Ali Abd Al-Raziq |
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA MASA KONTEMPORER
MakalahDisusun untuk memenuhi tugas semester genap Mata Kuliah
Fiqih Siyasah
Dosen Pengampu:
Muhammad Husni Arafat, Lc., M.S.I
Disusun oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM 1213001
ALI MUSTAHAR 1213004
LAILY ANISAH 1213019
ABDUL ROHIM 1213053
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015
BAB I
PEMBUKAAN
Islam sebagaimana yang pernah dipimpin oleh Rasulullah (sebagai kepala negara) terkadang dipandang sebagai sebuah konsep dalam kenegaraan yang harus diikuti oleh negara-negara islam. Ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.
Sekh Ali Abd al-Raziq (1888-1966) muncul dan terkenal pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata khilafah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Hal itu terjadi karena negara yang bersistem khalifah, yang masih mengikuti sistem pemerintahan islam pada masa Rasulullah tidak bisa berkembang efektif. Peran terpenting dalam kehidupan Ali Abd al-Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khilafah.
Maka dari itu pemakalah tertarik untuk menggali lebih jauh tentang pemikiran politik pada masa kontemporer pada masa Ali Abdul Raziq.
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi Ali abd al Raziq, nama lengkapnya adalah syeikh Ali Abd Al-Raziq. Ia lahir di as’Said yang termasuk wilayah Al-Mania, Mesir. Ayahnya bernama Hasan Pasha atau Abdul Raziq Pasha Sr yang mana adalah seorang pembesar yang terpandang di daerah pinggiran dan Ali Abd Raziq lahir di pedalaman propinsi Menia pada tahun 1888. Ali Abd Raziq alumnus Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir, dan pernah pula belajar ilmu ekonomi dan politik di Oxford University, Inggris. Ia pernah berprofesi sebagai hakim Mahkamah Syari’ah, Mesir.[1]
Keluarga Ali Abd Al-Raziq merupakan keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. ayahnya berkicinpung dalam dunia politik bahkan ia pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizbu al- Ummah) pada tahun 1907. Setelah revolusi tahun 1919, Al-Asharar Al-Dusturiyah, partai ini adalah partai kelanjutan Hizbu Al-Ashrar al Ummah yang mempunyai dukungan yang rapat dengan Inggris.
Pendidikan Ali Abd al Raziq menganut pendidikan Abduh meskipun ia tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena pada Abduh wafat pada tahun 1905, saat itu Ali baru berusia 17 tahun kemudian dia belajar di Al-Azhar. Pada umur masih amat muda 10 tahun ia mempelajari hukum pada Seyikh Ahmmad Abu Thatwah, sahabat Abduh, Khatwah sebagai Iman Abduh adalah murid Jamal al Din Al-Afgani, Ali selama satu tahun atau dua tahun mengikuti perkuliahan di al janni‘ah Al-Mishiyyah, itulah Prof Santillana yang memberikan perkuliahan sejarah filsafat setelah Ali Abd al Raziq memperoleh izasah Aumyyah dari Al Azhar tahun 1911 ia mulai mengajar di universitas tapi itu tak lama pada bagian kedua tahun 1912 ia berangkat ke Inggris untuk belajar di unversitas Oxford, disitu ia banyak mempelajari ilmu ekonomi dan politik juga banyak membaca dan mempelajari ide- ide Barat sehingga pikiran dia banyak terpengaruh oleh pikiran Barat.
Islam berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Salah satu perkembangan pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat adalah penegasan dari sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang dalam ini adalah pencarian tentang konsep negara. Masalah ini kian makin komplek karena tatkala konsep negara bangsa yang berasal dari barat berpengaruh di praktekan dalam lingkungan Islam.
Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.[2] Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya yang berjudul Al- Islam wa Ushul Al-Hukm (islam dan dasar-dasar pemerintahan), hasil dari penelitian yang dilakukannya beberapa tahun. Buku ini banyak mendapat kritik dari ulama-ulama Al-Azhar, karena isinya penuh dengan kritikan dari Raziq terhadap sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh “sekelompok umat islam” Selama lebih kurang 13 abad, dan kritikanya terhadap teori-teori politik para ulama zaman klasik dan pertengahan. Konklusi – konklusi yang dikemukakannya merupakan hasil penelitian dan analisanya terhadap ayat-ayat Alquran dan kepemimpinan Nabi, teori-teori politik para ulama dan praktik pemerintahan sistem khilafah. Buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1925.
