Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Oktober 2016

Pengertian, Macam-macam, beserta contoh Cara THAHARAH (BERSUCI)

THAHARAH


Thaharah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT. Di dunia ini mengemban dua hal dalam tujuan penciptaannya. Yakni sebagai hamba Allah yang di “taklif” untuk beribadah sekaligus sebagai Khalifah untuk mengatur bumi.
Berkaitan dengan ibadah, manusia diberikan tuntunan dan aturan yang harus dipenuhi sebagai sarana penentu keabsahan semua rangkaian ibadah sehingga ibadah menjadi diterima secara syar’i. Begiatu juga dengan sholat dan serangkaian ibadah yang mengharuskan bersuci maka tak lepas dari bagaimana aturan bersuci yang benar. Bersuci yang asalnya Jawaz dalam hal ini menjadi wajib karena terkena aturan sebagaimana bunyi kaidah fiqh berbunyi “Ma la Yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib”(sesuatu yang menjadi kesempurnaanya sebuah kewajiban maka sesuatu itu menjadi wajib pula).
Disini penulis mencoba menyajikan tulisan yang sedikit mengupas tentang bagaimana cara bersuci serta macam-macamnya sebagai salah satu sumbangsih khazanah keilmuan semoga bermanfaat. Amiin.

B.    Rumusan Masalah.
Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan d kaji diantaranya:
1.    apa pengertian Toharoh?
2.    Apa saja diantara macam-macam thoharoh?
3.    Bagaimana caranya thoharoh?

C.    Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1.      Untuk mengetahui konsep dasar tentang thoharoh.
2.      Untuk mengetahui macam-macam thoharoh.
3.      Untuk memahami cara melakukan thoharoh

Adapun kegunaannya adalah:
1.         Menambah wawasan dan sebagai bahan bacaan.
2.         Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fiqh





BAB II
PEMBAHASAN
THAHARAH (BERSUCI)



A.    HAKIKAT THAHARAH (BERSUCI)

 

Thaharah (bersuci) menurut bahasa berarti bersih  dan membersihkan diri dari kotoran yang bersifat hissiy (indrawi)  seperti najis serta kotoran yang ma’nawi seperti cacat atau aib . Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bersih memiliki beberapa makna, antara lain:
1)    Bebas dari kotoran
2)    Bening tidak keruh (tt air), tidak berawan (tt langit)
3)    Tidak tercemar (terkena kotoran
4)    Tidak bernoda; suci
5)    Tidak dicampur dng unsur atau zat lain; asli.
Jadi, bersih yang dimaksud disini adalah suatu keadaan dimana sesuatu terbebas dari segala hal yang membuatnya tampak tidak baik dan bersifat merusak pandangan.selain itu, kebersihan juga merupakan ciri muslim yang cukup menonjol dimana telah ditegaskan dalam sebuah maqolah bahwa “kebersihan merupakan sebagian dari iman” . Maka dari itu, hal kebersihan ini cukup menjadi perhatian di kalangan umat Islam.
Pada dasarnya,thaharah tidak selalu diidentikkan dengan kebersihan karena ada perbedaan diantara keduanya. Meskipun sama-sama bertujuan untuk menjaga kebersihan namun thaharah sendiri mengandung nilai ibadah bagi yang menjalankannnya. Nilai ibadah inilah yang kemudian menjadikan thaharah sebagai nilai lebih yang dimiliki umat Islam.
Adapun menurut syara’, thaharah adalah sesuatu yang dihitung sunnah untuk melaksanakan sholat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis.  Thaharah atau bersuci dalam pandangan Islam tidak hanya menyangkut masalah bersih atau kotor, namun lebih kepada tujuan sahnya sebuah ibadah.

Tanpa adanya ritual bersuci yang sesuai, mustahil akan terwujud ibadah yang sah. Karena salah satu syarat sahnya semua ibadah adalah kondisi suci yang apabila tidak terpenuhi maka akan berakhir dengan kesia-siaan.


B.    MACAM-MACAM THAHARAH

 

Beberapa macam thaharah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu wudlu, mandi dan tayammum. Untuk perinciannya akan kami bahas lebih lanjut sebagai bertikut:

1.    Wudlu

Wudlu menurut bahasaya itu sebutan untuk pembersihan sebagian anggota badan . Adapun menurut syara’, wudlu adalah sebutan untuk pembersihan bagian-bagian tertentu dengan niat yang tertentu . Hukum wudlu ada dua, wajib bagi orang yang hadats  dan sunnah bagi orang yang memperbarui wudlu baik setelah shalat ataupun setelah mandi wajib, serta ketika orang yang junub hendak melakukan makan, tidur atau wathi dan lain sebagainya . Beberapa komponen wudlu antara lain:

a.    Fardlu wudlu

Fardlu wudlu ada 6 yaitu:
1.    Niat
2.    Membasuh wajah
3.    Membasuh kedua tangan beserta dua siku
4.    Mengusap sebagian kepala
5.    Membasuh dua kaki sampai mata kaki
6.    Tertib .


b.    Syarat wudlu

Syarat wudlu yaitu hal-hal yang harus terpenuhi sebelum melaksanakan wudlu. Sayyid Ahmad telah mengemukakan beberapa syarat wudlu seperti:
(1)    Islam
(2)    Cerdas; tidak bodoh atau gila
(3)    Suci dari haidl dan nifas
(4)    Bersih dari hal-hal yang menghalangi atau mencegah mengalirnya air sampai kekulit
(5)    Anggota wudlu tidak mengandung hal yang dapat merubah sifat air
(6)    Mengerti kefardluan wudlu
(7)    Tidak meyakini bahwa fardlu wudlu adalah sunnah
(8)    Air yang suci
(9)    Menghilangkan najis yang terlihat
(10)    Mengalirkan air di seluruh anggota wudlu .

c.    Sunnah wudlu

Sunnah wudlu merupakan hal yang ketika dilakukan pada saat wudlu dan mendapat pahala serta tidak berdosa jika ditinggalkan. Diantaranya yaitu:
(a)    Bersiwak
(b)    Membaca Basmalah
(c)    Membasuh kedua telapak tangan
(d)    Berkumur
(e)    Menghisap dan menyemprotkan air dari lubang hidung
(f)    Mengulangi rukun sebanyak tiga kali;
(g)    Mengusap seluruh kepala

d.    Hal-hal yang membatalkan wudlu

Beberapa hal yang dapat merusak wudlu diantaranya yaitu:
1.    Segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur kecuali mani;
2.    Hilangnya akal kecuali sebab tidur yang tetap duduknya;
3.    Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan berlainan;
4.    Menyentuh qubul atau lubang dubur dengan telapak tangan atau ujung jari bagian dalam.

