Rabu, 28 Oktober 2015

SUSUNAN PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA

SUSUNAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA, Traktat, Kebiasaan (Konvensi), Yurisprudensi, Undang-Undang, Dokrin atau Ilmu Pengetahuan, Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi, Wetboek van Koophandel (WvK), Peraturan Perundang-undangan, Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg), Inlandsh Reglement (IR), Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv), Sumber Hukum Formil, Sumber Hukum Materiil, Kekuasaan relatif, Kekuasaan mutlak, Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama, Kekuasaan Peradilan Agama. Juru Sita, Kesekretariatan,  Panitera , Pengadilan Tingkat Pertama Dan Banding , Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim, Pengertian Hakim, Syarat-Syarat Hakim, Tugas dan kewenangan hakim, Pengangkatan hakim, Pemberhentian hakim, Panitera, juru sita, dan kesekretariatan,

A. Pengadilan Tingkat Pertama Dan Banding


Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 ( pasal 1 butir 1 dan 2).

Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, yang mana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau Ibukota kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.

Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris

B. Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim




1. Pengertian Hakim


Hakim adalah pejabat negara yang tugasnya memeriksa dan mengadili suatu perkara di pengadilan.hakim diangkat dan di berhentikan oleh presiden sebagai kepala negara (pasal 30 undang-undang nomor 14 tahun 1970).[1]

2. Syarat-Syarat Hakim


Sejalan dengan definisi peradilan agama tersebut di atas , maka Syarat Menjadi Hakim PA (Pasal 13 ayat (1) bab II UU no. 50 tahun 2009) adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Beragama Islam.

Dalam pengadilan agama harus pula diisi oleh hakim yang beragama islam. Memang berbeda dengan tiga peradilan lainnya.peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer, agama seseorang hakim tidak menjadi masalah, karena disitu agama tidak ada hubugannya dengan materi perkara yang ditanganinya.

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia kepada Pancasila dan UUD Negara RI 1945

c. Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Hukum yang mengetahui Hukum Islam

d. Lulus Pendidikan Hakim

e. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

f. Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela

g. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun

h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.



3. Tugas dan kewenangan hakim


Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata khusus orang-orang yang beragama Islam, yaitu perkara mengenai perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding.

Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

4. Pengangkatan hakim


Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).

5. Pemberhentian hakim


Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :

1. Ternyata tidak cakap.

2. Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.

3. Permintaan sendiri.

4. Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.

Selanjutnya hakim dapat diberhentikan sementara dari jabatannya:

1. Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah sakit Jiwa.

2. Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh Menteri Agama dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.

3. Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh Presiden atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.

Untuk Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh Menteri Agama bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan oleh Presiden bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.

Selanjutnya Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :

1. Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan.

2. Ia melakukan perbuatan yang tercela.

3. Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaan nya.

4. Ia melakukan rangkapan jabatan.

5. Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan akan di periksa.

Pemecatan tersebut diatas dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.

C. Panitera, juru sita, dan kesekretariatan



1. Panitera


Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.

Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.

2. Kesekretariatan

Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.

3. Juru Sita

Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.



D. Kekuasaan Peradilan Agama.


1. Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama.


a. Kekuasaan mutlak


Setiap badan peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kekuasaan antara badan peradilan ini berbeda satu dengan lainnya.yang dalam hukum acara perdata disebut dengan wewenang mutlak atau wewenang absolut.

Wewenang tersebut menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan. Dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa belanda disebut atribute van rechtsmacht.

Mengenai wewenang absolut pengadilan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu. Selanjutnya yang dimaksud dengan perkara perdata tertentu oleh pasal 49 ayat (1) bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

1. Perkawinan

2. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam.

3. Wakaf dan shadaqah.

b. Kekuasaan relatif


Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.

Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.

Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.

Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan: “peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayahkota madya atau kabupaten”.

Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan: “pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”

Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.

Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.


E. Sumber Hukum Materiil


Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:

· Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.

· Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

· Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

· PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974

· PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

· UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006

· Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

· UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

· UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf


F. Sumber Hukum Formil


Hukum Formil Peradilan Agama Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.[2]

Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut.[3]

1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)


Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.

2. Inlandsh Reglement (IR)


Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.

3. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)


Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

4. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)


BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

5. Wetboek van Koophandel (WvK)


WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

6. Peraturan Perundang-undangan


1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .

4. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.

6. Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.

7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.



