Aswaja versi bahasa terdiri dari
tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu
diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah
diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah
diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala
sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun
ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati
komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.
dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.[1] Jama’ah mengandung
beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang
terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan
yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau
akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan
sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.[2]
Menurut Imam
Asy’ari, Ahlusssunnah
Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[3]
Menurut KH. M.
Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh
kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama.
Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka
yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu
al-Hasan al-Syadzili.[4] Menurut
Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit
tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi
petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[5]
Definisi di
atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak
hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan
mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang
salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis
dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk
kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang
lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran
Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun
kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa
mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada
aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada
komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[6]
Di Indonesia,
yang paling dominan adalah mengikuti Imam Asy’ari dalam aspek aqîdah, Imam
Syâfi’i dalam aspek fiqh, dan Imam Ghazâli dalam aspek tasawuf. Karya-karya mereka dikaji di
pesantren, madrasah, majlis ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain. Imam Asy’ari terkenal dengan
kemampuannya menggabungkan dimensi rasionalitas Mu’tazilah (karena lama menjadi
pengikut Mu’tazilah) dan tradisionalitas Jabariyah (fatalistik). Teori kasb (upaya/usaha)
adalah buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis
dan tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun
hasil akhirnya berada dalam kekuasaan Allah[7].
Imam Syâfi’i
terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas ahlu al-ra’yi
(pengikut Imam Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadîs
(pengikut Imam Mâlik di Madinah). Konsep qiyâs (analogi) dan istiqrâ’
(penelitian induktif) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah
pemikiran cemerlang Imam Syâfi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada
masa itu. Sedangkan
Imam Ghazâli terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof,
formalitas ahli fiqh, dan esoteritas kaum sufi. Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah master
piece Al-Ghazali yang mengandung kedalaman kajian aqîdah, filsafat, fiqh,
tasawuf, sosial dan politik dalam satu kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafi
dan amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa
perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.[8]
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang
prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam
sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak
dan bidang sosial-politik dengan penjabaran sebagai berikut:
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan
manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam
hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan
kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu
dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul
sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan
ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan
akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam
doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah
(wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh
setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat
dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab)
seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a)
Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak
dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya
tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b)
As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak
dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in.
Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang
telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c)
Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad
Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl
al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Atau kesepakatan
orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d) Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad
para Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash
hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat
hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
Imam
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari
apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka
adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola
hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan
kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus
dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat
duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan
diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia
sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak
contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam
ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol
yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah
seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj
sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani,
dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi
yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan),
kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu
kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum,
persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan
urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di
dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk
mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut
juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas
berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang
negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah
wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk
menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki
konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang)
pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah[9]:
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang
menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara
wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib
hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan
manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang
lima) yang
identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan
mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku
bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang
yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
1. Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa);
adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap
warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan
berkembang dalam wilayahnya.
2. Hifzhu al-Din (menjaga agama);
adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang
memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara
tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada
warga negara.
3. Hifzhu
al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh
warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin
rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4. Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara
harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara
harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
5. Hifzh
al-‘Irdh; jaminan terhadap harga
diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya.
Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi
setiap warga negara.
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam
sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di
tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka
memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin
kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan)
khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat
antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan
status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan
untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus
mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
Ada lima istilah utama yang diambil
dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal
jama’ah sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan
konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan
identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan
nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri
antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran
serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan
tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali
pada yang benar dan yang harus dibela.
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada,
mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam
masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak
kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong
berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
Dalam menapaki
kehidupan modern kader Ahlusssunnah Wal Jamaah Nahdliyah di masa depan harus selalu
tanggap mampu menguasai tiga bidang di atas sekaligus. Ahli di bidang aqîdah, fiqh, dan
tasawuf yang membawa perubahan dan kemajuan besar bagi peradaban dunia.
Tidak hanya itu, kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran para
pemikir Islam dalam semua bidang, karena Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafâ’
al-râsyidîn, dan golongan mayoritas umat (al-sawâdu al-a’dham). Mengikuti
jejak pemikiran dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid,
KH. Ahmad Shidiq, KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisyri,
dan KH. Sa’id Aqil Siradj adalah langkah terbaik untuk mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah secara dinamis dan produktif.
Semangat membaca dari berbagai sumber pengetahuan, baik Barat maupun Timur,
mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal, menulis buku dan kitab, berjuang
mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat, dan aktif melakukan kaderisasi
adalah kunci sukses dalam mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah. Kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus mampu menepis tuduhan
sepihak yang dilontarkan kelompok lain yang mengatakan bahwa banyak praktek
budaya yang dilakukan warga NU termasuk bid’ah tersesat yang ancamannya
adalah masuk neraka.