2.    Mandi (Al Ghusl)

Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air ke segala sesuatu baik badan, pakaian dan sebagainya tanpa diiringi dengan niat. Sedangkan menurut syara’ mandi yaitu mengalirkan air ke seluruh anggota badan denagn niat tertentu.
Dalam islam, mandi atau Al Ghusl memiliki posisi yang cukup urgen. Hal ini  mengingat mandi bertujuan untuk menghilangkan hadats atau kotoran yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan wudlu. Namun mandi yang dimaksud disini tentunya memiliki karakteristik serta aturan yang berbeda dari mandi yang hanya untuk membersihkan badan dari kotoran yang melekat di tubuh. Berikut beberapa hal yang menyangkut mandi dalam Islam:

a.    Hal yang mewajibkan mandi

1.    Bertemunya dua kemaluan
2.    Keluarnya mani
3.    Haidl
4.    Nifas
5.    Wiladah
6.    Meninggal dunia

b.    Fardlu mandi

Fardlu mandi ada tiga yaitu niat, membersihkan najis yang ada di seluruh tubuh serta mengalirkan air hingga mengenai seluruh anggota tubuh.

c.    Sunnah mandi

Beberapa sunnah mandi yang dianjurkan adalah lima perkara, yaitu:
1.    Membaca basmalah
2.    Berwudlu sebelum melakukan mandi
3.    Menggosok-gosokkan tangan pada tubuh
4.    Berturut-turut
5.    Mendahulukan anggota sebelah kanan

d.    Syarat mandi (Al Ghusl)

Adapun syarat mandi adalah sebagaimana syarat melaksanakan wudlu.

e.    Mandi-mandi yang disunnahkan

Beberapa mandi yang disunnahkan dalam Islam adalah mandi jum’at, mandi dua hari raya , mandi dua gerhana , mandi karena islamnya orang kafir serta mandi karena sembuhnya orang gila dan orang yang berpenyakit ayan.

3.    Tayammum

Menurut bahasa, tayammum adalah menyengaja (القصد). Sedangkan menurut ishtilah yaitu mengusapkan debu pada wajah dan kedua tangan dengan niat tertentu. Tayammum yaitu sebuah ritual penyucian diri dari hadats dengan menggunakan debu sebagai pengganti air dikarenakan beberapa sebab atau hal tertentu.

Sebab-sebab tayammum terbagi menjadi dua kategori. Pertama yaitu tayammum yang wajib mengulangi sholat yang telah dilakukan seperti tayammum karena tidak adanya air di tempat yang biasanya terdapat air melimpah, lupa meletakkan air, hilangnya air dari tempatnya dan sebagainya . Kedua yaitu dimana tidak diwajibkan untuk mengulangi sholat yang telah dilakuakan seperti tayammum karena tidak ada air di tempat yang sudah biasa tidak ada airnya dan kebutuhan akan air tersebut untuk diminum atau dijual untuk memenuhi kebutuhan, tidak adanya air kecuali dengan harga tertentu dan tidak ada uang untuk membeli atau akan dipergunakan untuk kebutuhan lain .

Fardlu tayammum ada lima yaitu memindahkan debu dari tanah atau udara kebagian yang diusap, niat, mengusap wajah, mengusap dua tangan hingga kedua siku dan tertib. Beberapa Sunnah tayammum yaitu bersiwak, membaca basmalah, mendahulukan anggota kanan, berturut-turut, menipiskan debu pada telapak tangan.

Hal hal yang membatalkan tayammum diantaranya yaitu hadats, murtad, mengira telah ada air di luar sholat, mengerti tentang keberadaan air, mampu untuk membeli air dan sebagainya.

C.    DASAR HUKUM THAHARAH

Beberapa dalil hukum thaharah dalam al quran dan hadits adalah sebagai berikut:
Surat Al Maidah ayat 6 tentang wudlu, mandi dan tayammum:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
   
Surat An Nisa’ ayat 43 tentang mandi dan tayammum:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(4:43).




BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Thaharah (bersuci) menurut bahasa berarti bersih dan membersihkan diri dari kotoran yang bersifat hissiy (indrawi)  seperti najis serta kotoran yang ma’nawi seperti cacat atau aib. Sedangkan menurut syara’, thaharah adalah sesuatu yang dihitung sunnah untuk melaksanakan sholat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis.
Beberapa macam thaharah yaitu wudlu untuk menghilangkan hadats kecil,  mandi untuk menghilangkan hadats besar serta tayammum untukj menggantikan wudlu dalam keadaan tertentu. Thaharah pada dasarnya adalah sebuah ibadah yang mencakup seluruh ibadah lainnya. Tanpa adanya thaharah mustahil akan terwujud ibadah yang sah karena ibadah yang dilakukan seorang hamba haruslah dalam keadaan yang suci untuk mencapai kesempurnaan.

B.    KATA PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al quran Al Karim
Al Ghaziy, Muhammad bin Qasim, Fath Al qarib, (Indonesia: Daar Al Ihya’ Al Kutub Al ‘Arabiyah)
Al Anshariy, Syaikh Al Islam Zakariya, Tuhfat Al Thullab, (Surabaya: Maktabah Al Hidayah)
Al Syathiriy , Sayyid Ahmad ibn Umar, Al Yaqut Al Nafis, Al Haramain
http://alimpolos.blogspot.com/

Selasa, 04 Oktober 2016

Guru Sejati dan Revolusioner






Selamat Hari Guru

Kumpulan Artikel Tentang Guru

Guru Sejati dan Revolusioner

Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.

Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati adalah meraka yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa di sekolah.

era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan guru salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif, inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.


Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru aspal. Karena apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada beberapa cara, antara lain:

Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS atau GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah.

Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru harus memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar materi bahasa Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, dan sebagainya.

Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak pendidikan di negara ini.

Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan bersikp disiplin kalau gurunya tidak.

Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.

Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).

Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.

Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana menurut Anda?

Keterangan:
Tulisan ini terinspirasi dari Artikel berjudul “Guru Revolusioner”, karya Dian Marta Wijayanti (Suara Merdeka edisi 19/10/2013)
Oleh :Arif Luqman Nadhirin
Kendal, 19 Oktober 2013 M

Minggu, 02 Oktober 2016

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.

Sahabat Nabi Memperjuangkan Agama Islam

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.

Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Baca Juga Hukum Peringatan Maulid Nabi

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI; 

 
ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

Pengantar Kuliah Metodologi Studi Islam[1]

N. Kholis, M.S.I.



A. Pendahuluan

Islam itu “subjek” atau “objek”? Pertanyaan tersebut terkesan sederhana namun rumit jika diuraikan, lebih-lebih jika dalam kajian akademik. Secara sederhana, Islam sebagai subjek mengandaikan semua norma di dalamnya “mendikte” kehidupan manusia tanpa reserve. Sementara Islam sebagai objek menjadikannya sebagai “yang terdikte” oleh kehidupan manusia. Perdebatan inilah yang kemudian mendasari bentuk pendekatan yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan normatif (doktrinal-teologis) dan pendekatan historis (multi/interdisipliner).[2]

Muhammad Arkoun memandang Islam terbagi ke dalam dua ruang lingkup pemikiran; “yang tak terpikirkan” (the unthinkable) dan “yang terpikirkan” (the thinkable). Kedua konsep tersebut pada mulanya merupakan sesuatu yang historis, bukan filosofis. Domain perspektif dari masing-masing berubah melalui sejarah dan relasi antarkelompok sosial. Sebelum konsep sunnah dan ushul menjadi sistematis digunakan oleh al-Syafii, beberapa aspek pemikiran Islam masih mungkin “terpikirkan”. Aspek-aspek tersebut menjadi “tak terpikirkan” setelah keberasilan teori al-Syafii dan juga elaborasi tentang “koleksi” autentik tentang sumber ajaran Islam (al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyash). Demikan pula, problem-problem yang terkait dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an dalam sebuah mushaf yang resmi menjadi lebih “tak terpikirkan” di bawah tekanan resmi khalifah Islam karena al-Qur’an sudah digunakan sejak permulaan Islam untuk melegitimasi kekuasaan politik dan demi menyatukan umat.[3]

Dinamika kajian Islam terbentuk (dan terbelah) oleh dialektika antara wahyu dan rasio. Perjumpaan keduanya mendorong berkembangnya tradisi pemikiran dalam studi Islam. Sejarah pemikiran Islam secara umum kemudian diwarnai oleh dua kelompok aliran besar. Kelompok pertama dikenal dengan ahl al-hadis (mereka yang mengedepankan hadis Nabi dalam memahami al-Qur’an), sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahl al-ra’y (mereka yang mengedepankan rasio sebagai “panglima” dalam memahami al-Qur’an). Kelompok pertama tidak memberikan peluang adanya intervensi akal/ rasio dalam memahami otoritas wahyu, sedangkan kelompok kedua mendukungnya. Begitu pula dalam menyikapi perkembangan jaman. Kelompok ahl al-hadis cenderung lebih mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan accomodatif thinking; bahwa makna yang tersurat dalam teks suci adalah final, sakral, permanen dan tidak dapat diubah. Sedangkan kelompok ahl al-ra’y bersikap negosiatif antara dasar agama (teks) dan keadaan (konteks).[4]

Oleh karena itu, ketika seseorang mengkaji Islam, pertama hal yang harus diketahui adalah bagaimana atau di mana Islam itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab, selain Islam bersifat transendental, dirinya juga mempunyai sisi yang bersifat manusiawi dan historis. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Islam. Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana “cara” mendekati objek tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian cara ini nantinya akan memengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif ataukah ideologis, rasional ataukah emosional. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak, dan seterusnya.

Pada makalah “pembuka” perkuliahan ini, beberapa pendekatan studi diperbincangkan bukan untuk menjawab “bagaimana melakukannya”, apalagi masing-masing dikonfrontasikan untuk menentukan pendekatan mana yang “terbaik”. Akan tetapi, kajian lebih diarahkan pada “apa” yang dapat diterapkan dalam kaitannya dengan studi Islam. Tentu saja, Islam di sini telah diposisikan sebagai “objek studi”, bukan sebagai “subjek studi”.


B. Studi Islam; Studi Agama atau Studi Keagamaan?


Islam sebagai objek studi dan penelitian sudah lama diperdebatkan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan harus menggunakan metode khusus yang berbeda dari metode ilmu sosial. Pendapat ini juga beralasan bahwa agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa Islam memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[5]

Menurut Harun Nasution,[6] agama mengandung dua tahapan ajaran pokok. Tahapan pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasulnya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran yang terdapat dalam kitab suci tersebut memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama kemudian membentuk ajaran agama pada tahapan kedua. Ajaran dasar agama merupakan wahyu Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, dan oleh karenanya ia tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Dengan demikian, para ilmuwan kemudian beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosio-kultural. Sehingga, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan realitas sosio-kultural tertentu. Dengan demikian pula, kedudukan studi dan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lain, karena yang membedakannya hanyalah objek kajian yang diteliti. Agama dalam pengertian yang kedua (yakni keberagamaan) dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.