7. Yurisprudensi


Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI


Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

9. Dokrin atau Ilmu Pengetahuan

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:

1. Al-Bajuri

2. Fatkhul Mu’in

3. Syarqawi ‘At-Tahrir’

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali

5. Fatkhul wahbahdan syarahnya

6. Tuhfah

7. Targhib al-Mustaq

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah

10. Syamsuri li Fara’id

11. Bughyat al-Musytarsyidin

12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah

13. Mughni al-Muhjaj

Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.

Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:

1. Undang-Undang

adalah suatu peraturan negara yangmempunyaikekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Kebiasaan (Konvensi)


adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.

Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.

Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:

Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum yang baik.

Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.

Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.

3. Yurisprudensi


adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.

Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :

1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang

Berdasarkan Pasal 21 A.B. hakim memiliki tugas :

1) Menerima Perkara;
2) Memeriksa Perkara, dan;
3) Memutuskan Perkara

yaitu semua perkara yang diberikan kepadanya dan tidak boleh menolak setiap perkara yang diberikan atau diembankan kepadanya.

Jadi hakim harus bersifat "Recht Finding".

4. Traktat


adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.
5. Doktrin

adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.


[1] Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Bandung: Alumni. 1993). hlm. 7.
[2] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 152-153
[3] Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 196-201

Selasa, 13 Oktober 2015

Pengertian, Sumber hukum, Bacaan WIRIDAN, Dan Wiridan Setelah Shalat Fardlu

“WIRIDAN”

WIRIDAN

 

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester 1 mata kuliah
ASWAJA
Dosen pengampu:
Drs. HA. Asyahari Syamsuri, MM.

Di Susun Oleh:
Achmad Miftachul Alim

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH
2013
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serata hidayahnya sehingga tugas kolektif yang berbentuk sebuah makalah dengnan berjudul “wiridan” dapat terselesaikan dengan tepat waktu.  Sholawat serta salam tercurahkan pada Baginda Rosullah Nabi Agung Muhammad Saw yang kita nanti – nantikan syafa’atnya di yaumil qiyamah, Amiin.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata kuliah Aswaja.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan dan kekhilafan didalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi menyempurnakan makalah berikutnya.

Jepara, 21 Oktober 2013

Kelompok 5




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR       I
DAFTAR ISI      II
BAB I
PENDAHULUAN      1
A.    Latar Belakang       1
B.    Rumusan Masalah      1
C.    Tujuan Penulisan      1
BAB II
PEMBAHASAN      2
A.    pengertian wiridan    2
B.    Sumber  hukum wiridan    2
C.    Bacaan wiridan     3
D.    Wiridan setelah shalat fardhu    4
BAB  III 
PENUTUP    11
A.    Kesimpulan     11
B.    Saran    11
DAFTAR PUSTAKA     12
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
    Wiridan sangat dianjurkan dalam meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan genting sekalipun seperti dalam keadaan perang.

B.     RUMUSAN MASALAH
    Dari latar belakang di atas, terdapat beberapa  rumusan masalah sebagai berikut:
a.    Apa pengertian dari wiridan?
b.    Bagaimana sumber hukum wiridan?
c.    Apa saja bacaan wiridan?
d.    Bagaimana wiridan setelah shalat fardlu?

C.     TUJUAN PENULISAN MAKALAH
    Penulisan makalah ini mempunyai tujuan umum dan khusus, adapun tujuan khususnya yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja, tujuan umumnya yaitu:
a.    Untuk mengetahui pengertian dari wiridan.
b.    Untuk mengetahui sumber hukum wiridan.
c.    Untuk mengetahui Apa saja bacaan wiridan.
d.    Untuk mengetahui wiridan setelah shalat fardlu.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN WIRIDAN

    Wiridan adalah amalan yang biasanya dilakukan setelah menunaikan ibadah shalat. Ada banyak ragam bacaan yang dipakai dalam wiridan, meski demikian yang terpokok biasanya terdiri dari tiga lafadz; Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar. Dan seperti yang biasa dijumpai di masjid-masjid, sebelum mewiridkan ketiga kalimat tersebut, biasanya ada bacaan awal sebagai muqaddimahnya dan bacaan akhir setelahnya sebagai pamungkas.
    Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan genting sekalipun seperti dalam keadaan perang.