Raziq mengakui, kalau mau disebut negara, bahwa Nabi telah mendirikan negara di Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksanaan hukum dalam pemerintahan sudah ada di zaman Nabi.[3] Tetapi katanya, sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh Nabi.[4] Demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain seperti masalah keuangan dan pengawasannya, dan keamanan jiwa dan harta (kepolisian).[5] Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pendelegasian tugas kepada para sahabat untuk melaksanakan berbagai tugas menajadi petunjuk bahwa Muhammad SAW disamping sebagai Rasul juga adalah pemimpin politik.[6]
Raziq berpendapat, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari dakwah islamnya dan berada di luar tugas kerasulannya.[7] Pemerintahan yang dibentuk oleh Nabi, lebih lanjut adalah amal duniawi yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.[8]
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan tersebut bukan pendapat-pendapat Raziq yang sebenarnya. Pendapatnya itu hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang dianut oleh umat islam bahwa Nabi mendirikan negara, ia melihatnya sebagai tugas yang berada di luar missi kerasulannya. Beliau tidak punya tugas untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat ini untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di madinah.
Setelah Raziq mengemukakan beberapa ayat Al-qur’an, ia menyatakan, teks-teks ayat al-qur’an menyatakan bahwa fungsi Muhammad SAW sebagai Rasul tidak ada kaitannya dengan kekuasaan politik. Ayat-ayat satu sama lain saling memperkuat bahwa tugas Illahi yang dibebankan kepada Rasulullah tidak melampui batas-batas yang meliputi kekuasa duniawi (sultan).[9] Tugasnya hanya sebagai rasul untuk menyampaikan dakwah agama, dan semata-mata mengabdi kepada agama tanpa ada kecenderungan kepada kekuasaan maupun kedudukan sebagai raja. Karena itu beliau tidak pernah mendirikan suatu negara. Sebab, nabi bukanlah seorang penguasa ataupun pemegang tampuk pemerintahan. Beliau juga tidak pernah menganjurkan untuk mendirikan pemerintahan politik.[10]
Apabila dinyatakan Nabi pernah membentuk kekuasaan politik (negara), tapi mengapa tidak memiliki perangkat-perangkat pemerintahan, tidak pula dikenal sistem pemerintahannya. Beliau pun tak pernah memberi petunjuk kepada umat tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura. Bahkan mengapa beliau membiarkan para ulama terjerat dalam kebingungan menghadapi persoalan sistem pemerintahan yang ada di zaman beliau.[11] Lebih jauh ia menjelaskan, sepanjang hayat beliau tidak pernah mengisyaratkan sesuatu yang berkenaan dengan apa yang disebut “Negara Islam” atau “Negara Arab”.[12] Tidak ada sesuatu yang menginformasikan bahwa Rasulullah ikut campur dalam persoalan pilitik bangsa Arab. Sebab beliau tidak pernah melakukan perubahan terhadap model pemerintahan, sistem administrasi maupun pengadilan yang selama ini berlaku dilingkungan kabilah-kabilah Arab.