Selanjutnya, sebagaimana disimpulknan Atang Abd. Hakim, agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “pengetahuan dan pemikiran manusia” merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu, ia termasuk objek penelitian filsafat atau kebudayaan. Sedangkan agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “tindakan dan sikap manusia” merupakan produk interaksi sosial. Oleh karenanya, ia merupakan bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah.[7]

Menurut Atho mudzhar,[8] bahwa sampai sekarang istilah penelitian agama dan penelitian keagamaan belum mendapatkan batasan yang tegas. Penggunaan yang pertama sering digunakan mencakup yang kedua, atau sebaliknya. Atas hal ini, Atho membedakan penelitian agama (research on religion) dengan penelitian keagamaan (religious research). Penelitian agama lebih mengutamakan pada materi agama, sehingga sasarannya terletak pada tiga elemen pokok, yaitu ritus, mitos dan magik. Sedangkan penelitian keagamaan lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system) yang tampak pada gejala-gejala dan interaksi sosial. Perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang digunakan.

Sejalan dengan Atho Mudzhar, Juhaya S. Praja[9] membedakan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Baginya, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya, sehingga melahirkan ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, filsafat Islam, kalam, dan tasawuf. Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual maupun kolektif.

C. Pengertian dan Perkembangan Studi Islam


Studi Islam atau di Barat dikenal dengan sistilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai “usaha mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.” Dengan perkataan lain, studi Islam adalah “usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik yang berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.”[10]

Sejatinya, urgensi studi Islam adalah untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan dirinya sebagai rahmatan li al-alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.[11] Itu sebabnya, studi Islam selalu berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat sepanjang jaman.

Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya berbeda tujuan dan motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (islamologi). Namun sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Syafii Maarif[12] membagi babakan studi Islam dalam empat dimensi waktu; klasik, pra-modern, modern, neo-modern. Sedangkan babakan pasca–modern, menurutnya, belum banyak bisa dijelaskan karena terbatasnya karya-karya besar yang dilahirkan.

Studi Islam yang paling kaya adalah studi Islam klasik yang telah membuahkan karya-karya besar dalam filsafat, sastra, tasawuf, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, dan sejarah. Periode prodiktif ini berlangsung sekitar enam abad (abad 9-16 M). Secara intelektual, periode ini tidak sunyi dari polemik, benturan pendapat dan sengketa teologis. Bahkan, dalam periode ini telah tercipta suasana saling mengkafirkan.

Kemudian, antara abad ke-15 sampai dengan abad ke-17 adalah perode yang hampir kosong dari karya-karya kreatif dalam studi Islam. Periode ini ditandai dengan munculnya kekuatan Barat dalam politik, militer dan ilmu pengetahuan. Barat yang pernah dikuasai Islam pada abad-abad sebelumnya mulai menyusun kekuatan dan kemudian berhasil menguasai hampir seluruh dunia Islam yang sedang jatuh. Inilah masa pertengahan. Proses penghancuran ini baru berakhir pada pertengahan abad ke-20 dan melalui proses yang sangat melelahkan.

Di tengah-tengah maraknya imperialisme modern, pada abad ke-18 muncul dua tokoh muslim dengan pemikiran radikalnya. Kedua tokoh itu adalah Muhammad Ibn Abd Al-Wahab (1703-1792) dan Shah Wali Allah (1702-1762). Yang pertama bergerak di Arab dalam perjuangan memurnikan tauhid. Dengan keasadaran sejarah yang lemah, tokoh ini telah menghancurkan tempat-tempat bersejarah di Arab yang sangat berharga. Abd al-Wahab dalam dimensi tauhid mengikuti tokoh jaman klasik, Ibn Taymiyah (1263-1328), sekalipun yang terakhir ini memiliki visi keislaman yang lebih luas dari yang pertama.

Sementara Shah Wali Allah, menurut Maarif, muncul di India pada saat kekuasaan Islam di sana mulai dijajah Inggris. Berbeda dengan Abd al-Wahab, Shah Wali Allah mempunyai visi keislaman yang lebih komprehensif sebagaimana al-Ghazali (1058-1111) yang berusaha menyatukan sufisme dan syariah. Dalam peta pemikiran Islam, Abd al-Wahab dan Shah Wali Allah biasa dikategorikan sebagai wakil dari periode pra-modern.

Periode modern dalam kajian Islam ditandai oleh munculnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1897), Jamal al-Din al-Afghani (1897-1939), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Iqbal (1877-1938).

Selanjutnya, studi Islam semakin menemukan variannya setelah bersentuhan dengan beragamnya pendekatan kajian, terutama melalui pendekatan multi/interdisipliner di Barat pada abad ke-19 oleh para orientalis. Akan tetapi, sebagaimana dikutip Ahwan Fanani, Bernard Lewis menilai studi tentang Timur Tengah miskin perspektif. Lewis mencatat dua dorongan orang Barat untuk mengkaji Islam. Pertama, belajar lebih banyak warisan klasik yang terpelihara dalam terjemahan dan komentar berbahasa Arab. Kedua, menyokong polemik orang terpelajar Kristen melawan Islam.

Seiring dengan munculnya renaissans, muncullah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing, khusunya fililogi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang meningkatkan volume perjalanan ke dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi Alkitab dan Semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagi alat yang bermanfaat.[13]

Untuk menggambarkan adanya prasangka agama dan politik dalam studi keislaman oleh Barat, Edward W. Said berpendapat bahwa studi ketimuran (Islam) yang mereka lakukan merupakan disiplin keilmuan yang secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara Timur dan Barat. dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan superioritas Barat atas budaya asing. Media Barat juga sering memproyeksikan dunia Arab, yang kebanyakan penduduknya Muslim, sebagai manusia terbelakang, irasional, dan penuh nafsu birahi.[14] Pendapat Said ini menuai kritik Barat karena dianggap melakukan interpretasi yang bersifat etnosentris dan terkesan dipolitisir yang melebihi target kritiknya sendiri.

