Selasa, 08 November 2016

Pandangan NU Terhadap Masyarakat Pluralisme

Pandangan NU Terhadap Masyarakat Pluralisme NU dan pluralisme Materi Lengkap
Pandangan NU Terhadap Masyarakat Pluralisme NU dan pluralisme Materi Lengkap

 

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Saat ini, keberagaman (pluralitas) merupakan realitas yang terus berkembang dan tidak mungkin dihindari, apalagi dihapuskan dari peradaban manusia. Pluralitas hadir di segala aspek kehidupan, baik di bidang budaya, ekonomi, politik, dan juga agama. Secara khusus, pluralitas agama melahirkan dua pandangan kontradiktif, yaitu sikap toleran dan intoleran terhadap perbedaan. Pandangan yang pertama (toleran) memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Sang Khalik, sebaliknya yang kedua (intoleran) berkaitan dengan sikap yang senantiasa menolak perbedaan. Dalam pokok bahasan ini penyaji akan membahas “Pemahaman Pluralisme dari Perspektif Nahdlatul Ulama (NU) yang telah menjadi pembahasa utama yang fenomenal di tengah-tengah masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana NU bisa didirikan?

b. Apa yang di maksud dengan pluralisme?

c. Bagaimana pandangan NU tentang pluralisme?



C. Tujuan

a. Untuk mengetahui sejarah berdirnya NU

b. Untuk memahami apa itu pluralisme

c. Untuk mengetahu pandangan NU terhadap pluralisme


BAB II

Pembahasan




A. Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)


Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbaai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah,[1] dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).[2]

Walaupun sejak awal Kiai Hasyim Asyari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam Nahdlatul Ulama, namun tidak diragukan lagi bahwa penggerak di belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Ia adalah pengorganisir yang bersemangat, baginya pembentukan NU menunjukkan bahwa NU lebih dari sekedar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis.[3] Pada tahun 1924, dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya, Kiai Hasyim Asyari agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Kongres Al-Islam yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat ulama besar masa lalu (taqlid) banyak mendapat kritik. Banyak kiai yang enggan ikut dalam perhimpunan ini, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral dari orang yang lebih beribawa secara keagamaan.

Kiai Hasyim Asyari, pendiri pesantren Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di Jawa, dan tanpa dukungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi kiai yang solid. Pada tahun 1924, Kiai Hasyim Asyari tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam ini dan tidak memberikan persetujuannya. Namun setelah penyerbuan Ibn Sa’ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini ia menyerukan “umat Islam bersatu” dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi. Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU, dipimpin oleh Kiai Hasyim Asyari sendiri. Kebanyakan mereka yang hadir dalam rapat tersebut (termasuk Kiai Wahab) mengganggap diri mereka murid Kiai Hasyim, karena pernah belajar di pesantren Tebuireng[4]. Mereka yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif (Tanfidziyah), sementara para ulama menjadi badan legislative (Syuriyah). Secara teoritis Tanfidziyah harus bertanggung jawab kepada Syuriyah. Kiai Hasyim Asyari menjabat, sampai akhir hayatnya, sebagai ketua (Rois) Syuriyah. Kiai Wahab semula menjabat sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit menjadi penasehat (mustasyar) namun dalam prakteknya tetapi menjadi kekuatan penggerak organisasi[5].

Anggaran Dasar NU[6] menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan kaum pembaru. Muktamar NU pertama, menetapkan tidak hanya buku-buku penting mana yang termasuk dalam mazhab figh Syafi’i, tetapi juga mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya terdapat fatwa-fatwa yang berbeda[7].

NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan pada paham ahl al-sunnah wal jamaah. Dan ini merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan. Ketika kaum pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan keagamaan yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan berdasarkan paham ahl al-sunnah wal jamaah[8].

1. Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan NU


Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahl al-sunnah wal jamaah. Secara bahasa ahl al-sunnah wal jamaah terdiri dari dari tiga kata yaitu ahl (pengikut aliran atau pemeluk mazhab), al sunnah (orang-orang yang berpaham Sunni). Kata al-sunnah dalam pengertian yang luas diartikan juga dengan perbuatan, fatwa dan tradisi yang didapatkan oleh para sahabat. Sedangkan kata al-jamaah berarti kumpulan orang yang mempunyai tujuan. Jika kata ini dikaitkan dengan orang-orang Islam, maka hanya berlaku di kalangan ahl al-sunnah, karena di kalangan Khawarij dan Syi’ah Rafidah tidak dikenal penggunaan kata jamaah[9].

