Rabu, 09 September 2015

Sejarah Islam Di Indonesia

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

 
Sejarah Islam DI Indonesia


A. Pendahuluan

Indonesai adalah negara dengan penduduk terbesar di dunia setelah Tiongkok, Amerika dan India. Indonesia memiliki penduduk sekita 14 juta jiwa yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Hal ini menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Tentu hal tersebut menarik banyak kalangan untuk diteliti. Bagaimana bisa negara yang sebenarnya bukan negara Arab memiliki penduduk yang mayoritas Muslim. Banyak yang mengatakan Islam di Indonesia memiliki ciri khas dengan negara-negara lainnya apalagi Arab. Perbedaan Islam di Indonesia yang moderat dengan penyebaran yang nyaris tanpa adanya kekerasan tentunya menarik untuk dikaji.

Proses penyebaran Islam merupakan proses yang penting dalam sejarah Indonesia. Ada banyak teori mengenai kapan, dimana, dan bagaimana Islam menyebar dan berkembang di Indonesia. Teori tersebut diperdebatkan oleh banyak sejarawan yang tidak mungkin mencapai suatu kesimpulan yang pasti, karena sedikitnya bukti yang tidak cukup informatif untuk dijadikan sebuah landasan teori.

Dengan berbagai dinamika dan lika-liku permasalahan yang diuraikan di atas, penulis berusaha mencoba menjawab sedikit mengenai hal tersebut dalam makalah ini. Penulis akan menguraikan situasi peradaban Islam, kesultanan-kesultanan di Indonesia serta peninggalan peradaban masa kesultanan Islam pra penjajahan kolonial Belanda.


B. Situasi Peradaban Islam Masa Kesultanan di Indonesia


Penduduk kepulauan Nusantara (Indonesia saat ini) sebelum datangnya agama Islam sebagian besar penduduknya sudah memiliki kepercayaan Hinduisme, Budhaisme, animisme dan dinamisme. Namun pada peradaban berikutnya hal itu berbalik arah, mayoritas penduduk Indonesia saat ini beragama Islam. Proses transformasi kepercayaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, ada dua teori besar mengenai kapan proses Islamisasi ini dimulai. Dua teori tersebut menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia pada abad ke 7 M dan teori lainnya menyatakan Islam masuk di Indonesia pada abad ke 13 M.[1]

Teori pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, pendapat ini dikemukakan sejarawan seperti H. Agus Salim, M. Zainil Arifin Abbas, Hamka, dll. Pendapat ini didasarkan pada berita Tiongkok zaman Dinasti Tang. Berita ini mencatat bahwa abad ke-7 M terdapat pedagang Muslim di Desa Baros, daerah barat Sumatera Utara. Seorang orientalis Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History, menuliskan bahwa: orang Islam yang mengunjungi Indonesia pertama kali kemungkinan besar adalah saudagar Arab pada abad ke 7 M yang singgah di Sumatera dalam perjalan menuju ke Tiongkok.[2]

Pendapat ini juga sama dengan hasil “Seminar Masuknya Islam di Indonesia” di Medan tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M. Seminar tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1. Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke 7 M langsung dari Arab.

2. Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.

3. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia aktif mengambil bagian.

4. Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.

5. Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.

6. Kedatangan Islam di Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Teori kedua, Islam Masuk Indonesia pada abad ke 13. Pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H. Krom dan Van Den Berg. Pendapat tersebut mengacu kepada catatan perjalanan Marcopolo yang menerangkan ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Bukti yang memperkuat pendapat ini adalah ditemukannya makan Sultan Samudra Pasai yaitu Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297 M. Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, Sumatera Utara.[3]

Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai kapan Islam masuk di Nusantara berupa prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu nisan) dan beberapa catatan musafir. Batu nisan tertua ditemukan di Desa Leran kecamatan Manyar, Gresik Jawa Timur dan berangka tahun 475 H / 1082 M. Batu nisan tersebut adalah makam Fatimah binti Maimun ibn Hibatullah. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (suatu tempat di Persia) yang meninggal tahun 822 H/ 1419 M.[4]

Mengenai datang dari mana Islam di Indonesia juga terdapat beberapa teori. Teori pertama menyatakan bahwa Islam datang dari anak benua India. Teori ini diperkenalkan oleh G.W.J. Drewes, menurut Drewes orang-orang Muslim yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Kemudian Snouck Hurgronje menambahkan, komunitas Islam di anak benua menyebarkan Islam ke daerah lain dengan cara perdagangan. Teori kedua, Islam datang dari Coromadel dan Malabar, pendapat ini menurut Thomas W. Arnold dan didukung oleh Marisson, menurutnya Islam di Indonesia datang dari Gujarat itu tidak mungkin karena secara politis Gujarat belum memungkinkan menjadi sumber penyebaran ketika itu dan belum menjadi pusat perdagangan yang menguhubungan wilayah Arab dengan Asia Tenggara.[5]

Proses Islamisasi Nusantara berbeda dengan daerah Arab di mana agama Islam sendiri berasal. Penyebaran agama Islam di tanah Arab kebanyakan dengan peperangan dan penaklukan. Sedangkan proses Islamisasi Nusantara dilakukan dengan berbagai bentuk atau cara, antara lain:[6]

1. Perdagangan


Para pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat memegang peranan penting, sebab di samping berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam.

2. Pernikahan


Pernikahan merupakan saluran Islamisasi yang paling mudah. Dari pernikahan akan terbentuk ikatan kekerabatan antara dua pihak keluarga.

Contoh Islamisasi dengan pernikahan misalnya pernikahan Rara Santang (Putri Prabu Siliwangi) dengan Syarif Abdullah.

3. Politik


Penyebaran agama melalui politik dilakukan oleh para penguasa, baik dalam lingkup besar maupun kecil. Para penguasa mempunyai pengaruh dan wibawa serta disegani sehingga mereka menjadi panutan rakyat.

