Hukum terdapat dalam kehidupan manusia.Hal ini mengisyaratkan bahwa
tidak ada hukum jika di tempat tertentu tidak ada manusia. Berdasarkan jalan
pikiran tersebut, berlaku adagium yang mengatakan: ada hukum ada masyarakat-ubi-ius
ubi-societes.
Di tengah-tengah gurun pasir Sahara yang tidak
ada manusia tidak mungkin ada hukum Karena manusia harus hidup bermasyarakat,
maka apabila disuatu tempat hanya ada dihuni oleh satu orang manusia, maka di
situ tidak perlukan adanya hukum Masyarakat, bagaimanapun sederhananya, telah
memiliki hukum Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa suku-suku bangsa
di Indonesia yang belum beradab tidak mempunyai hukum merupakan pendapat yang
menyesatkan. Setiap bangsa di dunia mempunyai hukum, sekalipun antara hukum
bangsa yang satu dengan bangsa yang lain belum tentu sama, karena hukum
mempunyai kaitan yang erat dengan perkembangan dan kemajuan sesuatu bangsa.
Masyarakat yang primitif, akansederhana pula hukumnya. Demikian pula sebaliknya;
masyarakat yang modern akan mempunyai pengaruh terhadap hukum yang berlaku pada
bangsa tersebut.
Bangsa yang mempunyai banyak kontak dengan
bangsa yang lain mengakibatkan banyak percampuran didalam kebudayaan, dan
berarti terjadinya percampuran hukum dari bangsa-bangsa tersebut. Negara yang
dijajah akan menerima kebudayaan negara yang menjajah, baik sedikit maupun
banyak. Oleh karena itu, langsung ataupun tidak langsung, penerimaan (repectie)
hukum dapat terjadi. Sebagai cotoh, ketika bangsa romawi berkuasa dieropa,
mereka membawa serta memasukkan kebudayaan Romawi ke negara-negara yang
dilakukannya, dan berlakulah hukum Romawi di negara-negara koloni tersebut.
Menurut pendapat madzhab sejarah dari F.C. Von
Saigni, tiap tiap hukum ditentukan oleh waktu, tempat dan kondisi masyarakat.
Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat dari ajaran hukum alam yang
menyatakan bahwa hukum sama saja dimanapun dan kapanpun, tidak tergantung
kepada pandangan-pandangan manusia dan lebih sempurna dari pada hukum positif.
1.
J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H.
Bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukuman.
2.
Soerojo Wignjodipoero, S.H.
Hukum adalah
himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah
larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud
untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
3.
Mr. E.M. Mayers
Hukum adalah
semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah
laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara
dalam melakukan tugasnya.
4.
Duguit
Hukum adalah
tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat
tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
5.
Immanuel Kant
Hukum adalah
keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat
menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum
tentang Kemerdekaan.
6.
Van Kant
Hukum adalah
serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur
melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
7.
Van Apeldoorn
Hukum adalah
gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu
menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan
kebiasaan.
8.
S.M. Amir, S.H.
Hukum adalah
peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan
sanksi-sanksi.
Hukum bertujuan mengatur tata tertib masyarakat.
Agar tujuan hukum tersebut dapat terwujud, maka hukum menentukan norma-norma
yang berisi perintah dan larangan yang harus di patuhi oleh setiap orang.
Selain itu, hukum pun menentukan bermacam-macam petunjuk tentang hubungan
antara manusia yang satu dengan yang lain didalam pergaulan hidup. Misalnya,
larangan membunuh, larangan mencuri, perintah membayar pajak dsb.
Sikap atau perikelakuan yang ajeg dapat
menjadi hukum kebiasaan apabila dipenuhi dua persyaratan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Apeldoorn yaitu : syarat material yakni kebiasaan yang ajeg
dan syarat psikologis yakni kesadaran akan adanya suatu kewajiban menurut
hukum.[2]
Sedangkan menurut Aristoteles, hukum hanya
sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga
hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi
konstitusi; karena kedudukannya itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
Setelah menemukan banyak sekali pengertian
tentang hukum Zinsheimer dalam bukunya rechtsociologis membedakan hukum
normatif, hukum ideal, dan hukum wajar
1. Hukum Normatif : hukum yang nampak dalam peraturan-peraturan
perundang-undangan serta hukum yang tidak tertulis dalam perundang-undangan tetapi
toh ditaati oleh masyarakat karena keyakinan, peraturan hidup itu sudah
sewajarnya wajib ditaati.