Menurut Said Agil Siradj, memberi definisi kepada ahl al-sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran[10]. Karakteristik yang selalu menjadi nilai dasar dari ajaran ahl al-sunnah wal jamaah adalah sikap tawasuth, tawazun dan ta’adul. Implementasi nilai-nilai tersebut tercermin dari sikap penganut Sunni yang elastis, fleksibel, dan toleran dalam menghadapi pluralitas sosial dengan berbagai ragam tradisi dan keyakinan dengan mengambil sikap tengah. Ia tidak mendahulukan akal daripada nas, tetapi juga tidak mengebiri potensi akal. Ia tidak mengenal tatharruf (sikap ekstrim) dan tidak mengkafirkan sesama muslim[11]. Salah satu ciri instrinsik dari ajaran ahl al-sunnah wal jamaah adalah keseimbangan pada penggunaan dalil naqli dan aqli. Keseimbangan demikian memungkian adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian sangatlah jelas bagi kita, jika NU berpijak dalam pemahaman dan pemikiran ahl al-sunnah wal jamaah berarti mereka adalah orang-orang mampu menerima perbedaan, kemajemukan dan sangat toleran terhadap orang lain.



2. Sikap Kemasyarakatan NU


Berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahl al-sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Alqur’an, Sunnah, Ijma (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya), dan iyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Alqur’an dan hadis). Secara rinci ajaran ini, seperti dikutip oleh Marijan dari KH Mustafa Bisri, “Ada tiga substansi yaitu (1). dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang dalam prakteknya para kiai NU menganut kuat mazhab Syafi’i; (2). dalam soal tauhid (ketuhanan) menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi; (3). dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al Junaidi.” Dalam mempertahankan dan mengembangkan ajaran-ajaran tersebut, maka pesantrenlah, dalam berbagai wujud sesuai dengan perkembangannya, yang merupakan wadah atau sarana utamanya. Melalui pesantren para kiai NU melakukan pendogmaan tafsir yang terdalam kitab dan terus menerus dianggap sebagai suatu kebenaran[12].

Cita-cita dan langkah NU sejak didirikan bertumpu pada gerakan islah (perbaikan dan peningkatan kebaikan), di mana setiap kegiatan yang dilakukan diharapkan hasilnya akan lebih besar dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Sikap tawasuth dan i’tidal; sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan luruh di tengah-tengah kehidupan bersama, bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

Sikap tasamuh; sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu atau masalah khilafiyah, serta dalam masyarakat kemasyarakatan dan kebudayaan.

Sikap tawazun; sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia sersta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa datang.

Sikap ma’ruf nahi munkar; selalu memiliki kepekaan untuk menyongson perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan[13].



B. Pengertian Pluralisme


Nurdinah Muhammad, dalam artikelnya Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama, memaparkan Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjuk lebih dari satu. Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang mengakui hakikat dunia terdiri dari banyak unsur (sering dilawankan dengan kata monisme atau dualisme). Pada kenyataannya pluralitas telah ada sejak keberadaan alam semesta (mahluk) sebagaimana Tuhan menciptakannya. Juga termasuk keanekaragaman manusia dengan berbagai aspeknya (suku, bangsa, bahasa, agama, kelompok, profesi dan sumber daya). Hal ini jelas termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat 13, tentang jenis manusia (laki-laki dan perempuan)[14].

DR. Abdul Mustaqim[15], tulisannya Islam, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan bahwa pluralisme secara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan, baik dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, karena sering terjadi konflik sosial yang dipicu oleh isu agama, wacana pluralisme juga sering lebih ditekankan pada masalah pluralisme agama. Di era demokrasi dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat penting dan gencar disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika semangat pluralisme dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh isu agama dapat diredam atau paling tidak semakin berkurang.