4. Pendidikan

Pertumbuhan Islam di Jawa sudah dikenal dengan pendidikan pondok pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Ampel Denta dengan pengasuhnya Sunan Ampel.

5. Seni budaya


Proses Islamisasi dengan seni budaya seperti seni bangunan, seni pahat, seni ukir, seni tari, musik dan sastra.


6. Melalui tasawuf


Ajaran tasawuf berupa Teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bentuk tasawuf yang diajarkan waktu itu seperti menggunakan ilmu-ilmu riyadhah dan kesaktian dalam proses penyebaran agama Islam kepada penduduk setempat.[7]


C. Kesultanan-Kesultanan di Indonesia sebelum Penjajahan Belanda


Belanda masuk ke kepulauan Nusantara sekitar abad ke 16 M.[8] Saat itu Islam sudah berkembang pesat dan banyak kesultanan-kesultanan besar yang berpengaruh besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam.

Berikut uraian beberapa periode kesultanan-kesultanan sebelum penjajahan Belanda, yaitu:[9]

1. Kesultanan Perlak (840-1292 M)


Pendiri kesultanan Perlak adalah Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, penganut madzhab Syiah. Beliau merupakan pendakwah dari Arab yang menikah dengan penduduk setempat. Kesultanan Perlak merupakan kesultanan pertama di Nusantara (tetapi masih terdapat perdebatan, ada pendapat yang menyebutkan kesultanan Samudra Pasai adalah yang pertama). Kesultanan Perlak berkuasa pada tahun 840-1292 M di wilayah Perlak, kini wilayah tersebut masuk dalam wilayah Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Kesultanan Samudera Pasai (1292-1524 M)


Kesultanan Pasai, terletak di pesisir timur laut Aceh, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh. Lahirnya Samudera Pasai diperkirakan dimulai sejak awal pertengahan abad ke 13 M. Fakta tentang berdirinya kesultanan Samudera Pasai ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata, seperti ditemukannya batu nisan yang memuat nama Sultan Malik al-Shaleh, berangka tahun 1297 M. Sultan Malik al-Shaleh adalah sultan pertama sekaligus pendiri kesultanan Samudra Pasai.

3. Kesultanan Aceh (1514-1903 M)


Kesultanan ini berdiri sejak tahun 1514 M di ujung utara pulau Sumatera. Tokoh pendirinnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang bertahta pada tahun 1514-1530 M. Pada tahun 1520 M, perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju hingga muncullah tokoh-tokoh ulama seperti Hamzah Fanshuri, yaitu seorang tokoh tasawuf.

4. Kesultanan Demak Bintara (1478-1546 M)


Demak adalah kesultanan pertama di pulau Jawa. Kesultanan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Raden Patah pada masa pemerintahannya mendirikan sebuah pondok pesantren. Penyiaran agama yang dilaksanakan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan.

Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak juga berhasil di berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kesultanan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara’.

Masjid Agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Di sana merupakan tempat berkumpulnya para Walisango saling bertukar pikiran tentang persoalan agama, cepatnya Demak menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman.

5. Kesultanan Pajang


Pajang adalah pemegang kendali kekuasaan kesultanan Jawa setelah Demak. Kesultanan Pajang terletak di daerah Kartasura, Jawa Tengah. Kerajaaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir, ia adalah menantu Sultan Trenggono (sultan ketiga kesultanan Demak) yang diberi kekuasaan di Pajang.

6. Kesultanan Mataram


Kesultanan Mataram berdiri Pada tahun 1582 M. Pusat kesultanan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta. Periode kesultanan Mataram hanya berlangsung singkat mulai tahun 1582-1677 M, yang pernah dipimpin oleh dua Sultan yaitu Panembahan Seno Pati dan Panembahan Krapyak.


D. Pembangunan Peradaban Islam Masa Kesultananan Pra Penjajahan Belanda


1. Bangunan dan Seni Arsitektur


Kemajuan peradaban Islam pada kesultanan-kesultanan Islam banyak meninggalkan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi. Misalnya adalah Masjid Baitur Rahman, bangunan ini dibuat oleh Sultan Iskandar Muda tahun 1022 H/1612 M yang terletak tepat di pusat Kota Banda Aceh dan menjadi pusat kegiatan keagamaan di Aceh Darussalam.[10] Masjid ini dilapisi emas sehingga dikagumi bangsa Barat.[11] Hal ini menunjukan tingkat kemakmuran ekonomi dan selera seni arsitektur yang tinggi.

Sewaktu agresi tentara Belanda kedua pada 10 April 1873, Masjid Raya Baitur Rahman sempat dibakar. Namun kemudian, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baitur Rahman pada tahun 1877 untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Sampai saat ini, Masjid Raya Baitur Rahman menjadi objek wisata religi yang termasuk salah satu masjid dengan arsitektur terindah di Indonesia.[12]

Masjid Raya Baitur Rahman adalah masjid yang memiliki bentuk yang sama dengan masjid-masjid di negara Islam lainya (negera Arab). Pada mulanya bentuk masjid yang dibangun dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Misalnya, Masjid Demak, Ampel, Cirebon dan lain-lain. Ciri-ciri model seni bangunan lama yang merupakan tiruan atau terpengaruh oleh seni bangun Hindu-Budha, adalah sebagai berikut:[13]

a. Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota.

b. Tidak ada menara sebagai pertanda pemberitahuan waktu shalat karena digantikan dengan bedug.

c. Di belakang masjid terdapat rangkaian makam-makam. Rangkaian macam ini hakikatnya dari fungsi candi pada zaman Hindu-Budha.

2. Bidang Militer


Dalam bidang militer kesultanan-kesultanan Indonesia sudah mengalami kemajuan, itu terbukti pada peninggalannya berupa benteng-benteng pertahanan. Misalnya Benteng Indra Prata peninggalan kesultanan Aceh dan persenjataan yang dimilikinya walaupun pada akhirnya kesultanan-kesultanan Islam dapat ditaklukan kolonial Barat.