2. Hukum Ideal : hukum yang dcita-citakan. Hukum ini pada
hakikatnya berakar pada perasaan murni manusia dari segala bangsa diseluruh
dunia. Hukum ini yang benar-benar obyektik.
3. Hukum Wajar : hukum seperti yang terjadi dan nampak
sehari-hari. Tidak jarang hukum yang nampak sehari-hari menyimpang dari hukum
normatif (tercantum dalam perundang-undanga) karena tidak diambil oleh
alat-alat kekuasaan pemerintah, maka pelanggaran tersebut oleh masyarakat yang
bersangkutan lambat laun dianggap biasa.[3]
Dalam mencari pengertian tentang hukum memang
sulit untuk menemukan suatu definisi yang sungguh-sungguh dapat memadahi
kenyataan tentang pengertian hukum. Karena definisi hukum terdapat perbedaan
pandangan dalam mengartikannya Antara Tokoh hukum itu.Singkatnya bahwa
kesukaran dalam membuat definisi hukum disebabkan:
1.
Karena luasnya lapangan hukum itu
2.
Kemungkinan untuk meninjau hukum dari berbagai sudut
(filsafat, politik, sosiologi, sejarah dan sebagainya) sehingga hasilnya akan
berlainan dan masing-masing definisi hanya memuat salah satu paket dari hukum
saja
3.
Objek (sasaran) dari hukum adalah masyarakat, padahal
masyarakat senantiasa berubah dan berubah dan berkembang, sehingga definisi
dari hukum juga akan berubah-ubah pula.[4]
Kemudian lemare mengatakan, bahwa hukum yang
banyak seginya serta meliputi segala lapangan ini menyebabkan orang tidak
mungkin membuat definisi apa hukum itu sebenarnya. [5] selanjutnya L. J. Vn
Apeldroom pernah mengatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi tentang
hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadahi kenyataan. Selanjutnya L. J. Van
Apeldroom menjelaskan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya,
sehingga tidak mungkin orang menyatkannya dalam suatu rumus secara memuaskan.[6]
Penulis-penulis ilmu Pengetahuan hukum di
Indonesia juga sependapat dengan L. J. Apeldoorn, seperti sudirman
kartohadipridjo mengatakan, “ ... jikalau kita menanyakan apakah yang dinamakan
hukum, kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagai
perumusan yang dikemukakan”.[7]Lili Rasyidi mengemukakan
bahwa hukum itu banyak seginya, tidak mungkin dapat dituangkan hanya kedalam
beberapa kalimat saja. Oleh karena itu juka ada yang mencoba merumuskan hukum,
sudah dapat dipastikan definisi tersebut tidak sempurna.[8]
adalah pada
peraturan hukum (normanya hukum) yang ditujukan terhadap setiap orang yang
berkepentingan dan yang memberikan hak jaminan perlindungan.
Untuk jelasnya bahwa hukum objektif adalah
hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau
golongan tertentu.Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur
hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
Hukum objektif dapat di golongkan antara lain:
a.
Berdasarkan sumbernya
b.
Berdasarkan isinya
c.
Berdasarkan kekuatan berlakunya
d.
Berdasarkan daerah kekuasaannya
e.
Berdasarkanpemeliharaannya
Hukum objektif berdasarkan sumbernya, dapat ditafsir antara lain:
a.
Sumber hukum dalam pengertian historis
b.
Sumber hukum dalam pengertian filosofis
c.
Sumber hukum dalam pengertian sosiologis
Berdasarkan isi hukum, antara lain:
a.
Hukum public
b.
Hukum privat
Berdasarkan kekuatan berlakunya hukum (sanksinya) antara lain:
a.
Hukum paksa
b.
Hukum tambahan
Berdasarkan daerah kekuasaannya, yaitu:
a.
Hukum nasional
b.
Hukum internasional
c.
Hukum asing
Berdasarkan pemeliharaannya, yaitu:
a.
Hukum materiil
b.
Hukum formil[9].
adalah hubungan
yang diatur oleh hukum objektif berdasarkan nama yang satu mempunyai hak, yang
lain mempunyai kewajiban terhadap sesuatu.Disebut subjektif, karena dalam hal
ini hukum dihubungkan dengan seseorang yang tertentu sesuatu subjek yang
tertentu.
Hukum objektif dan subjektif berhubungan erat antara
keduanya.Hukum objektif adalah peraturan hukumnya.Sedangkan Hukum subjektif adalah
peraturanperaturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang yang tertentu dan
dengan demikian menjadi hak, kewajiban.