Terlepas dari polemik orientalisme Said, seiring pesatnya perkembangan studi Islam ini, diharapkan para sejarawan, ahli ilmu-ilmu sosial, dan agamawan agar saling memanfaatkan satu sama lain untuk mendapatkan validitas kajian yang memadai. Studi multi disiplin perlu difokuskan pada materi, adaptasi kreatif, dan penerapan metode pada masing-masing bidang tertentu dalam data agama. Kurangnya pengetahuan akan bahasa, sejarah, dan sejarah kebudayaan Islam yang dikaji akan membawa peneliti pada suatu permainan analisis dengan sejumlah data yang dangkal. Sehingga, metode penelitian harus selalu diperbaiki dan disesuaikan dengan data yang ada.[15]

D. Metodologi; Antara Metode dan Pendekatan


Studi Islam, sebagaimana studi yang lain pada umumnya, tidak jarang tersandung persoalan pemahaman mengenai “cara” yang dipakai. Tumpang tindihnya pemaknaan dan penggunaan istilah metodologi, metode, dan pendekatan tampak mewarnai studi ini. Akibatnya, kerumitan kajian harus ditambah dengan persoalan silang-sengkarutnya langkah-langkah studi.

Metodologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani meta, hetodos, dan logos. Meta berarati “menuju, melalui, mengikuti”, sedangkan hetodos berarti “jalan” atau “cara”. Maka, kata methodos (metode) berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maka maknanya akan berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekadar kumpulan cara yang sudah diterima (well recieved), akan tetapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan. Sebaliknya, dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksikan cara kerja suatu ilmu. Itulah makanya, metodologi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.[16]

Adapun antara metode dan pendekatan (approach), perbedaan keduanya memang sangat tipis. Metode merupakan cara mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Sementara pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu (a way of dealing with something). Perbedaan pada keduanya hanya terletak pada perlakuan atas objek. Metode cenderung menganggap objek sebagai entitas pasif, sedangkan pendekatan cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang aktif. Ketika seseorang ingin mengkaji Islam dan menganggapnya sebagai sebuah entitas yang aktif dan dinamis, maka sesungguhnya ia sedang melakukan pendekatan atas Islam. Namun, bila ia memperlakukan Islam sebagai objek yang statis, maka ia sedang menggunakan suatu metode terhadap Islam.[17]

Dengan demikian, istilah metodologi memiliki cakupan lebih luas karena kapasitasnya yang memuat pergerakan metode dan pendekatan sekaligus. Bahwa baik metode maupun pendekatan membutuhkan pemikiran yang matang untuk merancangnya, dan inilah yang menjadi ruang gerak metodologi. Sungguhpun demikian, khususnya dalam penggunaan istilah metodologi dan pendekatan, para ilmuwan kerapkali menganggapnya identik dengan penggunaan yang silih berganti untuk maksud yang sama. Sebagian ilmuwan ada yang menjadikan istilah metodologi untuk merancang model pendekatan yang dipilihnya, sementara sebagian yang lain mengangap pendekatanlah yang menuntun metodologi.

E. Ragam Metode dan Pendekatan dalam Metodologi Studi Islam


Sebagaimana disebutkan dalam perkembangannya, Studi Islam sudah terjadi sejak Islam itu sendiri datang di bumi. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan yang beragam. Meskipun dengan tujuan yang sama, yakni mengamalkan ajaran Islam, namun cara atau pendekatannya juga berbeda pula. Apalagi jika tujuannya berbeda, seperti bagi mereka yang bertujuan “sekadar” untuk mempelajari semata.

Menurut Qodri Azizy,[18] pendekatan dalam studi Islam dapat dikelompokkan pada beberapa jenis, yaitu:

Pertama, ngaji. Pendekatan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjalankan atau mempraktikkan ajaran Islam. Metodenya meliputi cara-cara yang sederhana dan tanpa melakukan kajian kritis. Apa yang disampaikan oleh guru ngaji (ustadz atau ulama) diterima apa adanya oleh murid yang sekaligus berusaha mengamalkannya. Peran pengajar besar sekali, karena hampir tidak pernah menerima kritik. Karena tujuannya demikian, maka yang melakukan studi Islam seperti ini bisa dipastikan beragama Islam yang memang ingin mempraktikkan ajaran Islam. Demikian pula, gurunya harus orang Islam yang bukan hanya menjadi pengajar tapi bahkan sekaligus sebagai suritauladan (role model).

Kedua, islamologi. Ini kebalikan dari yang pertama, karena menjadikan Islam sebagai pengetahuan, bukan ajaran yang diamalkan. Bahkan dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan untuk tujuan-tujuan yang negatif seperti yang pernah terjadi pada sejarah perkembangan awal orientalisme. Karena tujuannya demikian, maka baik yang belajar maupun yang mengajar tidak musti beragama Islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang anti terhadap Islam. Praktik studi semacam ini terjadi di negara-negara Barat, terutama sekali pada masa lalu sebelum era studi Islam secara akademik bermunculan.

Setelah studi Islam bermunculan secara akademik, yang tidak secara langsung mendiskreditkan Islam, hasilnya bisa bermanfaat bagi umat Islam sendiri terutama dalam perkembangan keilmuan Islam itu sendiri. Dalam kajian akademik ini, perkembangan berikutnya mereka melakukan studi Islam dengan beberapa pendekatan utama yang meliputi empat hal; (1) social sciences, (2) humanities, (3) divinity schools, dan (4) area studies. Artinya, orang dapat melakukan studi Islam di salah satu fakultas atau devisi dari keempat hal tersebut, dan dinobatkan sebagai islamicist (ahli Islam). Dari cara tersebut, di samping menyimpan keuntungan bagi Islam, tidak menutup kemungkinan dari mereka masih menyimpan bias masa lalu.

Ketiga, apologis. Ada masa sekaligus karakter di mana studi Islam dilakukan dalam rangka merespon model studi Islam nomor dua di atas (islamologi), terutama yang jelas-jelas mendiskreditkan Islam. Model ini banyak dilakukan oleh kelompom modernis, termasuk tidak sedikit yang berpendidikan Barat itu sendiri.