Beliau juga tidak pernah mencampuri urusan mereka baik interaksi sosial maupun ekonomi. Tidak pula ada keterangan bahwa beliau pernah memecat seorang gubernur, merekrut seorang hakim, dan mengeluarkan peraturan tentang sistem perdagangan, pertanian dan industri.[13] Karena hak rasul atas umatnya hanya hak yang berkaitan dengan tugas kerasulannya. Beliau tidak punya hak seperti hak raja atas rakyatnya.[14] Bila umat tunduk kepada Rasulullah, menurut Raziq, ketundukan itu adalah ketundukan akidah dan keimanan, bukan ketundukan kepada kekuasaan dan pemerintah. Sebab kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan agama, bukan kepemimpinan duniawi. Karena itu perekat persatuan orang-orang Arab semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik.[15] Artinya masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah itu adalah masyarakat agama, bukan masyarakat politik, alasan yang dikemukakan Raziq adalah “yang dikehendaki Allah dengan Islam adalah untuk mempersatukan umat manusia atas dasasr ikatan keagamaan yang berlaku di seluruh penjuru dunia ini”.[16] “Islam”, katanya “hanya membentuk ikatan keagamaan.[17]
Raziq membenarkan bahwa Rasulullah memiliki kekuasaan, yaitu kekuasaan yang bersifat umum. Karena itu perintahnya mesti ditaati kaum muslimin, dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Muhammad Rasulullah memiliki kekuasaan paling besar dari pada rasul - rasul lain. Beliau lebih berhak untuk itu baik kekuasaan risalah maupun kekuasaan menyampaikan dakwah yang diberikan oleh Allah. Yaitu kepemimpinan dakwah kepada agama Allah untuk menyampaikan tugas kerisalahan. Kemudian kekuasaan rasulullah atas kaumnya adalah kekuasaan rohaniah, sumbernya keimanan yang ada didalam hati. Kekuasaan yang membimbing kepada agama Allah. Sedangkan kekuasaan seorang raja adalah bersifat fisik yang berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan manusia. Kekuasaan Rasul untuk agama, sedang kekuasaan raja untuk urusan dunia.[18]
Oleh karena kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan keagamaan yang beliau peroleh dari tugas kerasulan, maka setelah beliau wafat, kata Raziq, “kepemimpinan beliau selesai. Tidak siapa pun yang dapat melanjutkannya. Bila setelah beliau wafat diharuskan adanya kepemimpinan bagi umat, maka kepemimpinan itu adalah bentuk baru dan tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan beliau. Kepemimpinan setelah beliau adalah kepemimpinan politik dan bersifat temporer. Suatu kepemimpinan yang bercorak kekuasaan politik dan pemerintahan, bukan kepemimpinan agama.”[19]
Di bagian akhir bukunya, Raziq kembali memperjelas pendapatnya bahwa islam tidak mengenal lembaga khilafah. Lembaga ini tidak punya akar dasar dalam ajaran islam. Demikian pula segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi kenegaraan tidak bersangkut paut dengan agama. Semuanya adalah masalah politik dan masalah duniawi. Islam tidak mengenal lembaga semacam itu tapi ia tidak menolaknya, tidak memerintahkan, dan tidak melarang. Semuanya terserah kepada pertimbangan akal umat.[20]
Pandangan-pandangan Raziq yang dipaparkan tersebut merupakan kritik terhadap lembaga khilafah yang muncul pasca Nabi, kritik terhadap teori-teori politik para ulama tentang khilafah dan imamah, dan kritik terhadap hubungan agama dan negara yang sama-sama melekat pada lembaga khilafah. Jelasnya ia menolak sistem khilafah, menolak pendapat bahwa pendirian negara wajib atas pertimbangan agama, dan menolak pemerintahan agama, yang ada hanya pemerintahan duniawi dan kekuasaan duniawi. Dasar pembentukannya bukan karena perintah agama, melainkan karena pertimbangan akal dan tuntutan situasi sosial dan politik yang menghendaki adanya kekuasaan politik bagi umat. Baginya agama dan negara mempunyai tugas masing-masing, tidak boleh dipersatukan dalam satu lembaga.
Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunakan dalil akal dan logika (dalil ‘aqli), seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi’in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara’ yang mutlak. Sebagian lagi berargumen dengan dalil Sayr’i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil aqli dan syar’i secara bersama-sama. Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum Muslimin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengakhiri tulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa Ali Abdul Raziq merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.
Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah:
1. Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam,
2. persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya,
3. pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Akibat dari pemikirannya itu, ia mendapat banyak sorotan dan kritikan dari para ulama di Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Abd al-Raziq, Al-islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo, 1925), cetakan 3, hlm 39.
http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pemikiran-dari-ali-abdul-raziq_1.html, Tgl 10 Mei 2015, 19:45 WIB.
J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : PTRaja Persada, 1994,) Cet. 1, hlm. 304
PEMBUKAAN
Islam sebagaimana yang pernah dipimpin oleh Rasulullah (sebagai kepala negara) terkadang dipandang sebagai sebuah konsep dalam kenegaraan yang harus diikuti oleh negara-negara islam. Ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.