Dengan perkataan lain, hukum subjektif timbul
jika hukum objektif beraksi, karena hukum objektif yang beraksi itu melakukan
dua pekerjaan: pada satu pihak ia memberikan hak dan pada lain pihak meletakkan
kewajiban. Kedua unsur tersebut, yakni pada satu pihak yang diberikan oleh
hukum objektif, pada pihak lain kewajiban yang mengikutinnya, kita jumpai pada
tiap-tiap hubungan hukum. Jika berdasarkan hubungan hukum yang terdapat antara
si pembeli dan si penjual, si pembeli wajib membayar harga pembelian pada si
penjual, maka termuat di dalamnya.Bahwa si penjual berhak menuntut pembayaran
si pembeli[10].
Biasanya orang mengajarkan: hukum subjektif ialah hak yang
diberikan oleh hukum objrktif. Ajaran itu bukanlah salah seluruhnya, melainkan
bersifat sepihak, karena ada tiga perkara penting yang tidak di perhitungkannya.
Pertama, tampil kemukanya hak atau wewenang, artinya segi aktif
dari hubungan hukum, menyebabkan, bahwa adat bahasa biasanya menyatakan segi
yang aktif itu sebagai hak (subjektif).
Adat bahasa itu telah menjadi demikian biasa, sehingga usaha untuk
mengubahnya tak akan berhasil. Akan tetapi justru karena itu haruslah
dikemukakan dengan tekanan, bahwa terhadap hak pada satu pihak, selalu terdapat
kewajiban dari orang lain atau beberapa orang. Hak dan kewajiban adalah dua
sisi dari hal yang sama (dari hubungan hukum yang sama) dan karena itu tak
dapat dipisahkan. Dengan menamakan hukum subjektif sebagai hak, kita hanya
memperhatikan satu pihak. Sebenarnya hukum subjektif adalah suatu hubungan yang
diatur oleh hukum objektif, berdasarkan mana yang satu mempunyai hak, yang lain
mempunyai kewajiban.
Kedua, ditinjau dari segi lain, hukum subjektif adalah lebih dari hanya
hak belaka. Hukum objektif tidak hanya mengatur, akan tetapi juga memaksa.
Dengan demikian berdirilah dibelakang hukum subjektif kekuasaan yang memaksa
dari hukum objektif.Ia tidak hanya memberikan hak, melainkan juga alat-alat
untuk menjalankannya. Kepada hukum subjektif ia menghubungkan tuntutan hukum
atau aksi, yaitu hak untuk meminta bantuan hakim, untuk mempertahankan hukum subjektif.
Siapa yang meminjamkan uang uang kepada orang lain, tidak hanya berhak untuk
menagihnya kembali, akan tetapi juga mempunyai kekuasaan untuk menerimanya
kembali, yakni dengan pertolongan hakim dan polisi.
Hukum subjektif, sebagai juga hukum objektif,
adalah kekuasaan.Ia adalah hubungan kekuasaan yang diatur oleh hukum objektif.
Ketiga, hak-hak yang diberikan oleh hukum subjektif, dapat berbentuk dua.
Pertama-tama ia dapat terdiri atas hak untuk menuntut agar orang lain
bertindak, artinya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Hukum subjektif dapat juga terdiri atas hak
untuk bertindak sendiri.Sebaliknya, terdapat kewajiban, tidak dari seseorang
yang tertentu, melainkan kewajiban dari semua orang untuk tidak melakukan
pelanggaran terhadap hak tersebut. Demikian halnya pada hubungan hukum yang
dibicarakan diatas, yang terdapat antara seseorang tertentu pada satu pihak dan
segala orang lain pada pihak lain, misalnya hak milik dan juga kekuasaan
orang tua, yang memberikan hak pada orang tua untuk melakukan kekuasaan
atas anak-anaknya dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum objektif.
Hak dan kewajiban didalam bahasa belandadipergunakan dengan istilah subjectief recht untuk hak dan objectief rechtuntuk hukum. Objectief recht atau (hukum objekti) adalah hukum dalam suatu
negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau golongan tertentu.