B.    SUMBER HUKUM WIRIDAN

Ada sebuah maqalah yang mengatakan bahwa “ man laysa lahu wirdun fahuwa qirdun”,barang siapa yang tidak wiridan, maka dia seperti monyet. Memang jika diangan-angan salah satu kewajiban manusia adalah mengingat Sang Khaliq. Apabila seseorang tidak pernah mengingat (wirid) Sang Khaliq maka orang itu bagaikan seekor monyet yang tidak tahu diri dan tidak mengerti balas budi.
Begitulah perintah Allah swt dalam suarat an-Nisa’ ayat 103 diterangkan:

فإذا قضيتم الصلاة فاذكروا الله قياما وقعودا وعلى جنوبكم
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. 
    Secara praktis, melatih membiasakan wirid dapat dimulai dari hal yang paling kecil dan sederhana. Misalkan dengan meluangkan waktu setelah shalat fardhu membaca istighfar sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ”. قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ.
    Tsauban bercerita, “Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta ya dzal jalali wal ikrom”. Al-Walid (salah satu perawi hadits) bertanya kepada al-Auza’i, “Bagaimanakah (redaksi) istighfar beliau?”. “Astaghfirullah, astaghfirullah” jawab al-Auza’i.

C.    BACAAN WIRIDAN

1.    ...اَسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ (Astaghfirullahal adhim) 3x
2.    ...لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهْ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ         (La ilaha illallah wahdahu lasyarikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir) 3x
3.    ...اَللّهُمَّ اَجِرْنَا مِنَ النَّارِ  (allahumma ajirna minannar) 3x
4.    اَللّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَاِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَاَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَالسَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَاْلجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ                           
   
    Kemudian setelah terbiasa hendaknya ditingkatkan dengan menambah wirid sebagaimana anjuran Rasulullah saw
وروى أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال :  من سبح الله في دبر كل صلاة ثلاثا وثلاثين ، وحمد الله ثلاثا وثلاثين ، وكبر الله ثلاثا وثلاثين ، فتلك تسعة وتسعون ، وقال تمام المائة : لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير ، غفرت خطاياه ولو كانت مثل زبد البحر  أخرجه مسلم في صحيحه
“Bahwa Rasulullah saw pernah berkata ‘barang siapa setelah shalat membaca tasbih 33 kali, hamdalah 33 kali, takbir 33 kali, sehingga jumlahnya 99 dan menyempurnakannya dengan bacaanLa ilaha illallah wahdahu lasyarikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir, Allah akan mengampuni segala dosanya walau sebanyak buih di lautan”.

D.    WIRIDAN SETELAH SHALAT FARDLU

    Seorang muslim yang berdzikir setelah shalat hendaknya mencukupkan dengan dzikir-dzikir yang telah disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukan dengan dzikir yang tidak  dicontohkan oleh beliau, yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dzikir-dzikir yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:
1.    Mengucapkan istighfar 3 kali:
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”
Lalu mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan) dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)


2.    Mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ ،
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3.     Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
    Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR. Muslim no. 594)   
    4. Mengucapkan Tasbih, Tahmid dan Takbir:
سُبحان الله (Maha suci Allah) 33 kali,
الحمد لله (Segala puji hanya milik Allah) 33 kali,
الله أكبر (Allah Maha besar) 33 kali,

    Dan digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
    Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

“Barangsiapa bertasbih   (mengucapkan سُبحان الله) 33 kali, bertahmid (mengucapkan الحمد لله) 33 kali, dan bertakbir (mengucapkan الله أكبر) 33 kali, itu semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
((Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu)),
    Niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR.Muslim no. 597)
Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-Tirmidzi no. 3486)
5.    Mengucapkan:
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Dibaca 10 kali setelah Shalat Maghrib dan Shubuh.
Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh       dalam keadaan melipat kedua kakinya sebelum berbicara
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai (timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan –red).” (HR. At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)

6.    Membaca Ayat Kursi:

Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)
Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
من قرأ آية الكرسي في دبر كل صلاة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة الا ان يموت نوع آخر في دبر الصلوات
“Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

7.    Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas:
Yang Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 1-4)

Yang Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Naas: 1-6)
Catatan: Tiga surat tersebut dibaca 3 kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca 1 kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`.
Keutamaannya adalah sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam: “Tiga surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala kejelekan.” (Lihat Sunan Abu Daud no. 5094)

BAB III
PENUTUP
 
A.    Kesimpulan

    Wiridan adalah amalan yang biasanya dilakukan seusai menunaikan ibadah shalat. Ada banyak ragam bacaan yang dipakai dalam wiridan, meski demikian yang terpokok biasanya terdiri dari tiga lafadz; Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar.