Sekh Ali Abd al-Raziq (1888-1966) muncul dan terkenal pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata khilafah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Hal itu terjadi karena negara yang bersistem khalifah, yang masih mengikuti sistem pemerintahan islam pada masa Rasulullah tidak bisa berkembang efektif. Peran terpenting dalam kehidupan Ali Abd al-Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khilafah.
Maka dari itu pemakalah tertarik untuk menggali lebih jauh tentang pemikiran politik pada masa kontemporer pada masa Ali Abdul Raziq.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Politik Pada Masa Ali Abd Al-Raziq (1888-1966)
Biografi Ali abd al Raziq, nama lengkapnya adalah syeikh Ali Abd Al-Raziq. Ia lahir di as’Said yang termasuk wilayah Al-Mania, Mesir. Ayahnya bernama Hasan Pasha atau Abdul Raziq Pasha Sr yang mana adalah seorang pembesar yang terpandang di daerah pinggiran dan Ali Abd Raziq lahir di pedalaman propinsi Menia pada tahun 1888. Ali Abd Raziq alumnus Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir, dan pernah pula belajar ilmu ekonomi dan politik di Oxford University, Inggris. Ia pernah berprofesi sebagai hakim Mahkamah Syari’ah, Mesir.[1]
Keluarga Ali Abd Al-Raziq merupakan keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. ayahnya berkicinpung dalam dunia politik bahkan ia pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizbu al- Ummah) pada tahun 1907. Setelah revolusi tahun 1919, Al-Asharar Al-Dusturiyah, partai ini adalah partai kelanjutan Hizbu Al-Ashrar al Ummah yang mempunyai dukungan yang rapat dengan Inggris.
Pendidikan Ali Abd al Raziq menganut pendidikan Abduh meskipun ia tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena pada Abduh wafat pada tahun 1905, saat itu Ali baru berusia 17 tahun kemudian dia belajar di Al-Azhar. Pada umur masih amat muda 10 tahun ia mempelajari hukum pada Seyikh Ahmmad Abu Thatwah, sahabat Abduh, Khatwah sebagai Iman Abduh adalah murid Jamal al Din Al-Afgani, Ali selama satu tahun atau dua tahun mengikuti perkuliahan di al janni‘ah Al-Mishiyyah, itulah Prof Santillana yang memberikan perkuliahan sejarah filsafat setelah Ali Abd al Raziq memperoleh izasah Aumyyah dari Al Azhar tahun 1911 ia mulai mengajar di universitas tapi itu tak lama pada bagian kedua tahun 1912 ia berangkat ke Inggris untuk belajar di unversitas Oxford, disitu ia banyak mempelajari ilmu ekonomi dan politik juga banyak membaca dan mempelajari ide- ide Barat sehingga pikiran dia banyak terpengaruh oleh pikiran Barat.
Islam berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Salah satu perkembangan pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat adalah penegasan dari sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang dalam ini adalah pencarian tentang konsep negara. Masalah ini kian makin komplek karena tatkala konsep negara bangsa yang berasal dari barat berpengaruh di praktekan dalam lingkungan Islam.
Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.[2] Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya yang berjudul Al- Islam wa Ushul Al-Hukm (islam dan dasar-dasar pemerintahan), hasil dari penelitian yang dilakukannya beberapa tahun. Buku ini banyak mendapat kritik dari ulama-ulama Al-Azhar, karena isinya penuh dengan kritikan dari Raziq terhadap sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh “sekelompok umat islam” Selama lebih kurang 13 abad, dan kritikanya terhadap teori-teori politik para ulama zaman klasik dan pertengahan. Konklusi – konklusi yang dikemukakannya merupakan hasil penelitian dan analisanya terhadap ayat-ayat Alquran dan kepemimpinan Nabi, teori-teori politik para ulama dan praktik pemerintahan sistem khilafah. Buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1925.