Adapun subjectief recht atau hukum subjektif adalah suatu hubungan yang di atur
ole hukum objektif, berdasarkan makna yang satu mempunyai hak, yang lain
mempunyai kewajiban.[11]
Hukum subjektif merupakan segi aktif dari
hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri atas ikatan antara individu dan
masyarakat dan antar individu itu sendiri. Ikatan itu tercerminkan pada hak dan
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang
satu mencerminkan adanya yang lain. Misalnya si pembeli berhak menuntut
penyerahan barang-barang yang dijual dan ia wajib membayar harga pembeli, si
penjual berhak menuntut pembayaran dan ia wajib menyerahkan barang-barang yang
dijualnya itu.
Hak dan kwajiban bukanlah merupakan kumpulan
kaedah, tetapi merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di
satu pihak yang tercemin pada kwajiban pada pihak lain. Hak dan kwajiban merupakan
kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.
Menurut saut P. Panjaitan, hak adalah peranan
yang boleh tdak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kwajiban
merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif).[12]
Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh
hukum objektif kepada subjek hukum, dan kwajiban adalah beban yang diberikan
oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum, seperti kwajiban pengusaha yang
berbadan hukum untuk membayar pajak penghasilan. [13]
1.
Hak dan kewajiban yang jamak arah atau absolut yaitu hak
dan kewajiban itu dapat dipertahankan terhadap siapa saja seperti dalam
hubungan kenegaraan (hak negara menagih pajak, kewajian warga negara membayar
pajak), hak kpribadian (hak untuk hidup/leven, hak atas tubuh/lijf, hak atas
kehormatan/eer, dan hak atas kebebasan vrijheid, hak kekeluargaan (kepada suami
istri, orang tua anak), hak kebendaan, hak objek immateril (seperti hak cipta).
2.
Hak dan kewajiban yang se arah/relative, yaitu hak dan
kewajiban yang hanya dapat dipertahankan terhadap pihakpihak saja, seperti
dalam hubungan utang piutang. Antara hak dan kewajiban didalam bidang tata
hukum sering tidak jelas perbedaannya. Dengan demikian, dalam hubungan yang
bertingkat (hierarki) sayogiannya dipergunakan kekuasaan dan ketaatan dalam
hubungan antara penguasa dengan warga negara dalam hukum kenegaraan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan berdasasrkan keterangan di atas
dapat kami simpulkan bahwa:Hukum termasuk salah satu disiplin ilmu yang sudah mapan dan diakui
secara internasional, ia merupakan pengetahuan mengenai masalah yang bersifat
manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar menurut harkat kemanusiaan.
Ilmu hukum berarti setiap
pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum, ia
meliputi semua generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-masakdibidang
hukum. Didalamnya memuat studi tentang obyek dan subyek yang menjadi pokok
kajiannya.
Hubungan hukum itu terdiri atas ikatan antara individu dan masyarakat dan
antar individu itu sendiri. Ikatan itu tercerminkan pada hak dan kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu
mencerminkan adanya yang lain. Hak dan kwajiban merupakan kewenangan yang
diberikan kepada seseorang oleh hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Apeldroom,
L.J. Van,(1985), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita
Daliyo,
J.B. (1994), Pengantar Ilmu Hukum, Buku
Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ishaq,
(2009), Dasar-Dasar Ilmu Hukum,
cet. 2, Jakarta : Sinar Grafika
Kartohadiprodjo,
Sudirman Dalam C.S.T Kansil, (1982), Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakatra: Balai Pustaka
Panjaitan,
Saut P.,(1998), Dasar-Dasar Ilmu Hukum
(Asas, Pengertian, Dan Sistematika),Palembang : Penerbit Universitas
Sriwijaya
Rasyidi,
Lili,(1985), Filsafat Hukum, Apakah Hukum
Itu? (Bandung : Remaja Rosdakarya,
Soerjono
Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, (1993), Sendi-Sendi
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Syarifain,
Pipin,(1998), Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Cv Pustaka Setia
[1]Pipin Syarifain, Ibid.,hlm 22-24.
[2]Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm. 19
[3]Pipin Syarifin, Ibid, .hal
18-29
[4]Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu
Hukum, cet. 2 (Jakarta : Sinar
Grafika, 2009) hlm. 1
[5]Pipin Syarifin, op.cit. Hlm 21.
[6]L.J. Van Apeldroom, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1985), Hlm 13
[7]Sudirman Kartohadiprodjo,
Dalam C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum
Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakatra: Balai Pustaka, 1982), Hlm.33.
[8]Lili Rasyidi, Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu? (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1985), hlm. 3.
[11]L. J. Van Apedroon, Ibid. hlm, 55
[12]Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, Dan Sistematika),
(Palembang : Penerbit Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 81
[13]J.B. daliyo, Pengantar
Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994). hlm 32-34