3. Bidang Ekonomi


Kesultanan Islam di Indonesia mengalami kemajuan dan kemakmuran yang cukup besar. Hal ini karena letak geografis Indonesia yang berada pada jalur perdagangan Internasional, sehingga kemajuan di bidang ekonomi, kesultanan Islam terpusat pada perdagangan dan pelayaran. Misalnya kesultanan Samudra Pasai, bahkan kesultanan ini sudah menggunakan mata uang koin dari emas.

4. Pendidikan


Menurut Muhammad Yunus, para pedagang muslim sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang di sekelilingnya. Dimana ada kesempatan, mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam. Bukan saja dengan perkataan, melainkan juga dengan perbuatan.

Didikan dan ajaran Islam mereka berikan melalui perbuatan, yaitu dengan contoh dan suri tauladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah- tamah, tulus ikhlas, amanah dan menjaga kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji, serta menghormati adat istiadat anak negeri. Pendeknya, mereka berbudi pekerti yang tinggi dan berakhlak mulia. Semua itu berdasarkan cinta dan taat kepada Allah sesuai dengan didikan dan ajaran Islam.

Sistem pendidikan yang berlaku pada masa Kerajaan Samudera Pasai tentu tidak seperti zaman sekarang ini. Sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu lebih bersifat informal, yang berbentuk majlis taklim dan halaqah.

Di Jawa Islam diajarkan oleh para walisongo, diantaranya juga sudah ada yang mengenal dengan lembaga pendidikan pesantren, misalnya adalah Pondok Pesantren Ampel Denta oleh Sunan Ampel.

5. Karya Sastra


Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajan Islam. Tema dan isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain.

Pada abad enam belas, di Jawa mulai muncul naskah-naskah Jawa yang memuat ajaran-ajaran keislaman, terutama ajaran tasawuf dengan ditemukannya naskah Jawa yang bertuliskan Hanacaraka yang kemudian dalam pembahasan akademis diberi judul Het Boek Van Bonang. Demikian pula di Aceh muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran-ajaran keislaman terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pase, Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkil.[14]



E. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, kapan kedatangan agama Islam di Indonesia terdapat dua teori. Teori pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau abad pertama Hijriah. Pendapat ini didasarkan pada berita Tiongkok zaman Dinasti Tang. Berita ini mencatat bahwa pada abad ke-7 M terdapat pedagang Muslim di Desa Baros, daerah barat Sumatera Utara. Pendapat tersebut juga sama dengan hasil “seminar masuknya Islam di Indonesia” di Medan tahun 1963.

Teori kedua, Islam Masuk Indonesia pada abad ke 13. Pendapat tersebut mengacu kepada catatan perjalanan Marcopolo yang menerangkan ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Proses Islamisasi Nusantara dilakukan dengan berbagai bentuk atau cara, antara lain: Perdagangan, Pernikahan, Politik, Pendidikan, Seni budaya maupun melalui tasawuf.

Belanda masuk ke kepulauan Nusantara sekitar abad ke 16. Saat itu Islam sudah berkembang pesat dan banyak kesultanan-kesultanan yang berpengaruh besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam. Di antaranya: Kesultanan Perlak, Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak Bintara, Kesultanan Pajang dan Kesultanan Mataram.

Pembangunan peradadaban kesultanan masa pra penjajahan Belanda sudah merambah di bergagai bidang, di antaranya bidang bangunan dan seni arsitektur, bidang militer, bidang ekonomi, pendidikan dan karya sastra.

Sebagai penutup, penulis mohon maaf dengan segala kekurangan dalam tulisan dan oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan dari pembaca. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan tambahan wawasan akan masa lampau khususnya tentang sejarah peradaban agama Islam di Indonesia. Wawasan itu dilihat dari segala aspeknya sehingga generasi sekarang dan yang akan datang akan sadar bagaimana sejarah bangsanya sendiri dan melanjutkan proses sejarah ke depan dengan baik, demi mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur dan mulia. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2013.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Maryam, Siti dkk. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Lesfi. 2004.
Stanton, Charles dkk. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 1999.
Sunanto, Musrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo persada. 2012.
Syaefudin, Machfud. Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta. 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara _(1800-1942), Diakses 28-05-2015.
http://jagosejarah.blogspot.com/2015/03/peninggalan-kerajaan-aceh-yang-harus.html, Diakses 27-05-2015.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 302.
[2] Ibid, hlm. 303.
[3] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 247.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 193.
[5] Machfud Syaefudin, Op. Cit., hlm. 249.
[6] Machfud Syaefudin, dkk., Op. Cit., hlm. 251.
[7] Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 307.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara _(1800-1942), Diakses 28-05-2015.
[9] Machfud Syaefudin, dkk., Op. Cit., hlm. 253.
[10] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 228.
[11] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2004), cet. II, hlm. 326.
[12] http://jagosejarah.blogspot.com/2015/03/peninggalan-kerajaan-aceh-yang-harus.html, Diakses 27-05-2015.
[13] Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2012), hlm. 96.
[14] Charles Stanton, dkk., Studi Islam Asia Tenggara, ( Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), cet. II, hlm. 177.