1. konsep Pluralisme


a) Pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi juga adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan demikian, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pluralis jika ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Jika hal ini ditarik dalam konteks pluralisme agama berarti bahwa tiap pemeluk agama dituntut tidak saja mau mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan agar tercapai kerukunan dalam kebhinekaan.

b) Pluralisme berbeda dengan konsep kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme mengacu pada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi, namun di situ tidak ada interaksi positif.

c) Pluralisme tidak identik dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka pikir masing-masing orang atau masyarakat. Implikasinya, seseorang akan menyatakan semua agama adalah sama karena kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu dengan lainnya tetap harus diterima. Akibatnya, seorang relativisme justru tidak akan mengenal, apalagi menerima kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Memang dalam pluralisme ada unsur relativisme, namun setidaknya tidak ada klaim untuk memonopoli kebenaran tunggal, terlebih lagi memaksakan kebenaran tersebut pada penganut lain.

d) Pluralisme bukanlah sinkretisme, yaitu mencari suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur yang ada dalam beberapa agama demi dijadikan bagian integral dalam agama baru tersebut, seperti dalam agama Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Ali Nuri di Iran. Elemen-elemen agama tersebut berasal dari agama Yahudi, Kristen dan Islam[16].



2. Pluralisme menurut Al-Qur’an


Pluralitas agama hal yang tidak mungkin dihindarkan dari tengah-tengah dunia ini, karena kondisi plural adalah gambaran kebesaran Tuhan. Pluralisme Agama melalui perspektif Al-Qur’an, tampak bahwa Al-Quran sangat apresiatif terhadap pluralisme. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa ayat berikut ini :

Q.S. al-Hajj (22) :40 yang berbunyi :

"Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. "


Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa perbedaan agama sengaja dibiarkan oleh Allah untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan masing-masing pihak harus berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dalam ayat yang lain, Al-Quran juga menegaskan tentang pluralitas suku dan bangsa sebagaimana dalam firmanNya :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat (49) :13).

Hal ini memberi isyarat bahwa Allah sangat menghargai pluralitas (kemajemukan) yang merupakan sunnatullah karena kemanunggalan hanya milik Allah SWT[17].

Pengakuan terhadap pluralisme, dalam Al-Quran, ditemukan dalam banyak terminologi yang merujuk kepada komunitas agama yang berbeda. Al-Quran di samping membenarkan, mengakui keberadaan eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Konsep ini secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, sementara secara teologis turut mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci ilahi. Pengakuan Al-Quran terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam kotbah perpisahan Nabi Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa,

”Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya[18].

Perkataan ini menggambarkan persamaan derajat umat manusia di hadapan Tuhan.

Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang alamiah. Allah tidak menghendaki manusia untuk menjadi satu umat saja.

”Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat saja, tetapi memasukkan dalam rahmat-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya, sedangkan orang-orang yang zalim tidak mempunyai pelindung maupun penolong” (Surat: 42/al-Syuura 8)[19].

Abdul Mustaqim mengutip apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, bahwa Al-Quran juga memerintahkan Muhammad supaya mempercayai Taurat dan Injil. Hal ini karena petunjuk Tuhan itu adalah universal dan tidak terbatas pada kaum tertentu saja. ”Tidak ada suatu kaum yang tidak pernah didatangi oleh seorang pembawa peringatan” (Q.S. Fathir [35]:24) dan ”bagi setiap kaum telah disediakan petunjuk” (Q.S. ar-Rad [13]:7). Perkataan Kitab sering dipergunakan Al-Quran bukan dengan pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan wahyu Tuhan (Q.S. al-Bayyinah [98]:3)[20]. Hal ini jelas bahwa keanekaragaman/kamajemukan sangatlah dihormati oleh Muhammad.



