UPAH DALAM ISLAM
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah
Fiqih Iqtishodi
Dosen Pengampu:
ZAHRATUN NAFISAH, Lc., M.H.I
Disusun oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM 1213001
ANIK NISROATIN 1213007
FATKIYATUL FITRIYANI 1213015
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan taufiknya kami di beri kenikmatan berupa kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya, Amin
Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqih Iqtishadi semester Empat Fakultas Syariah dan Hukum prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara, dengan judul “Upah Dalam Islam”.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa dukungan serta bimbingan dari pihak-pihak terkait, oleh karena itu, pertama kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqih Iqtishadi. Kedua kepada kedua orang tua kami atas do’a dan dukungan moril maupun materil yang telah di berikannya. Ketiga kami ucapkan kepada rekan-rekan di fakultas syariah prodi al-ahwal as-syahsiyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara Yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang telah di harapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin…..
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jepara, 17 Mei 2015
Kelompok 09
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Definisi Upah 2
B. Landasan Syari’ah 4
C. Syarat dan Rukun Upah Mengupah 5
D. Hubungan Buruh Dan Majikan 6
E. Kebijakan Pemerintah 6
BAB III PENUTUP 8
A. Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas. Sebelum dijelaskan pengertian upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah.
Pihak yang menyewakan sesuatu disebut Muajjir, pihak yang menyewa disebut mustajir dan objek yang dijadikan sasaran yang berwujud imbalan dalam berijarah disebut al-maqud alaih, serta imbalan atas jasa yang diberikan disebut upah (ijarah).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari upah?
2. Apa landasan syari’ah dari upah?
3. Apa saja syarat dan rukun dari upah?
4. Bagaimana hubungan buruh dan majikan?
5. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam urusan upah pekerja?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari upah.
2. Untuk mengetahui landasan syari’ah dari upah.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun dari upah Untuk mengetahui.
4. Untuk mengetahui hubungan buruh dan majikan.
5. Untuk mengetahui kewenangan pemerintah dalam urusan upah pekerja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Upah
Sebelum dijelaskan pengertian upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris ahmad dalam bukunya yang berjudul fiqih syafi’i, berpendapat bahwa ijarah upah- mengupah. Hal ini terlihat saat beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, yaituu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah fiqih sunnah karya sayyid sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa- menyewa. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah[1].Al- ijarah berasal dari kata al- ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah[2].
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata Al- ajru yang bearti al- ‘iwadh/ penggantian, dari sebab itulah ats- Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al- ajru/upah[3].
Adapun secara terminologi, para ulama fiqih berbeda pendapat nya, antara lain[4]:
1. Menurut Sayyid Sabiq, al- ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2. Menurut ulama Syafi’iyah al-ijarah
عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم
Artinya: ”Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
Jadi upah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.
3. Menurut Amir Syarifuddin al- ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’Ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut Ijarah ad-Dzimmah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al- ijarah.
4. Ulama Hanafiyah:
عقد على المنا فع بعوض
Artinya: ” Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.”
5. Ulama Malikiyah dan Hambaliyah:
تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض
Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[5]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, di terjemahkan dalam bahasa indonesia bearti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah “menjual manfaat” dan upah mengupah adalah” menjual tenaga atau kekuatan”[6].
Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain. Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim). Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
B. Landasan Syari’ah
Jumhur fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya.[7]Berikut ini beberapa landasan dalam upah-mengupah:
1. Q.S. Az Zukhruf ayat 32
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2. Dalam hadits Nabi
a. “Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh.Lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
b. “Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
c. Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam.
C. Rukun dan Syarat Upah Mengupah[8]
1. Mu’jir dan musta’jir yaitu pihak yang melakukan akad ijarah.[9]Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu.[10]
2. Shighat (akad). Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul yang dilakukan dalam jual beli.
3. Ujrah (upah). Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup, kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.
4. Ma’qud alaihi (barang yang menjadi Obyek). Sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal. Dilarang memberikan jasa yang haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras dan sebagainya. Asal pekerjaan yang dilakukan itu dibolehkan Islam dan aqad atau transaksinya berjalan sesuai aturan Islam. Bila pekerjaan itu haram, sekalipun dilakukan oleh orang non muslim juga tetap tidak diperbolehkan.
