Selasa, 24 Juni 2014

PENGERTIAN HUKUM, HUKUM OBJEKTIF, HUKUM SUBJEKTIK, HAK DAN KEWAJIBAN DALAM MATERI HUKUM


Hukum terdapat dalam kehidupan manusia.Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada hukum jika di tempat tertentu tidak ada manusia. Berdasarkan jalan pikiran tersebut, berlaku adagium yang mengatakan: ada hukum ada masyarakat-ubi­-ius ubi-societes.

Di tengah-tengah gurun pasir Sahara yang tidak ada manusia tidak mungkin ada hukum Karena manusia harus hidup bermasyarakat, maka apabila disuatu tempat hanya ada dihuni oleh satu orang manusia, maka di situ tidak perlukan adanya hukum Masyarakat, bagaimanapun sederhananya, telah memiliki hukum Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa suku-suku bangsa di Indonesia yang belum beradab tidak mempunyai hukum merupakan pendapat yang menyesatkan. Setiap bangsa di dunia mempunyai hukum, sekalipun antara hukum bangsa yang satu dengan bangsa yang lain belum tentu sama, karena hukum mempunyai kaitan yang erat dengan perkembangan dan kemajuan sesuatu bangsa.

Masyarakat yang primitif, akansederhana pula hukumnya. Demikian pula sebaliknya; masyarakat yang modern akan mempunyai pengaruh terhadap hukum yang berlaku pada bangsa tersebut.

Bangsa yang mempunyai banyak kontak dengan bangsa yang lain mengakibatkan banyak percampuran didalam kebudayaan, dan berarti terjadinya percampuran hukum dari bangsa-bangsa tersebut. Negara yang dijajah akan menerima kebudayaan negara yang menjajah, baik sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, langsung ataupun tidak langsung, penerimaan (repectie) hukum dapat terjadi. Sebagai cotoh, ketika bangsa romawi berkuasa dieropa, mereka membawa serta memasukkan kebudayaan Romawi ke negara-negara yang dilakukannya, dan berlakulah hukum Romawi di negara-negara koloni tersebut.

Menurut pendapat madzhab sejarah dari F.C. Von Saigni, tiap tiap hukum ditentukan oleh waktu, tempat dan kondisi masyarakat. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat dari ajaran hukum alam yang menyatakan bahwa hukum sama saja dimanapun dan kapanpun, tidak tergantung kepada pandangan-pandangan manusia dan lebih sempurna dari pada hukum positif.

1.         J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H.
Bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
2.         Soerojo Wignjodipoero, S.H.
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
3.         Mr. E.M. Mayers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
4.         Duguit
Hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
5.         Immanuel Kant
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
6.         Van Kant
Hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
7.         Van Apeldoorn
Hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
8.         S.M. Amir, S.H.
Hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.

Hukum bertujuan mengatur tata tertib masyarakat. Agar tujuan hukum tersebut dapat terwujud, maka hukum menentukan norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang harus di patuhi oleh setiap orang. Selain itu, hukum pun menentukan bermacam-macam petunjuk tentang hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain didalam pergaulan hidup. Misalnya, larangan membunuh, larangan mencuri, perintah membayar pajak dsb.

Sikap atau perikelakuan yang ajeg dapat menjadi hukum kebiasaan apabila dipenuhi dua persyaratan sebagaimana yang dikemukakan oleh Apeldoorn yaitu : syarat material yakni kebiasaan yang ajeg dan syarat psikologis yakni kesadaran akan adanya suatu kewajiban menurut hukum.[2]

Sedangkan menurut Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukannya itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.