3. Pluralisme Menurut Sunnah Nabi Muhammad SAW


Islam lahir dalam konteks agama Yahudi dan agama Kristen di wilayah Arab dan Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an mengakui agama-agama yang mewartakan pewahyuan Allah, yang bersikap adil dan yang menyembah Dia, agama-agama seperti itu di dalam Al-Qur’an disebut Asal Alkitab (QS. Az Zukhruf 43:4; QS. Ar Ra’ad 13:39, Kitab Yang terlindungi (QS. Al-Waqiah 56:78) dalam kaitan inilah muncul pengakuan Muhammad bahwa dia tidak saja beriman kepada Taurat dan Injil tetapi juga ” aku beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah” bimbingan Allah menurut Al-Qur’an tidak terbatas tetapi universal bagi semua orang. Hal ini mengungkapkan sikap Islam yang sangat toleran dan rukun ketika masa nabi Muhammad oleh karena itu pengajaran Islam sangat positif untuk mendorong umat Muslim supaya rukun terhadap non Islam[21].

Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang majemuk dan sering sekali terjadi konflik di antara mereka. Muhammad menyadari bahwa hal harus segera diatasi yang dengan membentuk Piagam Madinah yang didasarkan atas persatuan dan persaudaraan di dalam kemajemukan tersebut. Piagam Madinah dikenal sebagai perjanjian Madinah yang merupakan suatu piagam politik yang mengandung tata aturan kehidupan bersama antara kaum muslimin dan kaum Yahudi di Madinah[22].

Dalam Islam, Al-Qur’an memandang agama Nasrani [Kristen] di samping Yahudi, sebagai agama serumpun dalam Abrahamic religions, dan menyikapi umat Kristiani, sebagai salah satu bagian dari ahli Kitab. Secara umum, pandangan Islam terhadap ahli Kitab sangat positif dan konstruktif (tetapi juga kritis).Dalam hal ini Al-Qur’an menegaskan, Allah berfirman: ”makanan ahli Kitab adalah halal bagimu (umat Islam) dan makananmu (umat Islam) halal bagi mereka, serta wanita ahli Kitab (halal pula bagi umat Islam untuk dinikahi)”. Halalnya makanan ahli Kitab bagi umat Islam dan halalnya wanita ahli Kitab dinikahi umat Islam merupakan simbol perwujudan dari persahabatan dan kekerabatan yang paling konkrit antar komunitas yang berlainan agama tersebut.

Dalam semangat ajaran Islam, seluruh umat manusia apapun agama yang dianutnya harus dihormati dan dihargai. Nilai-nilai dan ajaran Islam memberikan ruang yang cukup luas bagi umat Islam untuk mengembangkan hubungan dan interaksi sosial budaya kepada umat Kristiani. Pada saat yang sama Islam sangat ketat melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang berdampak pada terciptanya disharmonisasi sosial dalam suatu masyarakat[23].



C. Pandangan Tokoh-tokoh NU


1. Abdurrahman Wahid


Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus 1940, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban 1359, sama dengan 7 September 1940 dan Gus dur Wafat, pada tanggal 30 Desember 2009.

M. Hamid, dalam bukunya yang berjudul Gus Gerr, mengatakan bahwa “Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil”. Addakhil berarti Sang Penakluk, sebuah nama yang diambil dari Wahid Hasyim, orangtuanya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Abdurrahman Wahid kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti abang atau mas[24]. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah, pernikahan itu berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir, terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai laki-laki (in absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis Ibu, K.H. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelai pria. Pernikahan ini sempat membuat geger tamu yang menyaksikan acara ijab kabul. Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada tanggal 11 September 1971, pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah salah satu tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Gus Dur digelari Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan Katolik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya.

Gus Dur memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap menjadi ciri khasnya. Ia mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Gus Dur dipuji karena memperjuangkan pluralisme yang berintikan pada semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Dalam setiap ajarannya Gus Dur menekankan perlunya kebersamaan atau kerukunan antar-umat beragama. Sebab dengan cara itu umat Islam bisa hidup damai di bumi. Gus Dur juga sebagai sosok humanis dan tidak membedakan satu dengan lainnya.

Badiatul Roziqin, dkk. dalam bukunya 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, mengatakan bahwa, menurut Gus Dur, penafsiran ulang atas ajaran-ajaran Islam menjadi kebutuhan zaman, karena tanpa proses penafsiran ulang itu, tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat Al-Quran. Kemudian Badiatul Roziqin, dkk. mengkategorikan Gus Dur sebagai salah satu cendikiawan Neo Modernis, di mana Neo Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif, liberal terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat dan condong untuk menekankan sikap toleran dan harmonis dalam hubungan antar komunitas[25].