B.    Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, baik dalam isi, penyusunan bahasa atau pun penulisanya. Maka dari itu kami mohon kepada semua pihak unuk memberikan masukan demi tercapainya kesepurnaan dan kemajuan makalah ini di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,Abu, argument ahlussunnah wal jama’ah,Tangerang:Pustaka     ta’awun,2011.

Pengertian, Dalil dan Hukum, Sejarah, Dan Bilangan Rakaat SHALAT TARAWIH

SHALAT TARAWIH

 
AYO SHALAT TARAWIH

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester 1 mata kuliah
ASWAJA
Dosen pengampu:
Drs. HA. Asyahari Syamsuri, MM.

Di SusunOleh:
Achmad Miftachul Alim

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH
2013
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
    Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan taufiknya kami di beri kenikmatan berupa kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya, Amin
    Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas mata kuliah Ahlussunnah waljamaah semester satu  fakultas syariah prodi al-ahwal as-syakhsiyyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara, dengan judul “SALAT TARAWIH”.
    Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa dukungan serta bimbingan dari pihak-pihak yang sangat kami hormati, oleh karena itu, pertama kami ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua kami atas do’a dan dukungan moril maupun materil yang telah di berikannya. Kedua kami ucapkan banyak  terima kasih kepada dosen kami bapak Drs. HA. Asyahari Syamsuri, MM. Selaku dosen pengampu mata kuliah ahlussunah wal jamaah yang telah membimbing kami menyelesaikan makalah ini. Ketiga kami ucapkan kepada rekan-rekan di fakultas syariah prodi al-ahwal as-syahsiyah Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU)  Jepara Yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
    Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang telah di harapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin…..
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jepara, 24 Oktober2013

                                Tim Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR       I
DAFTAR ISI      II
BAB I
PENDAHULUAN      1
A.    Latar Belakang       1
B.    Rumusan Masalah      1
C.    Tujuan Penulisan      1
BAB II
PEMBAHASAN      2
A.    Pengertian Shalat  Tarawih     2
B.    Dalil dan Hukum Shalat Tarawih     4
C.    Sejarah Shalat Tarawih   
D.    Bilangan Rakaat Shalat Tarawih     5
BAB  III 
PENUTUP   
A.    Kesimpulan      7
B.    Saran      7
DAFTAR PUSTAKA      8

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Salah satu amaliah di bulan ramadhan adalah ibadah sunnah yang sering kita kerjakan yaitu salat tarawih. Hukum salat tarawih adalah sunnat muakkad bagi  laki-laki dan perempuan, boeh dikerjakan sendiri tetapi yang lebih utama dikerjakan secara berjama’ah.
Dewasa ini banyak terjadi khilafiyah (perbedaan) dalam pelaksanaan salat  yang berkembang dalam masyarakat. Didalam makalah yang kami sajikan ini terdapat sejarah yang mendasari salat tarawih beserta dalil-dalil sebagai penguatnya.

B.    Rumusan Masalah
Dari urain di atas terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian dari salat tarawih?
2.    Apa dalil yang mendasari tentang salat tarawih?
3.    Bagaimana sejarah salat tarawih ?

C.    Tujuan penulisan
Tujuan makalah ini disusun guna untuk :
1.    Kita dapat mengerti apa itu salat  tarawih.
2.    Kita dapat mengetahui dasar  dalil tentang salat tarawih.
3.    Kita dapat mengetahui sejarah dan pelaksanan salat tarawih.


BAB II
PEMBAHASAN

SHALAT TARAWIH

A.    Pengertian SHALAT TARAWIH

Salat tarawih adalah salat yang disunnatkan khususnya pada bulan ramadlan. Hukum salat tarawih adalah sunnat muakkad bagi  laki-laki dan perempuan, boeh dikerjakan sendiri tetapi yang lebih utama dikerjakan secara berjama’ah,waktunya setelah salat isya sampai terbit fajar .