MADZHAB-MADZHAB ILMU HUKUM

MADZHAB-MADZHAB ILMU HUKUM

 

MAKALAH
Tugas Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu : Wahidullah, S.H.I., M.H.
DisusunOleh:

ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS  ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak Wahidullah, S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 8 Mei 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang ditunjukkan pada masyarakat dan untuk mengkaji layak atau tidaknya hukum tersebut dalam lingkungan. Berbicara mengenai ilmu hukum, pasti dalam pikiran kita terbesit adanya beberapa madzhab atau perbedaan yang berkembang mengenai hukum itu sendiri.
Pemikiran tentang hukum telah muncul sejak zaman kerajaan Yunani kuno dan zaman kerajaan Romawi beberapa adab yang lalu. Bangsa Yunani memberikan pemikiran besar terhadap hukum hingga ke akar filsafatnya. Sedangkan bangsa Romawi cenderung memberikan konsep-konsep dan teknik yang berhubungan dengan hukum positif.
Berikut saya akan menguraikan garis besar dari sebagian madzhab atau aliran yang dikenal dalam ilmu hukum. Makalah ini juga akan membahas tentang bagaimana perbedaan-perbedaan hukum itu. Selanjutnya, dari beberapa perbedaan itu timbul suatu aliran-aliran yang dianut oleh beberapa orang ahli untuk mengatur suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sehingga terciptalah suatu keadilan hukum.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.
1.    Bagaimanakah pengertian madzhab hukum kodrat itu?
2.    Bagaimana penjelasan madzhab  sejarah tersebut?
3.    Apakah madzhab sosiologi itu?


C.    Tujuan Masalah
1.    Agar pembaca dapat memahami bagaimanakah pengertian madzhab hukum kodrat.
2.    Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana penjelasan madzhab  sejarah.
3.    Supaya  pembaca dapat mengetahui apakah madzhab sosiologi tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Madzhab Hukum Kodrat atau Hukum Alam

Apabila orang mengikuti sejarah hukum alam, maka ia sedang mengikuti sejarah hukum umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat ketika ide tentang hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain lagi ia diabaikan, tetapi bagaimanapun ia tidak pernah mati. 
Sebagian besar filsuf meyakini bahwa terdapat asas-asas tertentu yang sifatnya lebih tinggi dan lebih superior ketimbang hukum buatan manusia atau negara. Hukum yang lebih tinggi dan lebih superior itulah yang mereka namakan hukum alam. 
Hukum alam lebih kuat daripada hukum positif, karena menyangkut makna kehidupan manusia sendiri.  Hukum ini juga mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai asas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalam aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.
Salah satu dari pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Berbeda halnya dengan hukum positivis yang sangat tegas membedakan antara moral dan hukum. Penganut madzhab ini memandang bahwa, hukum dan moral merupakan pencerminan dan pengaturan secara eksternal maupun internal dari kehidupan manusia serta yang berhubungan dengan sesama manusia.
Menurut pandangan ini, kaidah hukum adalah hasil dari titah Tuhan dan langsung berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, ajaran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Dicurahkan  ke dalam jiwa manusia untuk memerintahkan agar setiap orang melakukan kewajibannya dan melarang supaya setiap orang tidak melakukan kejahatan.
Dari pemikiran penganut madzhab hukum alam dapat kita tangkap  beberapa pandangan umum yang dinamakan sebagai pokok-pokok pikiran hukum alam. Pemahaman hukum tentang apa yang dimaksud sebagai hukum adalah:
1.    Hukum itu tidak dibuat oleh manusia maupun negara, tetapi ditetapkan oleh alam.
2.    Hukum itu bersifat universal.
3.    Hukum berlaku abadi.
4.    Hukum tidak dapat dipisahkan oleh moral.
Meskipun dewasa ini kaidah hukum alam tidak berlaku lagi, namun konsep-konsep yang bersumber dari hukum alam telah memberikan konstribusinya terhadap dunia hukum kita di era modern. Menurut Friedman, sumbangan hukum alam adalah:
1.    Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
2.    Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak, yaitu pihak gereja dan kerajaan dalam pergaulan antara mereka.
3.    Atas nama hukum alamlah kesahan dari hukum internasional itu ditegakkan.
4.    Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
5.    Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.
Di dalam aliran hukum alam ini terdapat suatu pembedaan-pembedaan, yaitu hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali sampai pada permulaan abad pertengahan.  Hukum ini memusatkan perhatiannya pada usaha untuk menemukan metode yang bisa digunakan untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk mengatasi keadaan yang berlainan.
Berbeda dengan yang pertama, hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma.  Sehingga orang dapat menciptakan sejumlah peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.
Tokoh Hukum Alam dari masa ke masa
a.    Tokoh Hukum Alam Yunani, antara lain Socrates, Plato dan Aristoteles.
b.    Tokoh Hukum Alam Romawi, antara lain Cicero dan Gaius.
c.    Tokoh Hukum Alam abad pertengahan, antara lain Augustine, Isidore dan Thomas Aquinas.
d.    Tokoh Hukum Alam abad keenambelasan hingga kedelapanbelasan antara lain, John Locke, Montesquieu dan Rousseau.
e.    Tokoh Idialisme Transendental, antara lain Kant dan Hegel.
f.    Tokoh kebangkitan kembali Hukum Alam, antara lain Kohler, Stammler dan Leon Duguit.

