kepada rekan-rekan di fakultas syariah prodi al-ahwal as-syahsiyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara Yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

    Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang telah di harapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin…..

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jepara, 17 Mei 2015
Kelompok 09



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR      ii

DAFTAR ISI     iii
BAB I PENDAHULUAN     1
A.    Latar Belakang      1
B.    Rumusan Masalah     1
C.    Tujuan Penulisan    1
BAB II PEMBAHASAN     2
A.    Definisi Upah    2
B.    Landasan Syari’ah    4
C.    Syarat dan Rukun Upah Mengupah    5
D.    Hubungan Buruh Dan Majikan    6
E.    Kebijakan Pemerintah    6
BAB III PENUTUP    8
A.    Kesimpulan     8
DAFTAR PUSTAKA     9


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas. Sebelum dijelaskan pengertian upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah.

Pihak yang menyewakan sesuatu disebut Muajjir, pihak yang menyewa disebut mustajir dan objek yang dijadikan sasaran yang berwujud imbalan dalam berijarah disebut al-maqud alaih, serta imbalan atas jasa yang diberikan disebut upah (ijarah).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dari upah?
2.      Apa landasan syari’ah dari upah?
3.      Apa saja syarat dan rukun dari upah?
4.      Bagaimana hubungan buruh dan majikan?
5.      Bagaimana kewenangan pemerintah dalam urusan upah pekerja?
C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui definisi dari upah.
2.      Untuk mengetahui landasan syari’ah dari upah.
3.      Untuk mengetahui syarat dan rukun dari upah Untuk mengetahui.
4.      Untuk mengetahui hubungan buruh dan majikan.
5.      Untuk mengetahui kewenangan pemerintah dalam urusan upah pekerja

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Upah

Sebelum dijelaskan pengertian upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris ahmad dalam bukunya yang berjudul fiqih syafi’i, berpendapat bahwa ijarah upah- mengupah. Hal ini terlihat saat beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, yaituu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah fiqih sunnah karya sayyid sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa- menyewa. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah[1].

Al- ijarah berasal dari kata al- ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah[2].

Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata Al- ajru yang bearti al- ‘iwadh/ penggantian, dari sebab itulah ats- Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al- ajru/upah[3].

Adapun secara terminologi, para ulama fiqih berbeda pendapat nya, antara lain[4]:

1.    Menurut Sayyid Sabiq, al- ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.

2.    Menurut ulama Syafi’iyah al-ijarah

 عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم

Artinya: ”Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

Jadi upah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.

3.    Menurut Amir Syarifuddin al- ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’Ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut Ijarah ad-Dzimmah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al- ijarah.

4.    Ulama Hanafiyah:


عقد على المنا فع بعوض

Artinya: ” Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.”

5.     Ulama Malikiyah dan Hambaliyah:

تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض

Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam    waktu tertentu dengan pengganti.”[5]

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, di terjemahkan dalam bahasa indonesia bearti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah “menjual manfaat” dan upah mengupah adalah” menjual tenaga atau kekuatan”[6].

 Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain. Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim). Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

B.     Landasan Syari’ah

Jumhur fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya.[7]

Berikut ini beberapa landasan dalam upah-mengupah:

1.      Q.S. Az Zukhruf ayat 32

أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

2.      Dalam hadits Nabi

a.       “Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh.Lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

b.      “Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)

c.       Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

3.      Ijma

Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam.

C.    Rukun dan Syarat Upah Mengupah[8]

1.      Mu’jir dan musta’jir yaitu pihak yang melakukan akad ijarah.[9]

Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu.[10]

2.      Shighat (akad). Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul yang dilakukan dalam jual beli.

3.      Ujrah (upah). Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah    besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup, kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.

4.      Ma’qud alaihi (barang yang menjadi Obyek). Sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal. Dilarang memberikan jasa yang haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras dan sebagainya. Asal pekerjaan yang dilakukan itu dibolehkan Islam dan aqad atau transaksinya berjalan sesuai aturan Islam. Bila pekerjaan itu haram, sekalipun dilakukan oleh orang non muslim juga tetap tidak diperbolehkan.

D.    Hubungan buruh dan Majikan[11]

     Hubungan buruh dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa, adil, jujur dan amanah.

Nilai luhur tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, tauhid maknanya mengesakan Allah swt. Baik buruh maupun majikan haruslah sama-sama beriman kepada Allah swt, mengesakan Allah swt, sehingga dalam menjalankan pekerjaan/usaha mereka semua memiliki niat mencari keridloan Allah swt semata.