B.    Sejarah dan Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadlan, dan shalat tarawih ini dikerjakan beliau Nabi pada tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyyah, namun pada masa itu beliau Nabi mengerjakan shalat tarawih tidak di masjid terus menerus, kadang di masjid, kadang mengerjakannya di rumah. Sebagaimana dalam Hadist:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)

“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, beliau sholat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-Tiga dan ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau Nabi, tetapi Nabi tidak keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda: “sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang kemasjid karena aku takut sekali kalau sholat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah berkata: “hal itu terjadi pada bulan Ramadlan”.
     (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan sholat tarawih, pada malam hari yang ke-dua beliau datang lagi mengerjakan sholat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan ke-empat Nabi tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa beliau takut sholat tarawih itu akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan bertambah banyak, sehingga hal ini ada kemungkinan beliau berfikir,  Allah sewaktu-waktu akan menurunkan wahyu mewajibkan sholat tarawih kepada umatnya  karena orang-orang Muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi berat bagi ummatnya. Atau akan memberikan dugaan kepada ummatnya, bahwa sholat tarawih telah diwajibkan, karena sholat tarawih adalah perbuatan baik yang selalu dikerjakan beliau Nabi, sehingga ummatnya akan menduga sholat tarawih adalah wajib. Hal ini sebagaimana keterangan dibawah ini:

أَنَّهُ إِذَا وَاظَبَ عَلَى شَيْء مِنْ أَعْمَال الْبِرّ وَاقْتَدَى النَّاس بِهِ فِيهِ أَنَّهُ يُفْرَض عَلَيْهِمْ اِنْتَهَى

“Sesungguhnya Nabi ketika menekuni sesuatu dari amal kebaikan dan diikuti ummatnya, maka perkara tersebut telah diwajibkan atas ummatnya”.
Langkah bijaksana dan sangat sayangnya beliau Nabi saw kepada ummatnya. Pada hadist di atas dapat ditarik kesimpulan:
1. Nabi melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di Masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada ummatnya.
2. Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.
    3. Dalam hadist di atas tidak ada penyebutan bilangan roka’at dan     ketentuan roka’at shalat Tarawih secara rinci.
    Hukum shalat Tarawih adalah sunnah Muakkadah, Berdasarkan hadits Nabi :

من قام رمضا إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه. [رواه البخاري]
Artinya :
“Barang siapa yang melakukan ibadah di bulan Ramadlan (shalat tarawih) hanya karena iman kepada Allah dan mencari keridlaanNya, maka diampuni dosa-dosa yang lewat”. (HR. Bukhari)

C.    Jumlah rakaat SHALAT TARAWIH

Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan tentang bilangan rakaat shalat Tarawih, antara lain :

a.    Hadits riwayat Ibnu Abbas :


عن ابن عباس رضي الله عنهما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة والوتر
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulullah SAW. shalat pada bulan Ramadlan tanpa berjama’ah 20 rakaat dan witir”. (HR. Ibnu Abi Syaiban dan Baihaqi)

b.    Hadits riwayat Yazid bin Ruman:


عن يزيد بن رومان قال : كان الناس يقومون في زمن عمر رضي الله عنه بثلاث وعشرين ركعة. [رواه مالك في الموطأ]
Artinya :
“Orang-orang di zaman Umar ra. melakukan shalat malam 23 rakaat (20 Tarawih, 3 Witir)”. (HR. Malik dalam kitab Muwattho’)

c.    Hadits riwayat Siti A’isyah ra. :


روي عن عائشة رضي الله عنها قالت : ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان وغيره على إحدى عشرة ركعة. [رواه البخاري]

d.    Hadits riwayat Jabir


صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ثمان ركعات ثم أوتر. [رواه ابن حبان]

Artinya :
“Rasulullah SAW. melakukan shalat bersama kita (para sahabat) pada bulan Ramadlan delapan rakaat. Kemudian melakukan witir”. (HR. Ibnu Hibban)

    Karena beberapa hadits tersebut satu sama lain saling bertentangan, maka kita kembali pada Ushul Fiqih :
إذا تعارضت الأدلة تساقطت ووجبت العدول إلى غيرها.

Artinya :
“Apabila beberapa dalil itu bertentangan, maka semua saling menggugurkan
 dan wajib pindah pada dalil lainnya”.

Oleh karena itu, mengenai bilangan rakaat shalat tarawih ini para ulama madzhab pindah pada pedoman/dalil yang kongkrit yaitu ijma’ pada sahabat pada zaman Sayyidina Umar ra. yakni melaksanakan Tarawih 20 rakaat.

عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ , قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك)
“Dari Yazid bin Ruman telah berkata: “Manusia senantiasa melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadlan sebanyak 23 rokaat“. (HR. Malik)

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Shalat Tarawih adalah shalat malam yang dikerjakan pada bulan suci Ramadlan waktunya sesudah mengerjakan shalat Isya’ dan sebelum witir.
A.    Kesimpulan
B.   
C.    Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, baik dalam isi, penyusunan bahasa atau pun penulisanya. Maka dari itu kami mohon kepada semua pihak unuk memberikan masukan demi tercapainya kesepurnaan dan kemajuan makalah ini di masa yang akan dating.

Kamis, 01 Oktober 2015

KONSEP ISLAM DALAM FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI ISLAMI

KONSEP ISLAM DALAM FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI ISLAMI
 
KONSEP ISLAM DALAM FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI ISLAMI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Iqtishadi
Semester 4
Dosen pengampu:
ZAHROTUN NAFISAH, LC, M.H.I



Disusun Oleh:

1.Achmad Miftahul Alim (1213001)


Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Nahdhatul Ulama’ (UNISNU)
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas kolektif yang berbentuk makalah dengan tema ”Tafsir Ayat Tentang Larangan Shalat Bagi Orang Yang Mabuk dan Junub” dapat terselesaikan tepat waktu, meskipun dengan berbagai macam halangan. Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah nanti, Amin.
Makalah ini disusun sebagai tugas dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata kuliah Tafsir Ahkam.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuandan memberikan manfaat bagi pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan dan kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya.
Jepara, 24 Maret 2015

Kelompok 04


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR    i
DAFTAR ISI    ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang    1
B.    Rumusan masalah    2
C.    Tujuan penulisan makalah    2
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Prinsip-prinsip produksi    3
B.    Faktor produksi     4
C.    Biaya Produksi    6
D.    Pemaksimuman keuntungan    7
E.    Modal organisasi    8
BAB III
PENUTUP    10
KESIMPULAN    10
DAFTAR PUSTAKA    11




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut teori produksi konvensional, Produksi pada dasarnya yaitu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen

Dalam perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Pemahaman lebih lanjut produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber produksi yang diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Al-Maidah ayat 87 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Al-Ghazali salah satu ekonom Islam yang sangat concern terhadap teori produksi dalam kehidupan masyarakat. Beliau sering menggunakan kata kasab dan islah yang berarti usaha fisik yang dikerahkan manusia dan yang kedua dalam upaya manusia untuk mengelola dan mengubah sumber-sumber daya yang tersedia agar mempunyai manfaat yang lebih tinggi.[1]

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari beberapa definisi produksi dalam Islam diatas, yaitu suatu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa dengan mengubah faktor-faktor sumber produksi yang dihalalkan dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani untuk mencapai falah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

1. Apa saja prinsip produksi ?

2. Apa faktor-faktor produksi?

3. Apa yang dimaksud dengan biaya produksi?

4. Bagaimana cara memaksimumkan keuntungan?

5. Apa yang dimaksud dengan modal organisasi?



C. Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Prinsip Produksi.

2. Untuk mengetahui Faktor-Faktor Produksi.

3. Untuk mengetahui Biaya Produksi.

4. Untuk mengetahui cara mamaksimumkan keuntungan.

5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Modal Organisasi.




BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip Produksi


Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Secara teknis, produksi adalah proses mentransformasikan input menjadi output. M.N siddiqi berpendapat, bahwa produksi merupakan penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat.[2]

Muhammad Abdul Mannan mengemukakan, prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep Islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada pertimbangan kesejahteraan umum yang lebih luas yang menekankan persoalan moral, pendidikan, agama, dan persoalan lainnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan Muhammad Abdul Mannan adalah bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh peningkatan produksi dari pemanfaatan sumber daya secara maksimal, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam dalam proses produksi[3].

Al-qur’an dan hadis Rasulullah SAW. memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut:

1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya.

2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi.

3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.

4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat.[4]

Kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain:

1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.

2. Mencegah kerusakan di mukabumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian,dan ketersediaan sumber daya alam.

3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran.

4. Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat.

5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik.