Setelah menemukan banyak sekali pengertian tentang hukum Zinsheimer dalam bukunya rechtsociologis membedakan hukum normatif, hukum ideal, dan hukum wajar
1.      Hukum Normatif : hukum yang nampak dalam peraturan-peraturan perundang-undangan serta hukum yang tidak tertulis dalam perundang-undangan tetapi toh ditaati oleh masyarakat karena keyakinan, peraturan hidup itu sudah sewajarnya wajib ditaati.
2.      Hukum Ideal : hukum yang dcita-citakan. Hukum ini pada hakikatnya berakar pada perasaan murni manusia dari segala bangsa diseluruh dunia. Hukum ini yang benar-benar obyektik.
3.      Hukum Wajar : hukum seperti yang terjadi dan nampak sehari-hari. Tidak jarang hukum yang nampak sehari-hari menyimpang dari hukum normatif (tercantum dalam perundang-undanga) karena tidak diambil oleh alat-alat kekuasaan pemerintah, maka pelanggaran tersebut oleh masyarakat yang bersangkutan lambat laun dianggap biasa.[3]

Dalam mencari pengertian tentang hukum memang sulit untuk menemukan suatu definisi yang sungguh-sungguh dapat memadahi kenyataan tentang pengertian hukum. Karena definisi hukum terdapat perbedaan pandangan dalam mengartikannya Antara Tokoh hukum itu.Singkatnya bahwa kesukaran dalam membuat definisi hukum disebabkan:
1.        Karena luasnya lapangan hukum itu
2.        Kemungkinan untuk meninjau hukum dari berbagai sudut (filsafat, politik, sosiologi, sejarah dan sebagainya) sehingga hasilnya akan berlainan dan masing-masing definisi hanya memuat salah satu paket dari hukum saja
3.        Objek (sasaran) dari hukum adalah masyarakat, padahal masyarakat senantiasa berubah dan berubah dan berkembang, sehingga definisi dari hukum juga akan berubah-ubah pula.[4]

Kemudian lemare mengatakan, bahwa hukum yang banyak seginya serta meliputi segala lapangan ini menyebabkan orang tidak mungkin membuat definisi apa hukum itu sebenarnya. [5] selanjutnya L. J. Vn Apeldroom pernah mengatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadahi kenyataan. Selanjutnya L. J. Van Apeldroom menjelaskan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatkannya dalam suatu rumus secara memuaskan.[6]

Penulis-penulis ilmu Pengetahuan hukum di Indonesia juga sependapat dengan L. J. Apeldoorn, seperti sudirman kartohadipridjo mengatakan, “ ... jikalau kita menanyakan apakah yang dinamakan hukum, kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagai perumusan yang dikemukakan”.[7]Lili Rasyidi mengemukakan bahwa hukum itu banyak seginya, tidak mungkin dapat dituangkan hanya kedalam beberapa kalimat saja. Oleh karena itu juka ada yang mencoba merumuskan hukum, sudah dapat dipastikan definisi tersebut tidak sempurna.[8]



adalah pada peraturan hukum (normanya hukum) yang ditujukan terhadap setiap orang yang berkepentingan dan yang memberikan hak jaminan perlindungan.
Untuk jelasnya bahwa hukum objektif adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau golongan tertentu.Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.

Hukum objektif dapat di golongkan antara lain:
a.         Berdasarkan sumbernya
b.        Berdasarkan isinya
c.         Berdasarkan kekuatan berlakunya
d.        Berdasarkan daerah kekuasaannya
e.         Berdasarkanpemeliharaannya
Hukum objektif berdasarkan sumbernya, dapat ditafsir antara lain:
a.         Sumber hukum dalam pengertian historis
b.        Sumber hukum dalam pengertian filosofis
c.         Sumber hukum dalam pengertian sosiologis
Berdasarkan isi hukum, antara lain:
a.         Hukum public
b.         Hukum privat
Berdasarkan kekuatan berlakunya hukum (sanksinya) antara lain:
a.         Hukum paksa
b.         Hukum tambahan
Berdasarkan daerah kekuasaannya, yaitu:
a.         Hukum nasional
b.         Hukum internasional
c.         Hukum asing
Berdasarkan pemeliharaannya, yaitu:
a.         Hukum materiil
b.         Hukum formil[9].

adalah hubungan yang diatur oleh hukum objektif berdasarkan nama yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban terhadap sesuatu.Disebut subjektif, karena dalam hal ini hukum dihubungkan dengan seseorang yang tertentu sesuatu subjek yang tertentu.
         