Keempat, islamization of knowledge. Pendekatan ini juga merupakan respon terhadap perkembangan keilmuan Barat. Ia bermaksud agar ilmu-ilmu sekuler dalam studi Islam mempunyai akar dan landasan tauhid. Respon ini lebih didasarkan pada kesadaran terhadap realitas keilmuan yang dianggap sekuler, bukan pada prasangka atas pendekatan sebelumnya. Biasanya, dalam trend ini, tidak dipisahkan lagi antara ilmu agama (ilmu Islam) dengan ilmu umum (sekuler). Sehingga, sasarannya adalah social sciences, humanities, dan natural sciences. Sebenarnya, dalam tinjauan Azizy, diskusi apakah setiap ilmu harus didasarkan pada al-Qur’an (agama) atau tidak, pada dasarnya telah dilakukan sebelumnya oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, yang menurutnya harus. Demikian pula al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an juga membahas ini.

Kelima, studi Islam klasik. Model kajian yang dilakukan oleh al-Ghazali, al-Razi, al-Suyuthi, dan al-Mawardi merupakan contoh studi Islam ini. Maksudnya, mereka melakukan studi Islam secara kritis dan realistis, namun sasaran akhirnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Disebut kritis dan realistis karena terbukti kontekstual pada masa itu, bahkan terkesan empiris.

Selain penjelasan lima model pendekatan Azizy di atas, peta pendekatan studi Islam dapat dilihat dari ragam model studi berikut ini.

Model pertama, pendekatan filsafat. Menurut Amin Abdullah,[19] dalam suatu agama mempunyai dua unsur, yaitu unsur sakralitas (taqdis al-afkar al-diniyyah) dan unsur profan (mu’amalah ma’a al-nas). Kedua unsur tersebut, jika dikaitkan dengan studi Islam, maka al-Qur’an dan hadis merupakan unsur yang pertama. Adapun selain kedua hal tersebut, dapat disebut unsur profan. Pada dasarnya pendekatan filsafat ini memiliki sifat keilmuan, inklusif, dan terbuka. Oleh karena itu, tepat jika menjadikan filsafat sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam. Dalam pandangan Abdullah, filsafat sebagai metodologi keilmuan ditandai tiga ciri: (1) pendekatan kajian atau telaah filsafat selalu terarah pada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan yang bersifat mendasar (fundamental ideas) dalam berbagai persoalan; (2) pengenalan dan pendalaman persoalan serta isu-isu fundamental dapat membentuk cara berfikir kritis (critical thought); (3) kajian dan pendekatan filsafat yang bersifat demikian, secara otomatis akan membentuk mentalitas, cara berfikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.

Model kedua adalah pendekatan sosiologis-historis. Menurut Atho Mudzhar,[20] sosiologi dapat digunakan dalam studi Islam dengan mengambil beberapa tema: (1) studi pengaruh agama terhadap masyarakat; (2) studi pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran Islam atau konsep Islam; (3) studi tentang tingkat pengalaman keislaman masyarakat; (4) studi pola interaksi sosial masyarakat muslim; (5) studi gerakan masyarakat yang membawa paham yang menunjang atau melemahkan kehidupan beragama dalam Islam. Pendekatan ini, menurutnya, juga relevan digunakan dalam studi hukum Islam mengingat hukum Islam itu sendiri merupakan bagian dari gejala sosial yang menyejarah.

Sejalan dengan Mudzhar, Minhaji juga menjadikan pendekatan sosial dan sejarah dalam studi Islam. Bahkan, pendekatan sejarah ini juga bisa diterapkan dalam kajian hukum Islam dan ushul fiqh. Karena menurutnya, ushul fiqh selama ini cenderung menggunakan pendekatan doktriner-normatif-deduktif yang sekaligus mengabaikan sejarah. Dengan menerapkan metode sejarah dalam ushul fiqh, maka diharapkan pada saat bersamaan dapat menemukan hukum Islam yang mampu menjawab persoalan kekinian.

Model ketiga adalah pendekatan interdisipliner. Maksudnya, pendekatan interdisipliner ini meniscayakan penggunaan pendekatan studi Islam ‘ala Barat untuk dijadikan sebagai “alat bantu” dalam mengkaji kelimuan Islam. Meskipun di saat bersamaan, sebagaimana dikutip Kamaruzzaman, Fazlurrahman mengelompokkan orientalis Barat sebagai orang luar (out sider) dan ilmuwan Islam sebagai orang dalam (insider).[21] Dalam analisis Minhaji, para outsider ini sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok traditionalist yang mendasarkan kajiannya pada apa yang ditulis oleh orang Arab Muslim, terutama pada era klasik, dan kelompok revisionist yang memandang bahwa Islam sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum, melainkan hasil peniruan dari agama-agama sebelumnya.[22]

Namun demikian, bagi Kamaruzzaman, yang paling urgen untuk dikuasai oleh calon peneliti dalam studi Islam adalah penguasaan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu kalam (teologi Islam), tasawuf (sufisme), dan ilmu fiqh beserta ushul fiqh-nya. Pendekatan dalam metode-metode di atas hanya dapat digunakan sebagai alat bantu. Dicontohkannya, ketika seseorang hendak meneliti pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam di sebuah Pengadilan Agama, maka yang mendasar harus dikuasainya adalah hakikat, sejarah, tokoh-tokoh, dan alur pemikiran hukum Islam dalam lintasan sejarah. Kemudian baru menggunakan model-model pendekatan di atas sebagai pisau analisisnya. Alasannya, jika terjadi ketimpangan, misalnya seorang peneliti cenderung menguasai metodologi namun miskin ilmu dasar, maka hasil penelitiannya “cacat” secara kualitas. Hal ini karena, ilmu dasar adalah modal penentu, sedangkan pendekatan adalah model dari penelitian yang akan dilakukan.[23]

F. Penutup

Studi Islam dengan berbagai pendekatannya akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia dan dinamika jaman. Satu pendekatan meniscayakan pendekatan berikutnya. Islam pun tidak pernah baku sebagaimana tidak pernah bakunya pemikiran manusia. Hal ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama senantiasa berjalan di atas jalan akal, termasuk Islam yang bersumber dari wahyu sekalipun. Dengan demikian, menjadikan Islam sebagai objek studi bukan hanya layak dilakukan, tetapi harus dikembangkan.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
_______________, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Azizy, Qadri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Depag RI, 2003.
Bustaman, Kamaruzzaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Fanani, Ahwan, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Maarif, Syafii, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Minhaji, Akh., Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mochtar, Affandi (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996.
Nanji, Azim (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Qurtuby, Sumanto, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999.
Said, Edward, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, Bandung: Mizan, 1996.
S. Praja, Juhaya, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, Bandung: Sulita, 2003.