B.    Madzhab Sejarah atau Madzhab Historis

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran hukum sebelumnya, yaitu sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap para pemuja hukum alam, di Eropa timbul suatu aliran baru yang di pelopori oleh Carl von Savigny (1779-1861).  Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu bangsa; selalu ada sesuatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.  Ia juga memandang bahwa hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri. Artinya, dia terjadi dan berada karena dikehendaki. Hukum itu lahir karena dalam kehidupan manusia ia memerlukan hukum.
Madzhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. Salah satu timbulnya madzhab sejarah adalah dorongan nasionalisme yang tumbuh pada akhir abad XVIII sebagai reaksi terhadap semangat revolusi dan ekspansi Prancis.
Hukum bukanlah sesuatu yang disusun atau diciptakan oleh manusia, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat.  Hukum itu penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.
Sebagaimana bahasa, hukum itu timbul melalui suatu proses yang perlahan-lahan. Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal pada kesadaran bangsa. Menurut pendapat tersebut, telah jelas bahwa hukum merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dari sejarah suatu bangsa. Karena itu, hukum selalu berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Pendapat ini bertentangan dengan ajaran madzhab hukum alam bahwa hukum itu berlaku abadi di mana-mana bagi seluruh manusia. 
Hukum itu tidak berlaku secara universal, karena hukum lahir dari jiwa rakyat yang memiliki latar belakang bangsa yang berbeda. Hukum hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
Ciri khas kaum historis hukum adalah ketidakpercayaan mereka pada pembuatan undang-undang dan ketidakpercayaan terhadap kodifikasi.  Bagi mereka hukum itu tumbuh dan berkembang, sehingga terdapat hubungan yang terus-menerus antara sistem yang ada sekarang dengan yang ada dimasa silam. Oleh karena itu, hukum yang ada pada saat ini mengalir dari hukum yang ada pada masa sebelumnya.
Aliran sejarah merupakan reaksi dari aliran hukum alam. Dari sudut pandang pengaruh historisme, hukum adalah fenomena historis; hukum mempunyai sejarah. Dan sebagai fenomena sejarah, berarti hukum tunduk kepada perkembangan yang berlangsung secara terus-menerus.
Menurut Savigny, ia mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoprasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat. 
Inti ajaran madzhab sejarah adalah sebagai berikut:
1.    Hukum menurut Savigny adalah kehidupan manusia itu sendiri. Hukum sama dengan bahasa, yang tidak dibuat tetapi lahir dari jiwa suatu bangsa dan hukum tersebut tumbuh bersama bangsa itu sendiri.
2.    Orang itu harus mencari hukum dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat, karena setiap bangsa memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain.

C.    Madzhab Sosiologi

Madzhab sosiologi dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber dan Hammaker. Madzhab ini merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan hasil pertimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi dan pertentangan serta pertimbangan kepentingan-kepentingan golongan-golongan atau kelas-kelas dalam masyarakat.
Sosiologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hubungan antara gejala masyarakat yang satu dengan gejala masyarakat yang lain, sedangkan ilmu pengetahuan hukum menurut madzhab sosiologis memberikan suatu gambaran tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. Maka demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang mencerminkan kehidupan masyarakat, guna memahami kehidupan hukum itu dari suatu masyarakat maka seorang ahli hukum harus mempelajari perundang-undangan, keputusan-kepututusan pengadilan dan kenyataan sosial.
Madzhab sosiologis memusatkan perhatiannya bukan pada hukum  tertulis atau perundang-undangan, tetapi hukum adalah kenyataan sosial. Ia memandang bahwa hukum itu dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang terdapat dalam masyarakat, seperti faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Metode yang digunakan adalah deskriptif, yaitu dengan menggunakan teknik-teknik survey lapangan, observasi perbandingan, analisis stasistik dan eksperimen.  
Pemikiran sosiologi pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam:
1.    Sociological jurisprudence, kajian ini di tunjuk sebagai suatu studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu merupakan suatu aspek ilmu hukum yang sebenarnya.
2.    Sosiology of law, menunjuk kajian ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya yang didasarkan pada suatu konsep yang memandang hukum sebagai suatu alat pengendalian sosial. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat hukum dan tugas-tugasnya dibuat, sosiologi memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu.
Esensi ajaran penganut sosiologis di dalam ilmu hukum adalah bahwa:
1.    Yang dianggap sebagai hukum, bukanlah aturan-aturan yang tertuang dalam perundang-undangan, melainkan yang diterapkan apa danya di dalam masyarakta.
2.    Hukum itu tidak otonom, artinya pembuatan dan pelaksanaan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya non hukum, seperti faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Menurut aliran hukum yang bersifat sosioligis hukum itu tidak perlu diciptakan oleh negara, karena hukum sebenarnya tidak merupakan pertanyaan-pertanyaan tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan, golongan-golongan dalam masyarakat.
Menurut madzhab sosiologis, hakim itu bebas untuk menggali sumber—sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat.
Eugene Ehrlich menyatakan bahwa hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.  Berlakunya hukum tertantung pada penerimaan masyarakat dan sebenarnya tiap golongan menciptakan sendiri masing-masing hukumnya yang hidup. Daya kreativitas masing-masing golongan saling berbeda dalam penciptaan hukumnya. Dalam kenyataan ini faktor masyarakat menjadi sangat penting untuk mengetahui evektivitas hukum dalam masyarakat.
Ehrlich juga berpendapat bahwa, pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak dari badan-badan legislatif, keputusan badan-badan yudikatif ataupun ilmu hukum, tetapi justru terletak dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks ini Leon Gubuit berpendapat bahwa, tujuan ahli hukum adalah menetapkan suatu peraturan hukum yang mutlak dan tidak dapat ditentang sekaligus obyektif, bebas dari kesewenagan manusia dan keinginan akan kekuasaan sebagai pelindung  negara. 
Tokoh dalam madzhab sosiologi yang paling terkenal adalah Roscoe Pound (1870-1964). Ia mengatakan bahwa, hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum, tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentanngan,  dan menjamin kepuasan kebutuhan-kebutuhan maksimal dengan pengorbanan minimal.
Menurut Pound, cara membentuk masyarakat adalah dengan selalu memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat sehingga menuju ke masyarakat yang lebih baik.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Aliran hukum alam merupakan suatu aliran ilmu hukum yang menekankan pentingnya peran dari hukum alam (natural law) terhadap hukum yang dibuat oleh manusia. Aliran hukum alam ini, secara garis besar, mencakup empat teori. Yaitu teori hukum alam klasik, teori hukum alam para tokoh gereja, teori hukum alam yang rasionalis dan teori hukum alam modern.
Aliran sejarah merupakan aliran yang memberikan tekanan pada peran sejarah terhadap hukum yang dipelopori oleh Carl von Savigny. Ajaran tersebut merupakan reaksi terhadap pemerintahan Jerman waktu itu untuk memberlakukan code civil Prancis di Jerman, tentang hukum alam yang berlaku dimana-mana.
Tokoh sosiologi yang paling terkenal adalah Roscoe Pound. Dengan teori bagaimana cara membentuk masyarakat agar selalu memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat sehingga menuju ke masyarakat yang lebih baik.