Raziq mengakui, kalau mau disebut negara, bahwa Nabi telah mendirikan negara di Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksanaan hukum dalam pemerintahan sudah ada di zaman Nabi.[3] Tetapi katanya, sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh Nabi.[4] Demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain seperti masalah keuangan dan pengawasannya, dan keamanan jiwa dan harta (kepolisian).[5] Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pendelegasian tugas kepada para sahabat untuk melaksanakan berbagai tugas menajadi petunjuk bahwa Muhammad SAW disamping sebagai Rasul juga adalah pemimpin politik.[6]
Raziq berpendapat, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari dakwah islamnya dan berada di luar tugas kerasulannya.[7] Pemerintahan yang dibentuk oleh Nabi, lebih lanjut adalah amal duniawi yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.[8]
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan tersebut bukan pendapat-pendapat Raziq yang sebenarnya. Pendapatnya itu hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang dianut oleh umat islam bahwa Nabi mendirikan negara, ia melihatnya sebagai tugas yang berada di luar missi kerasulannya. Beliau tidak punya tugas untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat ini untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di madinah.
Setelah Raziq mengemukakan beberapa ayat Al-qur’an, ia menyatakan, teks-teks ayat al-qur’an menyatakan bahwa fungsi Muhammad SAW sebagai Rasul tidak ada kaitannya dengan kekuasaan politik. Ayat-ayat satu sama lain saling memperkuat bahwa tugas Illahi yang dibebankan kepada Rasulullah tidak melampui batas-batas yang meliputi kekuasa duniawi (sultan).[9] Tugasnya hanya sebagai rasul untuk menyampaikan dakwah agama, dan semata-mata mengabdi kepada agama tanpa ada kecenderungan kepada kekuasaan maupun kedudukan sebagai raja. Karena itu beliau tidak pernah mendirikan suatu negara. Sebab, nabi bukanlah seorang penguasa ataupun pemegang tampuk pemerintahan. Beliau juga tidak pernah menganjurkan untuk mendirikan pemerintahan politik.[10]
Apabila dinyatakan Nabi pernah membentuk kekuasaan politik (negara), tapi mengapa tidak memiliki perangkat-perangkat pemerintahan, tidak pula dikenal sistem pemerintahannya. Beliau pun tak pernah memberi petunjuk kepada umat tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura. Bahkan mengapa beliau membiarkan para ulama terjerat dalam kebingungan menghadapi persoalan sistem pemerintahan yang ada di zaman beliau.[11] Lebih jauh ia menjelaskan, sepanjang hayat beliau tidak pernah mengisyaratkan sesuatu yang berkenaan dengan apa yang disebut “Negara Islam” atau “Negara Arab”.[12] Tidak ada sesuatu yang menginformasikan bahwa Rasulullah ikut campur dalam persoalan pilitik bangsa Arab. Sebab beliau tidak pernah melakukan perubahan terhadap model pemerintahan, sistem administrasi maupun pengadilan yang selama ini berlaku dilingkungan kabilah-kabilah Arab.
Beliau juga tidak pernah mencampuri urusan mereka baik interaksi sosial maupun ekonomi. Tidak pula ada keterangan bahwa beliau pernah memecat seorang gubernur, merekrut seorang hakim, dan mengeluarkan peraturan tentang sistem perdagangan, pertanian dan industri.[13] Karena hak rasul atas umatnya hanya hak yang berkaitan dengan tugas kerasulannya. Beliau tidak punya hak seperti hak raja atas rakyatnya.[14] Bila umat tunduk kepada Rasulullah, menurut Raziq, ketundukan itu adalah ketundukan akidah dan keimanan, bukan ketundukan kepada kekuasaan dan pemerintah. Sebab kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan agama, bukan kepemimpinan duniawi. Karena itu perekat persatuan orang-orang Arab semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik.[15] Artinya masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah itu adalah masyarakat agama, bukan masyarakat politik, alasan yang dikemukakan Raziq adalah “yang dikehendaki Allah dengan Islam adalah untuk mempersatukan umat manusia atas dasasr ikatan keagamaan yang berlaku di seluruh penjuru dunia ini”.[16] “Islam”, katanya “hanya membentuk ikatan keagamaan.[17]