B. Faktor-Faktor Produksi


Faktor produksi dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu, tanah, tenaga kerja, modal dan keahlian. [5]

1. Modal


Modal menduduki tempat yang spesifik. Dalam masalah modal, ekonomi Islam memandang modal harus bebas dari bunga. Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal menurut pengertian ekonomi adalah barang atau hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lebih lanjut[6]. Misalnya, orang membuat jala untuk mencari ikan. Dalam halini jala merupakan barang modal, karena jala merupakan hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lain (ikan).

Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya.[7]

a. Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal sendiri dan modal asing. Modal sendiri, misalnya setoran dari pemilik perusahaan. Sementara modal asing, misalnya, modal yang berupa pinjaman bank.

b. Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan modal abstrak. Contoh dari modal konkret yaitu mesin, gedung, mobil, dan peralatan. Sedangkan contoh dari modal abstrak adalah nama baik, dan hak merk.

c. Berdasarkan pemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu dan modal masyarakat. Modal individu contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan. Sedangkan modal masyarakat seperti rumah sakit umum milik pemerintah, jalan,jembatan.

d. Modal dibagi berdasarkan sifatnya, modal tetap dan modal lancar. Contoh dari modal tetap yaitu mesin dan bangunan pabrik. Sedangkan contoh dari modal lancar adalah bahan-bahan baku.


2. Tenaga Kerja


Tenaga kerja manusia adalah segala kegiatan manusia baik jasmani maupun rohani yang dicurahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa maupun faedah suatu barang.

Tenaga kerja manusia dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya (kualitasnya) yang terbagi atas:

a. Tenaga kerja terdidik (skilled labour), adalah tenaga kerja yang memperoleh pendidikaaik formal maupun non formal, seperti guru, dokter dan pengacara.

b. Tenaga kerja terlatih (trained labour), adalah tenaga kerja yang memperoleh keahlian, berdasarkan latihan dan pengalaman. Misalnya, montir, tukang kayu, tukang ukir.

c. Tenaga kerja tak terdidik dan tak terlatih (unskilled and untrained labour), adalah tenaga kerja yang mengandalkan kekuatan jasmani daripada rohani, seperti, tukang sapu, pemulung, buruh tani.[8]


3. Tanah


Tanah adalah faktor produksi yang penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi. Ekonomi Islam mengakui tanah sebagai factor ekonomi untuk dimanfaatkan secara maksimal demi mencapai kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi islam. Al-Qur’an dan sunnah dalam hal ini banyak menekankan pada pemerdayaan tanah secara baik. Dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dapat habis, islam menekan agar generasi hari ini dapat menyeimbangkan pemanfaatannya untuk generasi yang akan datang.[9]


4. Kewirausahaan


Faktor kewirausahaan adalah keahlian atau keterampilan yang digunakan seseorang dalam mengkoordinir factor-faktor produk. Sumber daya pengusaha yang disebut juga kewirausahaan. Berperan mengatur dan mengkombinasikan factor-faktor produksi dalam rangka meningkatkan kegunaan barang atau jasa secara efektif dan efisien. Pengusaha berkaitan dengan managemen.

Sebagai pemicu proses produksi, pengusaha perlu memiliki kemampuan yang dapat diandalkan. Untuk mengatur dan mengkombinasikan factor-faktor produksi, pengusaha harus mempunyai kemampan merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengendalikan usaha.

C. Biaya Produksi


Biaya merupakan suatu pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang untuk suatu tujuan tertentu. Biaya merupakan harga pokok atau bagiannya yang telah dimanfaatkan atau dikonsumsi untuk memperoleh pendapatan.

Biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut.[10]

Dalam arti sempit, dalam biaya terdapat empat unsure penting, yaitu: pengorbanan sumber ekonomi, diukur dalam satuan uang, telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi, dan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam arti luas, biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya yang selalu berubah. Keseluruhan biaya produksi dinamakan biaya total. Biaya total didapat dari penjumlahan biaya tetap dan biaya berubah.[11]

1. Biaya tetap (fixed cost).


Biaya tetap yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan tidak memandang apakah perusahaan itu sedang menghasilkan barang atau tidak. Biaya tetap ini sangat penting bagi perusahaan karena akan mempengaruhi operasional perusahaan dalam hal penentuan tingkat pemaksimuman keuntungan.[12]

2. Biaya variable (Variable cost)


Biaya variable yaitu segala macam biaya yang dikeluarkan yang berhubungan dengan besar kecilnya unit produksi yang dihasilkan.