B.    Kritik dan Saran
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang Madzhab-Madzhab Ilmu Hukum.
Kami  hanya  manusia  biasa  yang  tidak  terlepas  dari  kekurangan, maka  dari  itu  kami  mohon  maaf  apabila  ada  kesalahan  dalam  penulisan  maupun  yang  lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana. 2013.
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2014.
Ghofur Anshori, Abdul. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2009.
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Kusumohamidjojo, Budiono.  Filsafat Hukum; Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: Mandar Maju. 2011.
Prasetyo, Teguh. dkk. Ilmu Hukum & Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2014.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 1998. 
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama. 2007.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. 

ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH


ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Makalah
Tugas Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : H. Amir Gufran, Drs., M.Ag.

Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR




Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak H. Amir Gufran selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 30 Mei 2015

Kelompok 6




BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat bebebrapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan para pengikut Muawiyah, sehingga muncullah golongan-golongan baru yaitu golongan Khowarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.

Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran agama Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal dengan berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Kedua aliran inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2. Apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah?
4. Bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?



C. Tujuan Masalah

1. Agar para pembaca mengetahui bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2. Agar para pembaca dapat memahami apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3. Supaya para pembaca dapat membedakan sekte-sekte aliran Maturidiyah.
4. Supaya para pembaca mengetahui bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.



BAB II

PEMBAHASAN



A. Aliran Asy’ariyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah

Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[1] Beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari, yaitu seorang tahkim dalam Perang Siffin dari pihak Sayyidina Ali.

Menurut Ibn A’sakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya as-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[2]

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah Masjid Basroh bahwa ia telah keluar dari paham Mu’tazilah. Yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah pada malam ke 10, 20 dan 30 bulan Ramadlan. Dalam mimpi itu, Rasulullah memperingatkannya untuk segera keluar dari paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Sebab lain ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri.[4] Al-Asy’ari sangat mendambakan persatuan umat, ia khawatir kalau al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’azilah yang semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat karena terlalu menonjolkan akal pikiran.



2. Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah


a. Tuhan dan sifat-sifatNya

Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiah).[5]

b. Perbuatan manusia


Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,[6] bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni bersamaan dengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

c. Pelaku dosa besar


Menurut al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada beberapa kemungkinan:

1) Ia mendapat ampunan dari Tuhan dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku dosa besar tersebut dimasukkan ke dalam surga.

2) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau,

شَفَاعَتِىْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ

Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar.

3) Tuhan memberikan hukuman kepadanya dengan memasukkannya ke dalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia dimasukkan ke surga.

d. Keadilan Tuhan

Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-segalanya adalah milik Tuhan.

e. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk

Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[7]

f. Melihat Allah

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Tuhan yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]



3. Pengaruh Ajaran Asy’ariyah


Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan Ahlusunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasannya pengaruh ajaran Ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:

a. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.

b. Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini.


B. Aliran Maturidiyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah


Aliran ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi.[9] Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.[10] Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.[11] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

Sebenarnya al-Maturidi itu sebaya dengan al-Asy’ari. Hanya saja berbeda tempat tinggal. Al-Asy’ari hidup di Basrah Irak, sebagai pengikut madzhab Syafi’i, sedangkan al-Matiridi bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, kebanyakan pengikutnya juga bermadzhab Hanafi. Riwayatnya tidak terlalu banyak diketahui. Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia memiliki pemikiran tentang teologi yang hampir sama.

Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya juga sudah banyak yang dituangkan dalam karya tulis.

2. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah


a. Sifat Tuhan


Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi.[12] Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.

b. Kewajiban mengetahui Tuhan


Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.[13]


c. Perbuatan Manusia


Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[14]

d. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal.


Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.[15]

e. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan


Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.[16]

f. Pelaku dosa besar


Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asy’ariyah yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mu’tazilah.[17]


g. Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh al-Qur’an, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23.

artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.


3. Sekte-Sekte Maturidiyah


a. Golongan Samarkand

Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri.[18] Pahamnya lebih dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Begitu juga Tuhan berkuasa dengan dzatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, al-Maturidi berpaham Qodariyah. Al-Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain Maturidiah tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.

Aliran Maturidiyah juga sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-wa’d wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti akan terjadi. Demikian pula tentang antropomorphisme. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an. Pasti diberi arti kiasan. Dalam hal ini al- Maturidi bertolak belakang dengan pendapat al-Asy’ari yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi takwilan.

b. Golongan Bukhara


Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[19] Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.



4. Pengaruh Aliran Maturidiyah


Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.

Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.[20]







BAB III

PENUTUP




A. Kesimpulan

Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). Mulanya al-Asy’ari berpaham Mu’tazilah, karena merasa tidak cocok dengan Mu’tazilah akhirnya ia condong kepada ahli fiqh dan hadits.

Dokrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-sifatnya, perbuatan manusia, pelaku dosa besar, keadilan Tuhan, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.

Keahlian dalam berdebat al-Asy’ari dengan basis keilmuan yang dalam, shaleh, taqwa dan melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini, merupakan pengaruh dari aliran Asy’ariyah.

Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H dan wafat pada tahun 333 H.

Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan.

Sekte-sekte Maturidiyah, pertama golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.

Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli, berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.



DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Siradjuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. 2001.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2012.
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Purta. 2009.
Hanafi. Pengantar; Theology Islam. Jakarta: Al Husna Zikra. 2007.
Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia press. 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: New Cordova. 2012.
http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.