[1] Disampaikan dalam perkuliahan pengantar “Metodologi Studi Islam” Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara, semester genap 2014/2015.
[2] Perdebatan antara pendekatan normatif dan pendekatan historis merupakan peristiwa sejarah pemikiran yang berlangsung sampai sekarang. Di tengah hirup-pikuk perdebatan itu, Amin Abdullah mencoba “mendamaikan”nya dengan pendekatan “interkonektifitas”. Pendekatan interkonektifitas diandaikan membuat keduanya (normatifitas dan historisitas) saling mengisi dan menguatkan, bukan saling melemahkan. Selengkapnya lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[3] Mohammed Arkoun, “Memikirkan Kembali Islam Saat Ini”, dalam Azim Nanji (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 339.
[4] Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. v.
[5]Affandi Mochtar (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, (Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996), hlm. 34.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.7
[7]Atang abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 58.
[8]M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 35.
[9]Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, (Bandung: Sulita, 2003), hlm. 31.
[10] Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.1.
[11] Ibid., hlm. 8.
[12] Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 34-36.
[13] Ahwan Fanani, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 252.
[14] Edward Said, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 9.
[15] Ahwan Fanani, Op. Cit., hlm.254.
[16]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. ix.
[17] Ibid., hlm. Xxiii.
[18] Lihat Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm.30-36.
[19]M. Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 7-8)
[20] M. Atho Mudzhar, Op. Cit., hlm. 24-27.
[21] Kamaruzzaman Bustaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), Hlm.13.
[22]Diskusi menarik tentang hal ini dapat dilihat dalam Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 212-256.
[23] Kamaruzzaman Bustaman, Op. Cit., hlm. 18.

Hukum Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Hukum Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 

 

Hukum perayaan maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya


Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW


1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:
Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).
Hikmah Hadits diatas:
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti  telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.


2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

    “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3.  Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:
 “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Faedah Hadits:
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.



4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

 “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”.  (HR Muslim)


Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.

Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.


Fatwa Beberapa Ulama Tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW


1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
 2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:
Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.

Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”[1].



Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Semua itu hanya fatwa memihak pada nafsu belaka.


[1] al-Ajwibah al-Mardliyyah, j. 3, h. 1116-1120

PRA PERSIDANGAN

PRA PERSIDANGAN

TUNTUTAN HAK

 

A. TUNTUTAN HAK

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri).
Untuk mencegah agar tidak setiap orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan (karena pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak), maka hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.
Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa: point d’interet, point d’action. Meskipun demikian bukan berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan, karena masih tergantung pada pembuktian.
Jika tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan.
Tuntutan hak di dalam Pasal 118 ayat (1) HIR disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.
Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan (Pasal 118 ayat (1) dan 120 HIR).
Syarat isi gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8 no.3 Rv yang mengharuskan gugatan pada pokoknya harus memuat:
1. Identitas dari pada pihak.
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van deneis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi.
3. Tuntutan atau petitum.
Ad. 1. Identitas adalah ciri-ciri Penggugat dan Tergugat, yaitu nama serta tempat tinggalnya.
Ad. 2. Fundamentum petendi terdiri atas 2  bagian, yaitu: (1) bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa, dan (2) bagian yang menguraikan tentang hukum.
Ad. 3. Petitum (tuntutan) ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam diktum atau amar putusan. Penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie).

B. ISI GUGATAN / PERMOHONAN

              Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
  1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
  2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
  3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.



Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.

 C. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis


Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.

Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.      Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.

2.      Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.

3.      Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.

4.      Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.

Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).

Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.

Selasa, 05 April 2016

Seperti ini Lho. ! Cara Membuat tulisan Bold, Italic, dan Tercoret di WhatsApp

Cara Membuat tulisan Bold, Italic, dan Tercoret di WhatsApp
Materi Lengkap - WhatsApp sekarang ini merilis pembaruan untuk aplikasi versi Beta. Dengan update tersebut, pengguna kini akan bisa melakukan formatting text atau customize format huruf, seperti cetak tebal (bold), miring (italic), dan teks yang dicoret (strikethrough) dan lain-lain.

WhatsApp tidak menyediakan menu khusus layaknya seperti di aplikasi Microsoft Word untuk fitur baru tersebut. Dibutuhkan trik-trik khusus untuk membuat teks dengan format seperti diatas. Berikut cara melakukannya.

Cara Membuat tulisan Bold, Italic, dan Tercoret di WhatsApp


Pertama, Download aplikasi WhatsApp Beta di situs resmi WhatsApp, bukan melalui toko aplikasi iOS atau Android.

Kedua, daftarkan diri sebagai Beta Tester. Untuk mendaftar, kunjungi tautan URL berikut ini: https://play.google.com/apps/testing/com.whatsapp.

Ketiga, unduh file APK WhatsApp di situs resminya: https://www.whatsapp.com/download/.


Contoh Teks Tebal, Miring, Teks dicoret. di WhatsApp

Cara Penerapan Teks Bold, Italic, Teks dicoret di pesan instan WhatsApp.

Bold (cetak tebal)


Untuk membuat teks di pesan WhatsApp menjadi cetak tebal, tambahkan tanda asterik (*) di depan dan belakang teks yang diinginkan, misalnya *Tebal*.

Italic (cetak miring)


Untuk membuat teks di pesan WhatsApp menjadi cetak miring, tambahkan tanda underscore (_) di depan dan belakang teks yang diinginkan, misalnya _miring_.

Strikethrough (teks yang dicoret)


Untuk membuat teks di pesan WhatsApp memiliki coretan, tambahkan tanda tilde (~) di depan dan belakang teks yang diinginkan, misalnya ~teks dicoret~.

Pastikan versi WhatsApp yang Anda miliki adalah versi 2.12.17 untuk versi iOS dan 2.12.5 untuk versi Android atau yang terbaru, dengan mendaftar sebagai Beta Tester dan melakukan update di toko aplikasi iOS atau Android.