Secara teoritis, biaya variable dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Biaya variable yang bersifat progresif.

b. Biaya variable yang bersifat proporsional.

c. Biaya variable yang bersifat degresif.

Jadi, biaya total dapat dihitung menggunakan rumus TC= FC + VC. [13]

D. Pemaksimuman Keuntungan


Dalam menganalisis suatu usaha, harus memperhatikan yang namanya biaya produksi yang dikeluarkan dan hasil penjualan. Pemaksimuman keuntungan dapat dicari dengan dua cara, yaitu: membandingkan hasil penjualan total dengan biaya total dan menunjukkan hasil penjulan marginal = biaya marginal.

Keuntungan merupakan perbedaan antara hasil penjualan total yang diperoleh lebih besar dari biaya total. Keuntungan akan mencapai maksimum apabila perbedaan diantara keduanya adalah maksimal. Jadi, keuntungan = hasil penjualan – biaya total.[14]

Imam al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan adalah motif utama dalam perdagangan. Namun, dalam hal ini ada sesuatu yang menarik dari imam al-Ghazali yaitu mengurangi jumlah keuntungan dengan menjual harga lebiih murah akan meningkatkan volume penjualan yang mana akan berdampak pada meningkatnya keuntungan.

E. Modal Organisasi


Modal adalah baik barang-barang berupa barang-barang konkret yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang ada pada neraca sebelah debit maupun berupa daya beli atau nilai tukar dari abrang-barang itu yang tercatat disebelah kredit. Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya.[15]

Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal sendiri dan modal asing. Modal sendiri, misalnya setoran dari pemilik perusahaan. Sementara modal asing, misalnya, modal yang berupa pinjaman bank.

Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan modal abstrak. Contoh dari modal konkret yaitu mesin, gedung, mobil, dan peralatan. Sedangkan contoh dari modal abstrak adalah nama baik, dan hak merk.

Berdasarkan pemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu dan modal masyarakat. Modal individu contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan. Sedangkan modal masyarakat seperti rumah sakit umum milik pemerintah, jalan,jembatan.

Modal dibagi berdasarkan sifatnya, modal tetap dan modal lancar. Contoh dari modal tetap yaitu mesin dan bangunan pabrik. Sedangkan contoh dari modal lancar adalah bahan-bahan baku.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.

Prinsip produksi dalam Islam lebih menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Faktor produksi dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu, tanah, tenaga kerja, modal dan keahlian.

Biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut.

Keuntungan adalah motif utama dalam perdagangan. Baik keuntungan di dunia maupun keuntungan di akhirat. Dalam memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh, maka terlebih dahulu harus mempertimbangkan modal yang dimilikinya beserta besarnya biaya yang akan dan telah dikeluarkan.



DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami. 2007.

Aziz, Abdul, Ekonomi Islam (Analisis Mikro Dan Makro), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Edwin Nasution, Mustafa, Dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Rozalinda, Ekonomi Islam (Teori Dan Aplikasinya Pada Aktivitas Ekonomi), Jakarta: Rajawali Pers, 2014.




[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami. 2007. Hlm: 102
[2] Adiwarman A. Karim, Ibid., . Hlm 65.
[3] Adiwarman A. Karim, Ibid., hlm 66.
[4] Rozalinda, Ekonomi Islam (Teori Dan Aplikasinya Pada Aktivitas Ekonomi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2014 ) hlm. 111
[5] Rozalinda, Ibid., hlm. 112.
[6] Edwin Nasution, Mustafa, Dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006). Hlm. 70.
[7] Edwin Nasution, Ibid., hlm. 71.
[8] Aziz, Abdul, Ekonomi Islam (Analisis Mikro Dan Makro), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008). Hlm. 55.
[9] Aziz, Abdul, Ibid., Hlm. 56.
[10] Aziz, Abdul, Ibid., Hlm. 55.
[11] Aziz, Abdul, Ibid., Hlm. 56.
[12] Edwin Nasution, op.cit., hlm. 72.
[13] Edwin Nasution, Ibid., hlm. 72.
[14] Edwin Nasution, Ibid., hlm. 75.
[15] Edwin Nasution, Ibid., hlm. 71.