[1] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, hlm. 154.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 146-147.
[3] IbId., hlm. 147.
[4] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 154.
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 148.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta: Universitas Indonesia press, 1986), cet. V, hlm. 71.
[7]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149.
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149-150.
[9] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 168.
[10] Harun Nasution, Op.Cit. hlm. 76.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 150.
[12] Harun Nasution, Op.Cit.
[13] Hanafi, Pengantar, Theology Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 2007), cet. VII, hlm. 123.
[14] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[15]Ibid.
[16] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 190.
[17] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[18] Ibid., hlm. 78.
[19] Ibid.
[20] http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

 


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Secara bahasa, hadits berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan maupun penetapan Rasulullah saw. Akan tetepi para ulama Ushul Fiqh, membatasi hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan apabila mencakup perbuatan maupun takrir (penetapan) mereka menyebutnya dengan as-sunnah.

Dari pengertian-pengertian tersebut, sangat menarik apabila membicarakan tentang kedudukan hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa, al-Qur’an merupakan sumber hukum primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakannya, atau hanya membicarakan secara global bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Untuk memperjelas maupun merinci keuniversalan al-Qur’an, maka diperlukan hadits atau as-sunnah sebagai penjelas dari al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam?
2. Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar?
3. Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)?
4. Bagaimana Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits?

C. Tujuan Masalah

1. Supaya Pembaca Mengetahui Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam.
2. Supaya Pembaca Mengetahui Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar.
3. Supaya Pembaca Memahami Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya).
4. Agar Pembaca Memahami Bagaimana Hubungan antara al-Qur’an dan al-Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam


Ditinjau dari segi etimologi, makna kata as-sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan tersebut terpuji maupun tercela.[1]

Sementara secara terminologi, makna kata as-sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut.[2]

1. Menurut para ahli hadits, as-sunnah sama dengan hadits, yaitu: sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.

2. Menurut para ahli Ushul Fiqh, as-sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.

3. Menurut ahli Fiqh, makna as-sunnah mengandung dua pengertian; yang pertama sama dengan yang disebut ahli Ushul Fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.

Sedangkan as-sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.[3]

Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah saw., dan dari segi fungsi as-sunnah terhadap al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Melalui al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk patuh kepada-Nya dan patuh kepada Rasulullsh saw. Allah berfirman dalam surat an-Nisaa’(4): 80:
artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasulullah, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. an-Nisaa’: 80)

Demikian juga dalam surat an-Nisaa’ (4): 59:

artinya :Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa’: 59)

Di samping itu, Allah juga memuji akhlak Rasulullah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Qalam (68): 4:

artinya :Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam: 4)

Allah juga memerintahkan umat Islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ahzab (33): 21:

artinya :Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah merupakan suatu kewajiban.[4]

Sisi yang kedua yaitu, as-sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai penompang dalam menjelaskan hukum Islam; dirumuskan dalam tiga hal.[5] Pertama, as-sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kedua, as-sunnah berfungsi menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an. Ketiga yaitu, as-sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an.

Atas dasar itu, kita hampir tidak menemukan satu contohpun bagi hukum yang dibawa oleh as-sunnah, kecuali kita temukan ketentuan pokoknya di dalam al-Qur’an, baik tersurat maupun tersirat. Pendapat ini dinukil oleh asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah, yang kemudian diperteguh oleh asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqot. Syatibi berkata, “as-sunnah dari segi maknanya (esensinya) kembali pada al-Qur’an”. Ia berfungsi merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena as-sunnah berkedudukan sebagai penjelas al-Qur’an, sesuai yang ditunjukkan oleh firman Allah swt dalam surat an-Nahl (16): 44:

Berdasarkan fungsi as-sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, maka as-sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber hukum dan dalil hukum Islam, setelah al- Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama.[6]

Setelah lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi as-sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an terdiri atas tiga kategori sebagai berikut.[7]

1. Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-Qur’an
a. Merinci ketentuan-ketentuan hukum al-Qur’an yang disebutkan secara garis besar.
b. Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam al-Qur’an. 
2. Men-takhsish ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an.
4. Menetapkan hukum baru yang menurut zahirnya tidak terdapat dalam al-Qur’an.

B. Macam-Macam as-Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar


Dalam menyampaikan sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya satu atau dua orang saja. Begitu juga halnya dengan para sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits tertentu ada yang didengar oleh banyak murid, tetapi hadits yang lainnya lagi didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang hanya didengar oleh satu orang saja. Hadits yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan daripada yang hanya disampaikan oleh satu ataupun dua orang. Sehingga, ada pembagian hadits dari segi jumlah periwayat, yaitu:

1. Hadits Mutawattir


Hadits mutawattir yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab); orang yang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk bohong.[8]

Contohnya seperti nukilan-nukilan yang mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat, kadar zakat dan yang sepertinya.

Ulama membagi hadits mutawattir menjadi dua, yaitu:

a. mutawattir lafdzi, yaitu mutawattir redaksinya. Contoh.[9]

...من كدب على متكدافليتبوأمقعجه من النار...

...orang yang berdusta atas nama saya hendaknya bersiap-siap menduduki api neraka.

b. mutawattir ma’na, yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.[10] Contoh:[11]

انماالأعمال بالنيات

bahwasannya segala amalan itu menurut niat.

Sesuatu dapat dikatakan hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat yaitu;[12]pertama, diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Kedua, adanya keseimbangan antara perawi pada thobaqot pertama dengan thobaqot berikutnya. Ketiga, berdasarkan tanggapan pancaindra.

2. Hadits Masyhur

Hadits masyhur yaitu, hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.[13]

Di antara as-sunnah ini adalah sebagian hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian diriwayatkan oleh kelompok yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta; seperti hadits:

لاضررولاضرار

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan juga tidak boleh membalas sesuatu yang membahayakan.

3. Hadits ahad

Adalah as-sunnah yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan mutawattir. Artinya, satu, dua atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasulullah yang kemudian diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan sanad seperti itu. Yakni pada setiap tingkatannya adalah perorangan, tidak sampai pada hitungan mutawatir.[14]

Perbedaan hadits dan atsar yaitu terdapat beberapa istilah yang mengandung perbedaan makna dalam membicarakan as-sunnah, hadits dan astar. Istilah sunnah bisa disandarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat, dan umat manusia pada umumnya. Istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.[15]


C. Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)


Para ulama bersepakat bahwa as-sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.