Kedua, baik buruh maupun majikan melaksanakan hubungan kerja dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah swt, dan tidak akan melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syara’.

Ketiga, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara adil dengan mengedepankan kuajiban untuk mendapatkan hak masing-masing.

Keempat, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara terbuka dari awal menandatangani kontrak/ kesepakatan kerja hingga proses pelaksanaan kerja, masing-masing berlaku jujur dan terbuka.

Kelima, keduanya sama-sama memegang amanah, melakukan pekerjaan/usaha sebagai wujud menunaikan amanah Allah swt dan masing-masing menunaikan amanah atau tanggung jawab yang disepakati.

E.     Kewenangan Pemerintah Dalam  Upah Pekerja

Upah merupakan imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepda karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau pelayanan yang banyak diberikan. Jadi, tidak sepetti gaji yang relatif tetap, besarnya upah dapat berubah-ubah. Konsep upah biasanya dihubungkan dengan proses pembayaran bagi tenaga kerja lepas.[12]

Peran pemerntah dalam membuat kewenangan upah pekerja dengan cara menetapkan upah minimum.  Beberapa dasar pertimbangan dari penetapan upah minimum, yaitu:

1.      Sebagai jaring pengaman agar nilai upah tidak melorot dibawah kebutuhan hidup minimum.

2.      Sebagai wujud pelaksanaan Pancasila, UUD 45 dan GBHN secara nyata.

3.      Agar hasil pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki kesempatan, tetapi perlu menjangkau sebagian terbesar masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarganya.

4.      Sebagai satu upaya pemerataan pendapatan dan proses penumbuhan kelas menengah

5.      Kepastian hukum bagi perlindungan atas hak – hak dasar Buruh dan keluarganya sebagai warga negara Indonesia.

6.      Merupakan indikator perkembangan ekonomi Pendapatan Perkapita.

Secara umum, upah minimum belum mampu mencukupi kebutuhan hidup di Indonesia. Walaupun hal ini harus” dikembalikan” lagi kepada ndividu masig-masing. kebutuhan setiap ndividu tentunya bervariasi. kenaikan harga- harga kebutuhan, baik primer maupun sekunder, terkadang tidak di ikuti kenaika upah.kalaupun ada kenaikan upah, belum mengimbangi kenaikan harga-harga tersebut. Yang lebih memprihatinkan, masih banyak perusahaan yang membayar pekerjanya dibawah upah minimum yang sudah ditetapkan. Disisi lain, menetapkan upah minimum tidak semudah membalikkan telapak tangan.



BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

Jumhur fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya

Rukun dan Syarat Upah Mengupah
1.    Mu’jir dan musta’jir.
2.    Shighat (akad).
3.    Ujrah (upah).
4.    Ma’qud alaihi (barang yang menjadi Obyek).
Hubungan buruh dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa, adil, jujur dan amanah.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan , dan  Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014),
Jakarta: Kencana Prenada Media group,2010 ).
Qomarul Huda, fiqh muamalah, (Yogyakarta: sukses offset, 2011).
Viethzal Rivai Zainal dkk, Islamic Human Capital Management, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),


[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), hlm, 113.
[2] Ibid, hlm, 114
[3] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan , dan  Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat ( Jakarta: Kencana Prenada Media group,2010 ), hlm, 277.  
[4] Ibid,hlm,277.
[5] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 114.
[6] Ibid, hlm. 115.
[7] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., Op.cit, hlm. 141.
[8] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 117-118.
[9]Qomarul Huda, fiqh muamalah, (Yogyakarta: sukses offset, 2011), hlm.80.
[10] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 117.
[11]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1, hlm. 334-336.
[12] Viethzal Rivai Zainal dkk, Islamic Human Capital Management, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Hlm. 569.