Raziq membenarkan bahwa Rasulullah memiliki kekuasaan, yaitu kekuasaan yang bersifat umum. Karena itu perintahnya mesti ditaati kaum muslimin, dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Muhammad Rasulullah memiliki kekuasaan paling besar dari pada rasul - rasul lain. Beliau lebih berhak untuk itu baik kekuasaan risalah maupun kekuasaan menyampaikan dakwah yang diberikan oleh Allah. Yaitu kepemimpinan dakwah kepada agama Allah untuk menyampaikan tugas kerisalahan. Kemudian kekuasaan rasulullah atas kaumnya adalah kekuasaan rohaniah, sumbernya keimanan yang ada didalam hati. Kekuasaan yang membimbing kepada agama Allah. Sedangkan kekuasaan seorang raja adalah bersifat fisik yang berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan manusia. Kekuasaan Rasul untuk agama, sedang kekuasaan raja untuk urusan dunia.[18]
Oleh karena kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan keagamaan yang beliau peroleh dari tugas kerasulan, maka setelah beliau wafat, kata Raziq, “kepemimpinan beliau selesai. Tidak siapa pun yang dapat melanjutkannya. Bila setelah beliau wafat diharuskan adanya kepemimpinan bagi umat, maka kepemimpinan itu adalah bentuk baru dan tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan beliau. Kepemimpinan setelah beliau adalah kepemimpinan politik dan bersifat temporer. Suatu kepemimpinan yang bercorak kekuasaan politik dan pemerintahan, bukan kepemimpinan agama.”[19]
Di bagian akhir bukunya, Raziq kembali memperjelas pendapatnya bahwa islam tidak mengenal lembaga khilafah. Lembaga ini tidak punya akar dasar dalam ajaran islam. Demikian pula segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi kenegaraan tidak bersangkut paut dengan agama. Semuanya adalah masalah politik dan masalah duniawi. Islam tidak mengenal lembaga semacam itu tapi ia tidak menolaknya, tidak memerintahkan, dan tidak melarang. Semuanya terserah kepada pertimbangan akal umat.[20]
Pandangan-pandangan Raziq yang dipaparkan tersebut merupakan kritik terhadap lembaga khilafah yang muncul pasca Nabi, kritik terhadap teori-teori politik para ulama tentang khilafah dan imamah, dan kritik terhadap hubungan agama dan negara yang sama-sama melekat pada lembaga khilafah. Jelasnya ia menolak sistem khilafah, menolak pendapat bahwa pendirian negara wajib atas pertimbangan agama, dan menolak pemerintahan agama, yang ada hanya pemerintahan duniawi dan kekuasaan duniawi. Dasar pembentukannya bukan karena perintah agama, melainkan karena pertimbangan akal dan tuntutan situasi sosial dan politik yang menghendaki adanya kekuasaan politik bagi umat. Baginya agama dan negara mempunyai tugas masing-masing, tidak boleh dipersatukan dalam satu lembaga.
Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunakan dalil akal dan logika (dalil ‘aqli), seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi’in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara’ yang mutlak. Sebagian lagi berargumen dengan dalil Sayr’i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil aqli dan syar’i secara bersama-sama. Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum Muslimin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengakhiri tulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa Ali Abdul Raziq merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.
Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah:
1. Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam,
2. persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya,
3. pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Akibat dari pemikirannya itu, ia mendapat banyak sorotan dan kritikan dari para ulama di Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Abd al-Raziq, Al-islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo, 1925), cetakan 3, hlm 39.
http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pemikiran-dari-ali-abdul-raziq_1.html, Tgl 10 Mei 2015, 19:45 WIB.
J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : PTRaja Persada, 1994,) Cet. 1, hlm. 304
[1] J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : PTRaja Persada, 1994,) Cet. 1, hlm. 304
[2]http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pemikiran-dari-ali-abdul-raziq_1.html, Tgl 10 Mei 2015, 19:45 WIB.
[3] Ali Abd al-Raziq, Al-islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo, 1925, cetakan 3), hlm 39.
[4] Ibid, hlm. 44
[5] Ibid, hlm. 45
[6] Ibid, hlm. 53-55
[7] Ibid, hlm. 55
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 71.
[10] Ibid, hlm. 64-65.
[11] Ibid, hlm. 57.
[12] Ibid, hlm. 87.
[13] Ibid, hlm. 83-84.
[14] Ibid, hlm. 72.
[15] Ibid, hlm. 86.
[16] Ibid, hlm. 81.
[17] Ibid, hlm. 70.
[18] Ibid, hlm. 68-69.
[19] Ibid, hlm. 90.
[20] Ibid, hlm. 103.