PRA PERSIDANGAN
A. TUNTUTAN HAK
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri).
Untuk mencegah agar tidak setiap orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan (karena pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak), maka hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.
Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa: point d’interet, point d’action. Meskipun demikian bukan berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan, karena masih tergantung pada pembuktian.
Jika tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan.
Tuntutan hak di dalam Pasal 118 ayat (1) HIR disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.
Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan (Pasal 118 ayat (1) dan 120 HIR).
Syarat isi gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8 no.3 Rv yang mengharuskan gugatan pada pokoknya harus memuat:
1. Identitas dari pada pihak.
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van deneis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi.
3. Tuntutan atau petitum.
Ad. 1. Identitas adalah ciri-ciri Penggugat dan Tergugat, yaitu nama serta tempat tinggalnya.
Ad. 2. Fundamentum petendi terdiri atas 2 bagian, yaitu: (1) bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa, dan (2) bagian yang menguraikan tentang hukum.
Ad. 3. Petitum (tuntutan) ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam diktum atau amar putusan. Penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie).
Untuk mencegah agar tidak setiap orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan (karena pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak), maka hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.
Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa: point d’interet, point d’action. Meskipun demikian bukan berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan, karena masih tergantung pada pembuktian.
Jika tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan.
Tuntutan hak di dalam Pasal 118 ayat (1) HIR disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.
Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan (Pasal 118 ayat (1) dan 120 HIR).
Syarat isi gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8 no.3 Rv yang mengharuskan gugatan pada pokoknya harus memuat:
1. Identitas dari pada pihak.
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van deneis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi.
3. Tuntutan atau petitum.
Ad. 1. Identitas adalah ciri-ciri Penggugat dan Tergugat, yaitu nama serta tempat tinggalnya.
Ad. 2. Fundamentum petendi terdiri atas 2 bagian, yaitu: (1) bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa, dan (2) bagian yang menguraikan tentang hukum.
Ad. 3. Petitum (tuntutan) ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam diktum atau amar putusan. Penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie).
B. ISI GUGATAN / PERMOHONAN
Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
- Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
- Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
- Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.
Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.
C. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis
Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
4. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.