Minggu, 10 Mei 2015

REAL MADRID DIAMBANG PUASA TANPA GELAR

Materi Lengkap - Pelatih Real Madrid, Carlo Ancelotti mengakui bahwa timnya harus membayar mahal atas kesalahan mereka sehingga hanya mampu bermain imbang 2-2 melawan Valencia.
Kondisi sekarang ini menjadi sangat rumit bagi carlo anceloti, tahun ini real madrid diambang tanpa gelar, karena la liga tadi malam memetik hasil imbang dan memperjauh jarak poin dari sang rival barcelona dari perebutan gelar LA Liga, tadi malam saat melawan Valencia di jornada ke 39 real madrid harus puas dengan skor imbang 2-2. pada babak pertama, Icer Casilas harus memungut dua bola dari gawangnya, yang di lesak kan oleh Paco Alcacer dan Javi Fuego
Real Madrid sejatinya memiliki peluang untuk memperkecil skor di akhir babak pertama. Sayang, eksekusi Cristiano Ronaldo mampu digagalkan Diego Alves.
Beruntung penampilan Real Madrid membaik di babak kedua, dan mampu menyamakan kedudukan lewat Pepe dan Isco.
"Ini hasil yang tak bagus, meskipun pertandingan ini sangat baik. Kami berjuang sampai akhir, sebenarnya kami pantas menang. Kami banyak memiliki peluang mencetak gol, tapi itu tidak cukup," ujar Carlo Anceloti.
"Kami harus membayar kesalahan kecil, tapi reaksi para pemain di babak kedua sangat baik. Para pemain bekerja keras bersama-sama," tandasnya
real madrid selanjutnya akan menjamu Juventus di Leg ke 2 Champion, besok semua punggawa harus memenangkannya dan selanjutnya membawa pulang piala si kuping besar ke tanah madrid  jika tidak ingi puasa gelar musim ini. karena hanya itu kesempatan terakhir real madrid.

Sabtu, 09 Mei 2015

FOTO PEMANDANGAN INDAH


Nah kali ini ML akan memposting tentang photo pemandangan ,

Sabtu, 31 Januari 2015

SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2

Keberadaan peradilan islam sangat berpengaruh terhadap stabilitas sebuah negara, karena problematika umat selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial politik serta budaya yang melatar belakanginya. Begitu pula yang terjadi pada dunia islam periode abasiyah kedua sampai pada periode usmaniyah. Lembaga peradilan memiliki corak yang berbeda dengan pemerintahan daulah islamiah yang lain.
 
SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2
SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2

Peradilan pada masa ini sesungguhnya masih meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya. Pada pemerintahan dinasti abasiyah agama islam sudah berkembang keberbagai daerah, para fuqoha’ telah dipencar keberbagai negeri serta bermacam-macam kasus dn hal ihwal umat islam telah terjadi.

Adapun pada dinasti usmaniyah banyak perubahan dalam sistem peradilan karena dipenghujung kekuasaan dinasti ini banyak pengaruh dari dunia barat / eropa yang banyak menggeser sistem peradilan islam sehingga dalam dua dinasti ini sangat menarik untuk didiskusikan.

B. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

1. Bagaimana sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua
2. Bagaimana sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua usmaniya.
3. Apa saja lembaga peradilan pada masa dinasti abasiyah
4. Apa saja lembaga peradilan pada masa dinasti usmaniyah



C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua

2. Untuk mengetahui sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua usmaniyah

3. Untuk mengetahui peradilan pada masa dinasti abasiyah

4. Untuk mengetahui lembaga peradilan pada masa dinasti usmaniyah

BAB II

PEMBAHASAN




1. PERADILANISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH

A. SEJARAHSINGKAT TENTANG BANI ABBASIYAH

Dinasti abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti bani umayyah. Dinamakan abbasiyah karena pendiri dinasti ini adalah keturunan dari al-abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dan kekuasaan bani abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/750 sampai 656 H/ 1258 M.[1]

Abu Al-Abbas al-safah a(750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi, karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far Al-Manshurlah (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti ini. Pada tahun 762 M, Abu Ja’far al-manshur memindahkan ibu kota dari damaskus ke hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi kebagdad dekat dengan ctesiphon, bekas ibu kota persia. Oleh karena itu, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbas berada di tengah-tengah bangsa persia.

Abu Ja’far Al-Manshurlah sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada pemerintahannya bagdad sangatlah disegani oleh kekuasaan byzantium. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahanDaulah Abbasiyah menjadi lima periode :

1. Periode pertama ( 132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M), disebutkan periode pengaruh arab dan persia pertama

2. Periode Kedua ( 232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), disebutkan periode pengaruh turki pertama

3. Periode Ketiga ( 334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Buwaihiah dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Periode ini disebutkan juga masa pengaruh persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 119 M), Masa kekuasaan Daulah Bani Saljuk dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh turki kedua 9dibawah kendali ) kesultanan seljuk Raya (salajiqah al-kubra/saljuk Agung).

5. Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M), Masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota bagdad (invasi dari bangsa tartar, dan ekspansi Bani Utsmani Secara besar-besaran.[2]

Pada periode pertama pemerintahan bani abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifahnya betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat rakyat mencapai tingkat tertinggi. Periode in juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun setelah periode ini berakhir , pemerintahan abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Dan pada kesempatan ini materi yang akan dibahas yaitu masa daulah abasiyah periode 2 (232 H – 334 M/ 847 M – 946 M)

Pada masa daulah abasiyah periode II ini 13 khalifah yang menjabat,yaitu :

1. Al-Mutawakkil ‘Ala Allah (232-247 H)

2. Al-muntashir billah muhammad, abu ja’far (247 -248 H)

3. Al-musta’in billah, Abu al-abbas (248–251 H)

4. Al-mu’taz billah, mhammad (252-255 H)

5. Al-muhtadi billah (255-256 H)

6. Al-mu’tamid billah (256-279 H)

7. Al-mu’tadhid billah, ahmad (279-289 H)

8. Al-muktafi billah, Abu Muhammad (289-295 H)

9. Al-muqtadir billah, abu al-fadhal (295-320 H)

10. Al-qahir billah, abu manshur (320-322 H)

11. Al-radhi billah, abu al-abbas (322-329 H)

12. Al-muttaqi lillah, abu ishaq (329-333 H)

13. Al-mustakfi billah, abu al-qasim (33-334 H)




B. SejarahPeradilan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan hukum yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah, seperti tetap dilestarikannya badan hukum Nazar al-Mazalim dan Lembaga Hisbah[3]. Sebagaimana Umayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat.

Di bawah ini beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:

1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)

Lembaga Qadiy al-Qudat yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah.

Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid Abu yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya. Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat pada 182 H. Sebagai seorang hakim agung, Abu Yusuf telah banyak melahirkan karya-karya dalam bentuk tulisan berupa kitab-kitab. Dalam “Kitab Al-Fihrist”, sebuah kompilasi bibliografi buku yang ditulis pada abad ke-10 M oleh Ibnu Al-Nadim. Abu Yusuf telah menciptakan sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang, termasuk hukum Islam, hukum internasional, dan hadis. Di antara karyanya yang monumental adalah kitab “Al-Athar” suatu narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis. Selain itu, Abu Yusuf juga menulis “Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Layla” yang isinya mengulas mengenai perbandingan fikih. Tak hanya itu, ia juga menulis “Kitab Al-Radd 'Ala Siyar Al-Awza'i” yang merupakan suatu kitab bantahan terhadap “Al-Awza'I” (seorang ahli hukum yang dikenal di Suriah) mengenai hukum peperangan. Kitab lain yang ditulisnya berjudul “Al-Jawami” merupakan buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid yang berisi tentang perdebatan mengenai ra'yu dan rasio.

Beberapa karyanya yang lain merupakan hasil penulisan kembali yang dilakukan oleh para muridnya dan diteruskan melalui generasi penerusnya. Misalnya, kutipan dari buku Abu Yusuf berjudul “Kitab Al-Hiyal” (Kitab Perangkat-Perangkat Hukum) yang ditulis kembali oleh salah seorang muridnya, Muhammad Al-Shaybani, dalam buku berjudul “Kitab Al-Makharidj fi Al-Hiyal”. murid Abu Hanifah, dan yang lainnya yang menjadi pejabat Qadiy al-Qudat adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy.[4]

2. Wilayah Hisbah

a. PengertianWilayah Hisbah

Wilayah hisbah dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.[5] Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.[6]

b. SatusDan Wewenang Wilayah Hisbah

Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik,

lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib.[7] Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.[8]

Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain

3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)

Lebaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim.

Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.

Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:

a. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.

b. Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak.

c. Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.

d. Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang

e. Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.

Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:

a. Mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.

b. Mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan, keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.

c. Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.

d. Mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak.[9]

Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai berikut:

a. Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)

b. Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr)

c. Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat)

d. Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat)

e. Tidak serakah (qalil al-thama’)

f. Sangat wara’.




4. Al-Nidham Al-Madhalim

Al-Nidham Al-Madhalim adalah yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.

5. Badan Arbitrase

Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya.

6. Hakim

a. Luasnya wewenang hakim

Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.

Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.

Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.

b. Penyebaran hakim di beberapa wilayah


Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Akan tetapi pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu hal ini disebabkan munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadiy al-Qudat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.

c. Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim


Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka

d. Tugas Hakim


- Memberi penyelesaian terhadap suatu perkara yang diajukan ke mahkamah.
- Melimpahkan hak kepada pihak yang dinyatakan benar dalam persidangan dengan keputusan qadhi.
- Menetapkan perwalian bagi yang berada di bawah pengampuan.
- Mengkoordinir serta mengurus semua yang berhubungan dengan harta wakaf.
- Mentanfizkan wasiat bila yang berwasiat berhalangan.
- Menikahkan anak yatim serta orang yang dinyatakan tidak mempunyai wali.
- Menjatuhkan hukuman hudud bagiorang yang melanggar atau melakukan tindak pidana.
- Menangani masalah yang berhubungan dengan masyiarakat yang
- berkaitan dengan eradilan.
- Menetapkan saksi dalam persidangan yang diselenggarakan diperadilan yang berada di bawah kekuasaannya.

2. SEJARAHPERADILAN ISLAM PADA MASA USMANIYAH


A. Sekilas Sejarah Turki Usmani


Nama kerajaan turki utsmani diambil dan dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang pertama, sultan usman bin sauji bin orthogol bin sulaiman syah bin kia Alp.[10] garis keturunan bani utsmani bersambung dengan kabilah turmaniyah yang mendiami daerah kurdistan. Suku turki adalah bangsa yang hidup secara nomaden. Ekses dar agresi bangsa mongol yang dipimpin jengis khan ke irak dan asia kecil, kakek dari usman, sulaiman, hijrah bersama kabilahnya. Mereka bermigrasi sampai pesisir laut tengah di Antolia. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa arab muslim yang mendiami daerah selatan anatolia. Interaksi yang harmonis terjalin diantara mereka, sehingga lambat aun mereka pun mulai memeluk agama islam.

Dibawah komando Orthogol, suku turki yang mendiami antolia, lebih kurang 400 keluarga, mengabdi dan bersekutu dengan pasukan saljuk Rum, Mereka membantu sultan alaudin III yang sedang berperang melawan Byzantium. Alaudin II mampu mengalahkan Byzantium atas bantuan orthogol dan pasukannya. Sultan pun memberinya hadiah berupa sebidang tanah yang berbatasan dengan Byzantium. Suku turki terus membina wilayah barunya dan memilih kota syukud sebagai ibukota. Mereka juga diberikan wewenang untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan Byzantium.

Pada 699 H/ 1299 M Orthogol meninggal dunia. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, usman inilah yang dianggap sebagai cikal bakal dari berdirinya kerajaan turki usmani. Jasanya kepada saljuk rum begitu besar dengan menguasai benteng-benteng Byzantium.

Pada 1300 M sultan Alaudin II terbunuh oleh tentara mongol yang menyerang saljuk rum. Kerajaan saljuk terpecah menjadi kerajaan kecil-kecil. Usman pun mendeklarasikan dirinya sebagai sultan yang berdaulat penuh. Dengan dukungan militer yang kuat menjadi benteng bagi kerajaan-kerajaan kecil dari agresi bangsa mongol. Secara tidak langsung mereka mengakui atas kedaulatan sebagai penguasa tertinggi.

Dalam perkembangan selanjutnya turki usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Tidak kurang dari 37 sultan yang memimpin sejak pertama berdiri tahun 1299 M hingga 1922 M (623 tahun). Bahkan kekuasaan terbentang luas, meluputi daratan eropa, mesir, afrika utara, asia hingga persia, lautan hindia hingga laut hitam. Tiga benua menjadi daerah kekuasaan kerajaan usmani.

B. Peradilan Turki Usmani


Kerjaan turki usmani pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu azhab. Pada fase berikutnya penguasa usmani mengundang mazhab hanafi sebagai mazhab resmi dalam fatwa dan peradilan.

Perkembangan hukum islam pada masa dinasti usmani, sejak sultan I Bin Ortoghol (1299 M) hingga meninggalnya salim I bin bayazid II (1520 M), belum terkodofikasi dan tersistemasikan dengan sempurna, oleh sebab itulah pemerintahan usmani, pada masa sultan sulaiman 1 bin salim (1520 M), berupaya unuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.

Metode yang digunakan dalam upaya menkodifikasikan hukum dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Menetapkan mazhab resmi bagi negara.
2. Penyusunan satu pendapat mazhab
3. Mengkomplikasikan hukum islam dari mazhab yang berbeda
4. Mengadopsi perundang-undangan modern

Pembabakan peradilan pada peradilan turki usmani dibagi menjadi 3 :

a. Sebelum Tanzimat


Kerajaan turki usmani dipimpin oleh seorang sultan yang mempunyai kekuasaan temporer atau duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan gelar sultan dan sebagai kepala rohani umat islam digunakan gelar khalifah. Dengan demikian raja-raja usmani memiliki dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela agama islam.

