ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH
MakalahTugas Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : H. Amir Gufran, Drs., M.Ag.
Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak H. Amir Gufran selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Jepara, 30 Mei 2015
Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat bebebrapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan para pengikut Muawiyah, sehingga muncullah golongan-golongan baru yaitu golongan Khowarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran agama Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal dengan berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Kedua aliran inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2. Apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah?
4. Bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
C. Tujuan Masalah
1. Agar para pembaca mengetahui bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2. Agar para pembaca dapat memahami apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3. Supaya para pembaca dapat membedakan sekte-sekte aliran Maturidiyah.
4. Supaya para pembaca mengetahui bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah
1. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah
Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[1] Beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari, yaitu seorang tahkim dalam Perang Siffin dari pihak Sayyidina Ali.Menurut Ibn A’sakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya as-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[2]
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah Masjid Basroh bahwa ia telah keluar dari paham Mu’tazilah. Yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah pada malam ke 10, 20 dan 30 bulan Ramadlan. Dalam mimpi itu, Rasulullah memperingatkannya untuk segera keluar dari paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Sebab lain ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri.[4] Al-Asy’ari sangat mendambakan persatuan umat, ia khawatir kalau al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’azilah yang semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat karena terlalu menonjolkan akal pikiran.
2. Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah
a. Tuhan dan sifat-sifatNya
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiah).[5]b. Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,[6] bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni bersamaan dengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
c. Pelaku dosa besar
Menurut al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada beberapa kemungkinan:
1) Ia mendapat ampunan dari Tuhan dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku dosa besar tersebut dimasukkan ke dalam surga.
2) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau,
شَفَاعَتِىْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ
Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar.
3) Tuhan memberikan hukuman kepadanya dengan memasukkannya ke dalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia dimasukkan ke surga.
d. Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-segalanya adalah milik Tuhan.
e. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[7]
f. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Tuhan yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]
3. Pengaruh Ajaran Asy’ariyah
Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan Ahlusunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasannya pengaruh ajaran Ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:
a. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
b. Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini.
B. Aliran Maturidiyah
1. Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah
Aliran ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi.[9] Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.[10] Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.[11] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.
Sebenarnya al-Maturidi itu sebaya dengan al-Asy’ari. Hanya saja berbeda tempat tinggal. Al-Asy’ari hidup di Basrah Irak, sebagai pengikut madzhab Syafi’i, sedangkan al-Matiridi bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, kebanyakan pengikutnya juga bermadzhab Hanafi. Riwayatnya tidak terlalu banyak diketahui. Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia memiliki pemikiran tentang teologi yang hampir sama.
Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya juga sudah banyak yang dituangkan dalam karya tulis.
2. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah
a. Sifat Tuhan
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi.[12] Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.
b. Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.[13]
c. Perbuatan Manusia
Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[14]
d. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal.
Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.[15]
e. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.[16]
f. Pelaku dosa besar
Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asy’ariyah yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mu’tazilah.[17]
g. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh al-Qur’an, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23.
artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
3. Sekte-Sekte Maturidiyah
a. Golongan Samarkand
Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri.[18] Pahamnya lebih dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan pengetahuannya.Begitu juga Tuhan berkuasa dengan dzatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, al-Maturidi berpaham Qodariyah. Al-Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain Maturidiah tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.
Aliran Maturidiyah juga sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-wa’d wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti akan terjadi. Demikian pula tentang antropomorphisme. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an. Pasti diberi arti kiasan. Dalam hal ini al- Maturidi bertolak belakang dengan pendapat al-Asy’ari yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi takwilan.
b. Golongan Bukhara
Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[19] Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.
4. Pengaruh Aliran Maturidiyah
Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.
Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). Mulanya al-Asy’ari berpaham Mu’tazilah, karena merasa tidak cocok dengan Mu’tazilah akhirnya ia condong kepada ahli fiqh dan hadits.
Dokrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-sifatnya, perbuatan manusia, pelaku dosa besar, keadilan Tuhan, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.
Keahlian dalam berdebat al-Asy’ari dengan basis keilmuan yang dalam, shaleh, taqwa dan melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini, merupakan pengaruh dari aliran Asy’ariyah.
Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H dan wafat pada tahun 333 H.
Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan.
Sekte-sekte Maturidiyah, pertama golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.
Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli, berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.
B. Kritik dan Saran
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. 2001.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2012.
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Purta. 2009.
Hanafi. Pengantar; Theology Islam. Jakarta: Al Husna Zikra. 2007.
Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia press. 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: New Cordova. 2012.
http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.
[1] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, hlm. 154.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 146-147.
[3] IbId., hlm. 147.
[4] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 154.
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 148.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta: Universitas Indonesia press, 1986), cet. V, hlm. 71.
[7]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149.
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149-150.
[9] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 168.
[10] Harun Nasution, Op.Cit. hlm. 76.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 150.
[12] Harun Nasution, Op.Cit.
[13] Hanafi, Pengantar, Theology Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 2007), cet. VII, hlm. 123.
[14] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[15]Ibid.
[16] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 190.
[17] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[18] Ibid., hlm. 78.
[19] Ibid.
[20] http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.