2. Alwi sihab


Beliau adalah tokoh NU, pendorong awal dan pengkampanye penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar karyawan tentang paham pluralisme agama di satu instansi meliputi Jawa dan Madura. Alwi Shihab juga mengutuk orang yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia, karena baginya Indonesia bukan negara Islam.

Semangat pluralisme sangatlah tinggi, ia sangat menghormati dan menghargai perbedaan dan kemajemukan, karena bumi Indonesia pertiwi dibangun atas dasar kebinekaan.



3. Quraisy Sihab


Adalah seorang mantan menteri Agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan rektor IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan ” Selamat Natal” diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an. Ia menulis dengan judul ”Selamat Natal menurut Al-Qur’an”. Ini membuktikan betapa tolerannya Qurais Shihab, ia sangat terbuka dan penganut paham pluralisme.



4. Said Agil Siradj

Said Agil Siradj pernah meminta pemerintah segera membersihkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak berlandaskan azas Pancasila dan UUD 1945, ia juga dikabarkan membela kaum Syiah dan Ahmadiyah. Hal ini mengindikasikan bahwa ia sangat menganut paham pluralisme, memelihara perbedaan dan keberagaman, karena merupakan anugerah Tuhan.



D. Pluralisme dan Tantangannya di Indonesia


M. Hamid, dalam bukunya Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, menuliskan bahwa pemikiran besar Gus Dur seperti Pluralisme, multikulturisme dan sekularisme menjadi perdebatan hangat di kalangan umat Islam. MUI dalam Fatwanya mengecam ide sekularisme, pluralisme dan liberalisme dengan menyatakan bahwa pemikiran tersebut bertentangan dengan Islam. Di kalangan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur sering berseberangan dalam beberapa hal, seperti dengan almarhum K.H. As’as Syamsul Arifin dan pamannya, K.H. Yusuf Hasyim. Ada juga yang menganggap pemikiran Gus Dur berbahaya meskipun mereka tetap menghormatinya. Demikian juga K.H. Kholil Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, dalam segi politik dan pemikiran keagamaan juga berseberangan dengan Gus Dur. Ia menilai Pluralisme agama yang diusung Gus Dur sangat berbahaya bagi umat Islam. Pandangan pluralisme dianggap sebagai satu paham yang sesat oleh MUI karena menyatakan semua agama itu benar.

Dalam fatwa MUI pada bulan Juli 2005 ditegaskan bahwa pengharaman pluralisme disebabkan karena pluralisme adalah paham yang ”menyamakan semua agama”. Menurut K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi C, Fatwa MUI pada saat itu, menjelaskan bahwa pluralisme agama dapat dimaknai bermacam-macam. Jika pluralisme dimakna sebagai perbedaan agama, bagi MUI tidak ada masalah. Tetapi yang dinyatakan menyimpang yakni apabila pluralisme dimaknai:

Pertama, menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini bagi MUI tidak benar menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam senidiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran (Q.S. Ali Imran [3]:19) menjelaskan bahwa agama yang benar dan diridhai Allah SWT, adalah agama Islam. Karena itu agama yang benar adalah Islam. Dan pemahaman yang mengatakan semua agama benar adalah menyimpang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kedua, teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam itu sama dengan sinkretisme. Itu sama sekali tidak dibenarkan MUI.

Karena semangatnya dalam memperjuangkan pluralisme, Gus Dur pun dibenci oleh beberapa golongan. Ia dicap sebagai tokoh liberalisme-sekulerisme dan dianggap sebagai antek Yahudi. Ada pula yang berkomentar bahwa Gus Dur itu gila. Tapi komentar ini segera disanggah oleh pendukungnya dengan kalimat : dalam sebuah komunitas orang gila, satu-satunya yang gila justru adalah satu-satunya yang waras.