Agar semakin shalih likulli zamân wa
makân, aplikabel di setiap masa dan ruang sekaligus menjadi sentral gerakan dalam menjaga
stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Aswaja harus diposisikan sebagai metode berpikir
dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari,
menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap proaktif untuk mencari
penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan
pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat
para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif,
namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau
membatasi kreativitas. Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat
dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi
jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau
terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin
keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq
al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif). Menurut Badrun (2000), terdapat lima
ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj
al-fikr atau manhaj al-amal:
1.
Selalu mengupayakan untuk interpretasi
ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;
2.
Makna bermadzhab diubah dari
bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara
metodologis (madzhab manhajy);
3.
Melakukan verifikasi mendasar
terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’);
4.
Fiqih dihadirkan sebagai etika
sosial, bukan sebagai hukum positif;
5.
Melakukan pemahaman metodologi
pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.
Menurut KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah
Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi,
menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus
diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan
sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik
ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah
sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan
realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Dalam merespon
berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun
kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal
Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah
Nahdliyah). Adapun
ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain[10]
:
1. Fikrah
Tawassuthiyah (polapikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang)
dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2. Fikrah
Tasamuhiyah (polapikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai
dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya
Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al
ishlah ila ma huwa al ashlah).
4. Fikrah
Tathawwuriyah (polapikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi
dalam merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah
Manhajiyah (polapikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan
kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah
ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah
yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan
yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual
sebenarnya pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis,
ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan
intelektual di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama
yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam
bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti
Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van
Bruinessen (1994).
Jika aswaja
dipahami dengan benar dan menjadi acuan bertindak dalam kehidupan maka
akan mampu memfilter pengaruh globalisasi dan masuknya budaya luar yang dapat
memicu munculnya sikap adopsi budaya yang negatif seperti tidak toleran
terhadap perbedaan, kekerasan, dan berbagai macam bentuk sikap negatif lainnya
yang kesemuanya dapat menodai karakter kelompok Islama aswaja yang
dikenal memiliki sikap kearifan, moderat, menghargai budaya lokal,
menghargai perbedaan dan anti kekerasan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi Ahlussunnah
wal Jama’ah yang dirumuskan para
ulama klassik memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa
ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang
paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said
Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan
mempersempit makna ke arah institusional. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
menjawab perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj al fikr sehingga
bersifat dinamis sekaligus sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan namun tetap
selektif dan protektif dalam merespon perkembangan tersebut.
Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja
mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke
arah kemajuan. Para kyai ini mencoba
memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas, sehingga apa yang
mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat memihak kepada
masyarakt kecil.
Usaha
Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi
terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Alarna, Badrun, (2000), cet. 1, NU, Kritisisme
dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana
Al-Asy’ari, Abi al-Hasan Ali ibn Ismail, (t.th). al-Ibanah An
Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Asmani, Jamal
Makmur, (2014), Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam
Hasyim, Yusuf, (2014), Aswaja
Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji dalam,_http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/
LIM, FKI (2010), cet. 2, Gerbang Pesantren, Pengantar
Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Kediri: Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo
Madjid,
Nurcholis, (2000), cet. 4, Islam Doktrin
Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, , hlm. 282-84 .
Misrawi, Zuhairi, (2010), cet. 1, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,
Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas
Nasir, Sahilun
A. (2010), cet. 1
Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
Jakarta : Rajawali Press
-----------Ahlussunnah
Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr, dalam http://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-wal-jama%E2%80%99ah-sebagai-manhajul-fikr/
[1], FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar
Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul
Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[2] Badrun
Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2000, cet. 1, hlm. 33
[3] Abi
al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah,
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[4] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010,
cet. 1, hlm. 107
[5] Sahilun
A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet. 1, hlm. 190
http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Selasa, 8 Januari 2014
[7] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, 2000, cet. 4,
hlm. 282-84 . Dalam karyanya Imam Asy’ari menegaskan bahwa usaha seorang hamba
itu diciptakan oleh Allah. Baca Imam al-Asy’ari, al-Luma’ fi aal-Raddi Ala
Ahl al-Ziaghi wa al-Bida’i, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000 M./
1421 H., cet. 1, hlm. 43
[9] Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr, dalam http://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-wal-jama%E2%80%99ah-sebagai-manhajul-fikr/ diakses 8 Januari 2014
[10] Yusuf Hasyim, Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji dalam http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/ di akses Selasa, 8 Januari 2014