A. Pengadilan Tingkat Pertama Dan Banding
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 ( pasal 1 butir 1 dan 2).
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, yang mana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau Ibukota kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.
Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris
B. Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim
1. Pengertian Hakim
Hakim adalah pejabat negara yang tugasnya memeriksa dan mengadili suatu perkara di pengadilan.hakim diangkat dan di berhentikan oleh presiden sebagai kepala negara (pasal 30 undang-undang nomor 14 tahun 1970).
[1]
2. Syarat-Syarat Hakim
Sejalan dengan definisi peradilan agama tersebut di atas , maka Syarat Menjadi Hakim PA (Pasal 13 ayat (1) bab II UU no. 50 tahun 2009) adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam.
Dalam pengadilan agama harus pula diisi oleh hakim yang beragama islam. Memang berbeda dengan tiga peradilan lainnya.peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer, agama seseorang hakim tidak menjadi masalah, karena disitu agama tidak ada hubugannya dengan materi perkara yang ditanganinya.
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Setia kepada Pancasila dan UUD Negara RI 1945
c. Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Hukum yang mengetahui Hukum Islam
d. Lulus Pendidikan Hakim
e. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
f. Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela
g. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Tugas dan kewenangan hakim
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata khusus orang-orang yang beragama Islam, yaitu perkara mengenai perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding.
Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
4. Pengangkatan hakim
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
5. Pemberhentian hakim
Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
1. Ternyata tidak cakap.
2. Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.
3. Permintaan sendiri.
4. Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.
Selanjutnya hakim dapat diberhentikan sementara dari jabatannya:
1. Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah sakit Jiwa.
2. Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh Menteri Agama dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.
3. Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh Presiden atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.
Untuk Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh Menteri Agama bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan oleh Presiden bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.
Selanjutnya Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :
1. Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan.
2. Ia melakukan perbuatan yang tercela.
3. Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaan nya.
4. Ia melakukan rangkapan jabatan.
5. Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan akan di periksa.
Pemecatan tersebut diatas dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.
C. Panitera, juru sita, dan kesekretariatan
1. Panitera
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.
Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.
2. Kesekretariatan
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.
3. Juru Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
D. Kekuasaan Peradilan Agama.
1. Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama.
a. Kekuasaan mutlak
Setiap badan peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kekuasaan antara badan peradilan ini berbeda satu dengan lainnya.yang dalam hukum acara perdata disebut dengan wewenang mutlak atau wewenang absolut.
Wewenang tersebut menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan. Dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa belanda disebut atribute van rechtsmacht.
Mengenai wewenang absolut pengadilan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu. Selanjutnya yang dimaksud dengan perkara perdata tertentu oleh pasal 49 ayat (1) bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
1. Perkawinan
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
3. Wakaf dan shadaqah.
b. Kekuasaan relatif
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.
Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan: “peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayahkota madya atau kabupaten”.
Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan: “pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”
Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.
Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.
E. Sumber Hukum Materiil
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.
Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:
· Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.
· Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
· Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
· PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974
· PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
· UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006
· Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
· UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
· UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
F. Sumber Hukum Formil
Hukum Formil Peradilan Agama Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
[2]
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut.
[3]
1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.
2. Inlandsh Reglement (IR)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.
3. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
4. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.
5. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.
6. Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .
4. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.
6. Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.
7. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.
9. Dokrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:
1. Al-Bajuri
2. Fatkhul Mu’in
3. Syarqawi ‘At-Tahrir’
4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali
5. Fatkhul wahbahdan syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhib al-Mustaq
8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya
9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah
10. Syamsuri li Fara’id
11. Bughyat al-Musytarsyidin
12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah
13. Mughni al-Muhjaj
Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.
Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:
1. Undang-Undang
adalah suatu peraturan negara yangmempunyaikekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Kebiasaan (Konvensi)
adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.
Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.
Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:
Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum yang baik.
Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.
Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.
3. Yurisprudensi
adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.
Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :
1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang
Berdasarkan Pasal 21 A.B. hakim memiliki tugas :
1) Menerima Perkara;
2) Memeriksa Perkara, dan;
3) Memutuskan Perkara
yaitu semua perkara yang diberikan kepadanya dan tidak boleh menolak setiap perkara yang diberikan atau diembankan kepadanya.
Jadi hakim harus bersifat "Recht Finding".
4. Traktat
adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.
5. Doktrin
adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.
[1] Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Bandung: Alumni. 1993). hlm. 7.
[2] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 152-153
[3] Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 196-201