Hukum objektif dan subjektif berhubungan erat antara keduanya.Hukum objektif adalah peraturan hukumnya.Sedangkan Hukum subjektif adalah peraturanperaturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang yang tertentu dan dengan demikian menjadi hak, kewajiban.

Dengan perkataan lain, hukum subjektif timbul jika hukum objektif beraksi, karena hukum objektif yang beraksi itu melakukan dua pekerjaan: pada satu pihak ia memberikan hak dan pada lain pihak meletakkan kewajiban. Kedua unsur tersebut, yakni pada satu pihak yang diberikan oleh hukum objektif, pada pihak lain kewajiban yang mengikutinnya, kita jumpai pada tiap-tiap hubungan hukum. Jika berdasarkan hubungan hukum yang terdapat antara si pembeli dan si penjual, si pembeli wajib membayar harga pembelian pada si penjual, maka termuat di dalamnya.Bahwa si penjual berhak menuntut pembayaran si pembeli[10].

Biasanya orang mengajarkan: hukum subjektif ialah hak yang diberikan oleh hukum objrktif. Ajaran itu bukanlah salah seluruhnya, melainkan bersifat sepihak, karena ada tiga perkara penting yang tidak di perhitungkannya.

Pertama, tampil kemukanya hak atau wewenang, artinya segi aktif dari hubungan hukum, menyebabkan, bahwa adat bahasa biasanya menyatakan segi yang aktif itu sebagai hak (subjektif).

Adat bahasa itu telah menjadi demikian biasa, sehingga usaha untuk mengubahnya tak akan berhasil. Akan tetapi justru karena itu haruslah dikemukakan dengan tekanan, bahwa terhadap hak pada satu pihak, selalu terdapat kewajiban dari orang lain atau beberapa orang. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari hal yang sama (dari hubungan hukum yang sama) dan karena itu tak dapat dipisahkan. Dengan menamakan hukum subjektif sebagai hak, kita hanya memperhatikan satu pihak. Sebenarnya hukum subjektif adalah suatu hubungan yang diatur oleh hukum objektif, berdasarkan mana yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban.

Kedua, ditinjau dari segi lain, hukum subjektif adalah lebih dari hanya hak belaka. Hukum objektif tidak hanya mengatur, akan tetapi juga memaksa. Dengan demikian berdirilah dibelakang hukum subjektif kekuasaan yang memaksa dari hukum objektif.Ia tidak hanya memberikan hak, melainkan juga alat-alat untuk menjalankannya. Kepada hukum subjektif ia menghubungkan tuntutan hukum atau aksi, yaitu hak untuk meminta bantuan hakim, untuk mempertahankan hukum subjektif. Siapa yang meminjamkan uang uang kepada orang lain, tidak hanya berhak untuk menagihnya kembali, akan tetapi juga mempunyai kekuasaan untuk menerimanya kembali, yakni dengan pertolongan hakim dan polisi.

Hukum subjektif, sebagai juga hukum objektif, adalah kekuasaan.Ia adalah hubungan kekuasaan yang diatur oleh hukum objektif.

Ketiga, hak-hak yang diberikan oleh hukum subjektif, dapat berbentuk dua. Pertama-tama ia dapat terdiri atas hak untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Hukum subjektif dapat juga terdiri atas hak untuk bertindak sendiri.Sebaliknya, terdapat kewajiban, tidak dari seseorang yang tertentu, melainkan kewajiban dari semua orang untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap hak tersebut. Demikian halnya pada hubungan hukum yang dibicarakan diatas, yang terdapat antara seseorang tertentu pada satu pihak dan segala orang lain pada pihak lain, misalnya hak milik dan juga kekuasaan orang tua, yang memberikan hak pada orang tua untuk melakukan kekuasaan atas anak-anaknya dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum objektif.