Yang paling dominan berseberangan dengan paham pluralisme ialah penganut paham ekslusivisme, di mana paham ini cenderung tertutup, bersikap kurang ramah, bahkan terkesan ”memusuhi” terhadap penganut agama lain. Aliran ini biasanya diwakili oleh mayoritas para musafir klasik dan kelompok Islam garis keras, (baca :fundamentalis). Paham ini berpendapat bahwa setelah diutusnya Muhammad SAW, kebenaran agama hanya ada pada Islam yang dibawa beliau, selain Islam akan ditolak. Ayat yang sering dijadikan dalil oleh mereka adalah Q.S. Ali Imran (3) :19 yang artinya, ‘sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...’ dan Q.S. Ali Imran (3) :85 yang artinya, ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi[26].

Adapun kelompok yang menerima paham atas pluralisme disebut kelompok inklusif. Kelompok inklusif ini berpegang atas pemahaman lakum dinukum wa liya dini artinya untuk kalian agama kalian dan untukkulah agamaku dan la ikraha fi al-din artinya tidak ada paksaan dalam agama. Sejatinya di dalam paham ini tidak ada prinsip mempengaruhi orang lain supaya beralih/murtad atas agamanya, malah mendorong supaya setia terhadap ajaran agamanya. Paham inklusif ini berkaitan dengan teologi pluralis-multikultural yang mengakui perbedaan agama dan budaya adalah sebagai kenyataan sejarah. Yang kemudian bertujuan untuk membangun interaksi intern umat beragama dan antar umat beragama secara harmonis dan damai, juga bersedia aktif dan pro aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan etika kemanusiaan demi mencapai kedamaian yang lebih utuh.


BAB III

Penutup


A. Kesimpulan

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya penggambaran saja bukanlah pluralism. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, dalam rangka memelihara keutuhan bumi, yang merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Untuk menyikapi hal ini, upaya yang perlu dilakukan adalah memahami agama secara padu dan holistic. Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai ajaran perlu diinterpretasi serta dipahami secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong serta tidak terpisah-pisah.

Perlu dicatat bahwa pluralisme bukanlah relativisme yang meletakkan kebenaran atau suatu nilai pada pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Demikian pula, paham ini bukan sinkretisme yang menciptakan agama baru dengan cara memadukan unsur tertentu atau sebagai unsur dari beberapa agama yang ada. Justru melalui pluralism semua penganut agama dituntut memiliki komitmen kukuh terhadap agama masing-masing. Tentunya, pluralism agama tidak bisa berhenti pada tataran pemahaman yang bersifat teoretis belaka. Pluralisme mengandalkan adanya ketulusan hati, niat dan tekad yang perlu ditindaklanjuti melalui serangkaian upaya yang bersifat praktis. Di sini dialog menjadi signifikan untuk dikedepankan. Di samping itu, masing-masing dituntut membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, kemudian mengembangkan suatu kerja sama dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan demi mengangkat derajat kemanusiaan universal.



B. Saran

1. Kami harap pembaca bisa lebih Mengetahui lebih dalam lagi tentang NU.

2. Agar pembaca bisa mengerti apa itu Pluralisme serta pemahamanya.

DAFTAR PUSTAKA


Ali, As’ad Said, Melampau Dialog Agama, Jakarta, Buku Kompas. 2002.
Bruinessen, Martin Van. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakara: LKIS). Yogyakarta. 1994.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru An Hoefe). Jakarta, 1994.
Ghazali, Abd. Moqith. Argumentasi Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita). Jakarta. 2009.
Hamid, M. Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Marwa Anggota IKAPI). Yogyakarta. 2010.
Machasin. Pluralisme Dalam Islam, dalam Pergulatan Pesantren Demokratiasi, (Yogyakarta: L.Kis), (Jakarta: P3M) & (Jakarta: Pact-INPI). 2000
Mustaqim, Abdul. Islam, dalam Meniti Kalam Kerukunan, Jilid 1. Jakarta (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia). 2010.
Rahman, Fazlur dkk. Agama Untuk Manusia, (Penterjemah: Ali Noer Zaman), Yogyakarta ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar). 2000.
Ridwan. Paradigma Politik NU, Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta (Penerbit STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar). 2004
Rozigin, Badiatul dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta (Yogyakarta: e-Nusantara). 2009
Sitompul, Einar Martahan . NU dan Pancasila, Jakarta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan). 1989.