D. Hubungan buruh dan Majikan[11]
Hubungan buruh dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa, adil, jujur dan amanah.Nilai luhur tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, tauhid maknanya mengesakan Allah swt. Baik buruh maupun majikan haruslah sama-sama beriman kepada Allah swt, mengesakan Allah swt, sehingga dalam menjalankan pekerjaan/usaha mereka semua memiliki niat mencari keridloan Allah swt semata.
Kedua, baik buruh maupun majikan melaksanakan hubungan kerja dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah swt, dan tidak akan melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syara’.
Ketiga, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara adil dengan mengedepankan kuajiban untuk mendapatkan hak masing-masing.
Keempat, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara terbuka dari awal menandatangani kontrak/ kesepakatan kerja hingga proses pelaksanaan kerja, masing-masing berlaku jujur dan terbuka.
Kelima, keduanya sama-sama memegang amanah, melakukan pekerjaan/usaha sebagai wujud menunaikan amanah Allah swt dan masing-masing menunaikan amanah atau tanggung jawab yang disepakati.
E. Kewenangan Pemerintah Dalam Upah Pekerja
Upah merupakan imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepda karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau pelayanan yang banyak diberikan. Jadi, tidak sepetti gaji yang relatif tetap, besarnya upah dapat berubah-ubah. Konsep upah biasanya dihubungkan dengan proses pembayaran bagi tenaga kerja lepas.[12]Peran pemerntah dalam membuat kewenangan upah pekerja dengan cara menetapkan upah minimum. Beberapa dasar pertimbangan dari penetapan upah minimum, yaitu:
1. Sebagai jaring pengaman agar nilai upah tidak melorot dibawah kebutuhan hidup minimum.
2. Sebagai wujud pelaksanaan Pancasila, UUD 45 dan GBHN secara nyata.
3. Agar hasil pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki kesempatan, tetapi perlu menjangkau sebagian terbesar masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarganya.
4. Sebagai satu upaya pemerataan pendapatan dan proses penumbuhan kelas menengah
5. Kepastian hukum bagi perlindungan atas hak – hak dasar Buruh dan keluarganya sebagai warga negara Indonesia.
6. Merupakan indikator perkembangan ekonomi Pendapatan Perkapita.
Secara umum, upah minimum belum mampu mencukupi kebutuhan hidup di Indonesia. Walaupun hal ini harus” dikembalikan” lagi kepada ndividu masig-masing. kebutuhan setiap ndividu tentunya bervariasi. kenaikan harga- harga kebutuhan, baik primer maupun sekunder, terkadang tidak di ikuti kenaika upah.kalaupun ada kenaikan upah, belum mengimbangi kenaikan harga-harga tersebut. Yang lebih memprihatinkan, masih banyak perusahaan yang membayar pekerjanya dibawah upah minimum yang sudah ditetapkan. Disisi lain, menetapkan upah minimum tidak semudah membalikkan telapak tangan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Jumhur fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya
Rukun dan Syarat Upah Mengupah
1. Mu’jir dan musta’jir.
2. Shighat (akad).
3. Ujrah (upah).
4. Ma’qud alaihi (barang yang menjadi Obyek).
Hubungan buruh dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa, adil, jujur dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan , dan Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014),
Jakarta: Kencana Prenada Media group,2010 ).
Qomarul Huda, fiqh muamalah, (Yogyakarta: sukses offset, 2011).
Viethzal Rivai Zainal dkk, Islamic Human Capital Management, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), hlm, 113.
[2] Ibid, hlm, 114
[3] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan , dan Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat ( Jakarta: Kencana Prenada Media group,2010 ), hlm, 277.
[4] Ibid,hlm,277.
[5] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 114.
[6] Ibid, hlm. 115.
[7] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., Op.cit, hlm. 141.
[8] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 117-118.
[9]Qomarul Huda, fiqh muamalah, (Yogyakarta: sukses offset, 2011), hlm.80.
[10] Hendi Suhendi, Op.cit,hlm. 117.
[11]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1, hlm. 334-336.
[12] Viethzal Rivai Zainal dkk, Islamic Human Capital Management, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Hlm. 569.