Kode ini juga bisa dipakai WhatsApp versi desktop atau WhatsApp Web Client. Namun, format huruf-huruf di atas (bold, italic, dan strikethrough) hanya akan muncul di versi aplikasi mobile.

Demikian sedikit tips dan trik dari Materi lengkap, ada banyak sekali tips dan trik lainnya yang bisa kamu coba. semuanya ada disini Klik Disini -> TIPS DAN TUTORIAL  

*Sumber. KompasTecno


Rabu, 28 Oktober 2015

SUSUNAN PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA

SUSUNAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA, Traktat, Kebiasaan (Konvensi), Yurisprudensi, Undang-Undang, Dokrin atau Ilmu Pengetahuan, Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi, Wetboek van Koophandel (WvK), Peraturan Perundang-undangan, Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg), Inlandsh Reglement (IR), Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv), Sumber Hukum Formil, Sumber Hukum Materiil, Kekuasaan relatif, Kekuasaan mutlak, Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama, Kekuasaan Peradilan Agama. Juru Sita, Kesekretariatan,  Panitera , Pengadilan Tingkat Pertama Dan Banding , Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim, Pengertian Hakim, Syarat-Syarat Hakim, Tugas dan kewenangan hakim, Pengangkatan hakim, Pemberhentian hakim, Panitera, juru sita, dan kesekretariatan,

A. Pengadilan Tingkat Pertama Dan Banding


Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 ( pasal 1 butir 1 dan 2).

Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, yang mana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau Ibukota kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.

Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris

B. Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim




1. Pengertian Hakim


Hakim adalah pejabat negara yang tugasnya memeriksa dan mengadili suatu perkara di pengadilan.hakim diangkat dan di berhentikan oleh presiden sebagai kepala negara (pasal 30 undang-undang nomor 14 tahun 1970).[1]

2. Syarat-Syarat Hakim


Sejalan dengan definisi peradilan agama tersebut di atas , maka Syarat Menjadi Hakim PA (Pasal 13 ayat (1) bab II UU no. 50 tahun 2009) adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Beragama Islam.

Dalam pengadilan agama harus pula diisi oleh hakim yang beragama islam. Memang berbeda dengan tiga peradilan lainnya.peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer, agama seseorang hakim tidak menjadi masalah, karena disitu agama tidak ada hubugannya dengan materi perkara yang ditanganinya.

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia kepada Pancasila dan UUD Negara RI 1945

c. Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Hukum yang mengetahui Hukum Islam

d. Lulus Pendidikan Hakim

e. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

f. Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela

g. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun

h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.



3. Tugas dan kewenangan hakim


Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata khusus orang-orang yang beragama Islam, yaitu perkara mengenai perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding.

Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

4. Pengangkatan hakim


Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).

5. Pemberhentian hakim


Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :

1. Ternyata tidak cakap.

2. Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.

3. Permintaan sendiri.

4. Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.

Selanjutnya hakim dapat diberhentikan sementara dari jabatannya:

1. Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah sakit Jiwa.

2. Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh Menteri Agama dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.

3. Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh Presiden atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.

Untuk Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh Menteri Agama bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan oleh Presiden bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.

Selanjutnya Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :

1. Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan.

2. Ia melakukan perbuatan yang tercela.

3. Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaan nya.

4. Ia melakukan rangkapan jabatan.

5. Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan akan di periksa.

Pemecatan tersebut diatas dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.

C. Panitera, juru sita, dan kesekretariatan



1. Panitera


Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.

Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.

2. Kesekretariatan

Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.

3. Juru Sita

Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.



D. Kekuasaan Peradilan Agama.


1. Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama.


a. Kekuasaan mutlak


Setiap badan peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kekuasaan antara badan peradilan ini berbeda satu dengan lainnya.yang dalam hukum acara perdata disebut dengan wewenang mutlak atau wewenang absolut.

Wewenang tersebut menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan. Dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa belanda disebut atribute van rechtsmacht.

Mengenai wewenang absolut pengadilan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu. Selanjutnya yang dimaksud dengan perkara perdata tertentu oleh pasal 49 ayat (1) bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

1. Perkawinan

2. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam.

3. Wakaf dan shadaqah.

b. Kekuasaan relatif


Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.

Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.

Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.

Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan: “peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayahkota madya atau kabupaten”.

Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan: “pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”

Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.

Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.


E. Sumber Hukum Materiil


Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:

· Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.

· Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

· Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

· PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974

· PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

· UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006

· Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

· UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

· UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf


F. Sumber Hukum Formil


Hukum Formil Peradilan Agama Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.[2]

Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut.[3]

1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)


Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.

2. Inlandsh Reglement (IR)


Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.

3. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)


Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

4. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)


BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

5. Wetboek van Koophandel (WvK)


WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

6. Peraturan Perundang-undangan


1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .

4. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.

6. Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.

7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.



7. Yurisprudensi


Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI


Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

9. Dokrin atau Ilmu Pengetahuan

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:

1. Al-Bajuri

2. Fatkhul Mu’in

3. Syarqawi ‘At-Tahrir’

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali

5. Fatkhul wahbahdan syarahnya

6. Tuhfah

7. Targhib al-Mustaq

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah

10. Syamsuri li Fara’id

11. Bughyat al-Musytarsyidin

12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah

13. Mughni al-Muhjaj

Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.

Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:

1. Undang-Undang

adalah suatu peraturan negara yangmempunyaikekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Kebiasaan (Konvensi)


adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.

Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.

Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:

Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum yang baik.

Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.

Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.

3. Yurisprudensi


adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.

Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :

1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang

Berdasarkan Pasal 21 A.B. hakim memiliki tugas :

1) Menerima Perkara;
2) Memeriksa Perkara, dan;
3) Memutuskan Perkara

yaitu semua perkara yang diberikan kepadanya dan tidak boleh menolak setiap perkara yang diberikan atau diembankan kepadanya.

Jadi hakim harus bersifat "Recht Finding".

4. Traktat


adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.
5. Doktrin

adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.


[1] Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Bandung: Alumni. 1993). hlm. 7.
[2] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 152-153
[3] Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 196-201