Dalam melaksanakan kedua kekuasaan itu sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi, sadrazam untuk urusan pemerintahan dan Syaikh Al-islam untuk urusan keagamaan.[11]

Syaikh al-islam yang mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh Qadhi askar Al-Rumali yang membawahi Qadhi-qadhi usmaniyah bagian eropa. Qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi usmaniyah bagian asia dan mesir.[12]

Adapun bentuk-bentuk peradilan pada masa ini antara lain:
1. Al-juz’iyat (mahkamah biasa / rendah) untuk perkara-perkara pidana dan perdata
2. Mahkamah al-isti’naf (mahkamah banding) untuk meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku
3. Mahkamah al-tamyiz/ al-naq wa al-ibram (mahkamah tinggi) untuk memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapka hukum
4. Mahkamah al-isti’naf al-ulya (mahkamah agung) langsung dibawah pengawasan sultan.

b. Masa Tanzimat


Lantar belakang munculnya tanzimat antara lain:
1. Eropa mendesak kerajaan turki usmani untuk mengayomi kaum dzimmi yang berada dibawah kekuasaan usmani
2. Pemberlakuan hukum fiqih bagi orang eropa yang berada diwilayah usmani dengan hukuman mati jika ia mrtad
3. Munculnya tokoh-tokoh tanzimat yang berupaya membatasi kekuasaan sultan yang abslut.

Disamping itu kondusi masyarakatterdiri atas 3 kelompok
1. Tradisional, memepertahankan dan membangun pemikiran atas dasar fiqih dan berpijak pada madzhab yang ada
2. Modrnisme, menawarkan agar fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan sosial budaya masyarakat
3. Reformis melontarkan gagasan bahwa fiqih yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensi.

c. Pasca Tabzimat


Pada akhir periode turki usmani persoalan peradilan yang semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang dipegangkan pun tidak hanya terbatas pada syari’at islam, tetapi diambil dari hukum barat/eropa. Hal ini diakibatkan adanya penetrasi eropa terhadap dunia islam yang diwakili oleh kerajaan usmani, sehingga muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda-beda, yaitu;
1. Mahkamah al-thawaif / qadha al-milli, peradilan untuk suatu kelompok agama
2. Qadha al-qanshuli, peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang orang asing tersebut.
3. Qadha mahkamah pidana, bersumber dari perundang-undangan eropa
4. Qadha mahkamah al-huquq mengadili perkara perdata,
5. Majelis al-syar’i al-syarif, mengadili perkara umat islam khusus masalah keluarga.

BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN


Beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:
1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)
2. Wilayah Hisbah
3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
4. Al-Nidham Al-Madhalim
5. Badan Arbitrase
6. Hakim

Adapun peradilan pada masa usmaniyah diantaranya:
1. Al-juz’iyat (mahkamah biasa / rendah) untuk perkara-perkara pidana dan perdata
2. Mahkamah al-isti’naf (mahkamah banding) untuk meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku
3. Mahkamah al-tamyiz/ al-naq wa al-ibram (mahkamah tinggi) untuk memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapka hukum
4. Mahkamah al-isti’naf al-ulya (mahkamah agung) langsung dibawah pengawasan sultan.

 

B. SARAN


Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, maka kami berharap kiranya memeberikan kritik dan saran demi sempurnanya makalah ini, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA


Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan (Bandung: Remaja Rosda karya, 2007).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-hakim-agung-di-era-abbasiyah-2 diakses 22-10-2014.
Ma’luf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986).
al-Farakhi , Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT).
Schacht, Joeseph, An Introduction, to Islamic law, T.tp, Clarendon Press, 1964.
Hassan, Hassan Ibrahim, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993).
as-Shiddiqie, Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001).
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet 1.
Nasution, Harun, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, (jakarta:Bulan Bintang, 1996) cet 11,


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 49-50.
[2] Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 92-93.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan (Bandung: Remaja Rosda karya, 2007), hlm. 56.
[4] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-hakim-agung-di-era-abbasiyah-2 diakses 22-10-2014.
[5] Louis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986), hal. 282.
[6] Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT), hal. 320.
[7] Joeseph Schacht, An Introduction, to Islamic law, Clarendon Press, 1964, hal. 52.
[8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993), hal. 363.
[9] Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 22-26.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet 1, hlm 248.
[11] Harun nasution, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, (jakarta:Bulan Bintang, 1996) cet 11, hlm. 92.
[12] Alaiddin koto, Op cit, hlm 150.