Hak dan kewajiban didalam bahasa belandadipergunakan dengan istilah subjectief recht untuk hak dan objectief rechtuntuk hukum. Objectief recht atau (hukum objekti) adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau golongan tertentu. Adapun subjectief recht atau hukum subjektif adalah suatu hubungan yang di atur ole hukum objektif, berdasarkan makna yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban.[11]

Hukum subjektif merupakan segi aktif dari hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri atas ikatan antara individu dan masyarakat dan antar individu itu sendiri. Ikatan itu tercerminkan pada hak dan kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain. Misalnya si pembeli berhak menuntut penyerahan barang-barang yang dijual dan ia wajib membayar harga pembeli, si penjual berhak menuntut pembayaran dan ia wajib menyerahkan barang-barang yang dijualnya itu.

Hak dan kwajiban bukanlah merupakan kumpulan kaedah, tetapi merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercemin pada kwajiban pada pihak lain. Hak dan kwajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.

Menurut saut P. Panjaitan, hak adalah peranan yang boleh tdak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kwajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif).[12]

Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum objektif kepada subjek hukum, dan kwajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum, seperti kwajiban pengusaha yang berbadan hukum untuk membayar pajak penghasilan. [13]

1.        Hak dan kewajiban yang jamak arah atau absolut yaitu hak dan kewajiban itu dapat dipertahankan terhadap siapa saja seperti dalam hubungan kenegaraan (hak negara menagih pajak, kewajian warga negara membayar pajak), hak kpribadian (hak untuk hidup/leven, hak atas tubuh/lijf, hak atas kehormatan/eer, dan hak atas kebebasan vrijheid, hak kekeluargaan (kepada suami istri, orang tua anak), hak kebendaan, hak objek immateril (seperti hak cipta).
2.        Hak dan kewajiban yang se arah/relative, yaitu hak dan kewajiban yang hanya dapat dipertahankan terhadap pihakpihak saja, seperti dalam hubungan utang piutang. Antara hak dan kewajiban didalam bidang tata hukum sering tidak jelas perbedaannya. Dengan demikian, dalam hubungan yang bertingkat (hierarki) sayogiannya dipergunakan kekuasaan dan ketaatan dalam hubungan antara penguasa dengan warga negara dalam hukum kenegaraan.

PENUTUP



A.      Kesimpulan

Dengan berdasasrkan keterangan di atas dapat kami simpulkan bahwa:Hukum termasuk salah satu disiplin ilmu yang sudah mapan dan diakui secara internasional, ia merupakan pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar menurut harkat kemanusiaan.

Ilmu hukum berarti setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum, ia meliputi semua generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-masakdibidang hukum. Didalamnya memuat studi tentang obyek dan subyek yang menjadi pokok kajiannya.

Hubungan hukum itu terdiri atas ikatan antara individu dan masyarakat dan antar individu itu sendiri. Ikatan itu tercerminkan pada hak dan kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain. Hak dan kwajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Apeldroom, L.J. Van,(1985), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita
Daliyo, J.B. (1994), Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ishaq, (2009), Dasar-Dasar Ilmu Hukum, cet. 2, Jakarta : Sinar Grafika
Kartohadiprodjo, Sudirman Dalam C.S.T Kansil, (1982), Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakatra: Balai Pustaka
Panjaitan, Saut P.,(1998), Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, Dan Sistematika),Palembang : Penerbit Universitas Sriwijaya
Rasyidi, Lili,(1985), Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? (Bandung : Remaja Rosdakarya,
Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, (1993), Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Syarifain, Pipin,(1998), Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Cv Pustaka Setia



[1]Pipin Syarifain, Ibid.,hlm 22-24.
[2]Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm. 19
[3]Pipin Syarifin, Ibid, .hal 18-29
[4]Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, cet. 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) hlm. 1
[5]Pipin Syarifin, op.cit. Hlm 21.
[6]L.J. Van Apeldroom, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), Hlm 13
[7]Sudirman Kartohadiprodjo, Dalam C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakatra: Balai Pustaka, 1982), Hlm.33.
[8]Lili Rasyidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1985), hlm. 3.
[9] Pipin Syarifin, op.cit., hlm 69
[10] L.J.Van Apeldoorn, op.cit., hlm 41
[11]L. J. Van Apedroon, Ibid. hlm, 55
[12]Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, Dan Sistematika), (Palembang : Penerbit Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 81
[13]J.B. daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994). hlm 32-34