Argumen al-Qur’an yang mereka ajukan antara lain;[16]

1. Surat al-Hasyr (59): 7:


artinya :Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

2. Surat al-Nahl (16): 44:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.

3. Surat al-Imran (3): 31:

artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ada banyak hadits yang mewajibkan kita taat kepada Rasulullah. Sebagai contoh adalah hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini.[17]

Rasulullah bersabda:

كُلُّ اُمَّتِي يَدخُلُونَ الجَنَّىةَ اِلاَّمَن اَبَى قالوا: يارسول الله وَمن يَأبي؟ قال: مَن دخل الجنّةَ ومن عصاني فقَدأبيَ.

Semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau. Dikatakan kepada Beliau, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Siapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga, dan orang yang tidak taat kepadaku adalah orang yang tidak mau masuk surga.

Rasulullah juga berpesan apabila terjadi perselisihan hendaklah orang-orang kembali kepada as-sunnah, supaya kesepakatan bersama di antara mereka tidak disesatkan perbuatan bid’ah dan supaya tidak bercerai-berai. Misalnya hadits yang dikatakan Rasulullah ketika sedang haji wada’, yakni riwayat Ibn Abbas yang dinilai shahih oleh Al-Hakim serta disepakati Adz-Dzahabi:[18]

قَدترَكتُ فيكُم ماان اعتصَمتُم به فلَنْ تضِلوْا أَبداً: كِتابَ اللهِ وسنةَ نَبِيِه

Telah aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat, yakni al-Qur’an dan Hadits.

At-Tirmidzi meriwayatkan pula melalui Abdullah bin Mas’ud. Ketika sedang haji wada’, Rasulullah bersabda:[19]

لِيُبَلغَ الشا هدُالْغَا ئِبَ فان الشاهدَعسَ أن ُيبلَغ من هوأوعىَ لهُ منهُ

Hendaklah orang yang hadir (mengetahui sesuatu) menyampaikannya kepada yang gaib (tidak tahu atau tidak menyaksikan). Ada kalanya seseorang menyampaikan kepada orang yang lebih hafal menurutnya tentang hal ini.

Sedangkan menurut ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya, para sahabat telah sepakat atas kehujjahan as-sunnah. Mereka menjadikannya sebagai referensi cara pandang keagamaan mereka, serta menjadikannya sebagai sumber hukum syara’ setelah al-Qur’an.

D. Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits


Hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring al-Qur’an.[20] Artinya seorang mujtahid dalam membahas suatu kejadian tidak boleh merujuk kepada as-Sunnah kecuali setelah tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum syara’.

Sedangkan hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi hukum yang dibawanya, yaitu sebagai berikut.[21]

1. As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa al-Qur’an, sehingga hukum itu mempunyai dua sumber dan dua dalil. Hukum-hukum tersebut antara lain yaitu; perintah mendirikan shalat, menerimakan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, larangan menyekutukan Allah, kesaksian palsu, mendurhakai orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar dan perintah atau larangan lainnya yang ditetapkan oleh ayat al-Qur’an dan didukung sunnah Rasulullah yang keduannya digunakan sebagai dalil.

2. As-sunnah merinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa al-Qur’an, membatasi kemuthlakannya dan mentakhsis keumumannya. Penjelasan, pembatasan atau pentakhsisan sunnah terhadap al-Qur’an adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an. Karena Allah memberikan hak kepada Rasulullah untuk menjelaskan nash al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl: 44)

3. As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Sehingga hukum itu ditetapkan berdasarkan dalil dan as-sunnah, bukan al-Qur’an. Antara lain, haram menikahi seorang perempuan sekaligus bibi (dari ayah atau ibu) perempuan itu, memakan binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam, memakai kain sutra dan cincin emas bagi laki-laki, juga seperti dalam hadits Nabi saw.

يحرم من الرضاع مايحرم من النسب

apa yang haram sebab nasab juga haram sebab susuan.




BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sunnah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir (ketetapan) Nabi Muhammad. Kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an; yaitu, berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an, serta membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena sunnah berkedudukan sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.

Hadits (sunnah) dilihat dari jumlah periwayatnya dibagi menjadi tiga; yaitu, hadits mutawatir, hadits masyhur dan hadits ahad. Perbedaan hadits dan atsar yaitu, istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.

Jumhur ulama sepakat akan kehujjahan hadits yang merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.

Hubungan antara sunnah dan al-Qur’an yaitu menetapkan dan menguatkan hukum, merinci dan menjelaskan keglobalan hukum, serta menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang as-Sunnah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.


DAFTAR PUSTAKA



Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 1991.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Azmah. 2011.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.
Hasbi ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2013.
Hassan, Qodir. Ilmu Musththalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2007.
Idris asy-Syafi’i, Muhammad. Kitab ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pres. 2011.
Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2011.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2011.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A., Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130.
[2] Ibid., hlm. 131.
[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), cet. 1, hlm. 39.

[4] Dr. Asmawi, M. Ag., Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Azmah, 2011), cet. 1, hlm. 44.

[5] Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), cet. XVII, hlm. 161-162.

[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 141.

[7] Ibid., hlm. 141-142.

[8] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), cet. III, hlm. 83.

[9] Ibid., hlm. 84.

[10] A. Qodir Hassan, Ilmu Musththalah Hadits, ( Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), hlm. 48.

[11] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), cet. VIII, hlm. 154.

[12] Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, ( Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 97-105.

[13] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 85.

[14] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 49.

[15] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hlm. 45-46.

[16] Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Kitab ar-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 73-75.

[17] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1991), hlm. 75-76.

[18] Ibid., hlm. 77.

[19] Ibid., hlm. 81.

[20] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 44.

[21] Ibid., hlm. 45-46.