Bahan Internet
http://www. id.Wikipedia.org. Tgl, 11 desember 2014. 05:50
http://www.indonesiatanpa jil.blogspot.com. Tgl, 11 desember 2014. 06:00



[1] Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia.
[2] Lih. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Penerbit LKIS Yogyakarta 1994: hlm. 17
[3] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 34-35.
[4] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 36-37.
[5] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 38.
[6] Anggaran Dasar NU dibuat ketika Muktamarnya yang ketiga tahun 1928.
[7] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 43.
[8] Lih. Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1989: hlm. 190.
[9] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Penerbit STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004: hlm. 79-80.
[10] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm. 83.
[11] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm. 121.
[12] Lih.Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Penerbit Erlangga, Jakarta 2004: hlm. 7-8.
[13] Lih. Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 68-70.
[14] Lih. Nurdinah Muhammad, Pluralisme dan Titik Temu Agama-agama, dalam Hubungan Antar Agama penerbit AK Group (Yogyakarta) dan Ar. Raniry Press (Banda Aceh), 2006: hlm. 73.
[15] DR. Abdul Mustaqim adalah dosen jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini (Saat buku Meniti Kalam Kerukunan diterbitkan), Beliau menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
[16] Lih DR. Abdul Mustaqim, Islam, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, Jilid 1, Prof.Dr.Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan & Pdt. Dr. Djaka Soetapa (ed.), Penerbit (PT. BPK Gunung Mulia, Dialogue Centre Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Theologia UKDW), Jakarta 2010: hlm. 8-10.
[17] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, dalam buku Meniti Kalam…hlm. 10-11.
[18] Lih. Fazlur Rahman, dkk, Agama Untuk Manusia, Ali Noer Zaman (Penterj.), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000: hlm. 75.
[19] Lih. Machasin, Pluralisme Dalam Islam, dalam Pergulatan Pesantren Demokratiasi (editor: Ahmad Suaedy), Penerbit: L.Kis (Yogyakarta), P3M (Jakarta) & Pact-INPI (Jakarta) 2000: hlm. 189.
[20] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 27.
[21] Lih. Abd. Moqith Ghazali, Argumentasi Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Penerbit Kata Kita, Jakarta 2009: hlm. 227-228.
[22] Lih. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru An Hoefe, Jakarta 1994: hlm. 101.
[23] Lih. Abd A’la, Melampau Dialog Agama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2002: hlm. 42-45.
[24] Lih. M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Penerbit Pustaka Marwa (Anggota IKAPI), Yogyakarta 2010: hlm. 13-14.
[25] Lih. Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Penerbit e-Nusantara, Yogyakarta 2009: hlm. 38.
[26] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 6.

Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin Materi Lengkap
Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Berikut adalah karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin[1] :

1. Berkarakter


Karakter-karakter nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang harus dipunyai sebagai seorang pemimpin, karena nabi Muhammad adalah pemimpin yang paling berhasil sepanjang masa.

2. Visi


Setiap pemimpin harus mempunyai visi dan mampu untuk mengkomunikasikan visinya. Visi ini nantinya adalah bahan bakar dan penyulut semangat bagi para pegawai.

3. Semangat


Visi tanpa di dorong semangat adalah seperti mimpi tanpa sebuah aksi. Semangat sangatlah penting sebagai motor untuk menuju kesuksesan yang telah di definisikan di visi.

4. Komunikasi


Kepemimpinan merupakan sebuah skill dalam membangun relasi dan relasi dijalankan melalui komunikasi. Komunikasi adalah juga motor pencapaian visi melalui proses delegasi, bimbingan, pengidentifikasian tugas dan evalusi hasil kerja.

5. Kemampuan untuk membimbing


Pemimpin yang baik bukanlah seorang diktator tapi lebih sebagai supervisor yang bertugas untuk menasehati, menyemangati, mengarahkan dan memberikan penghargaan untuk pegawainya.

6. Berkontribusi pada nilai-nilai kebaikan


Pemimpin yang baik tidak hanya berorientasi pada uang dan materi yang ingin di dapat, tapi juga memiliki motivasi untuk menanamkan nilai kebaikan yang ada. Sebagai seorang pemimpin muslim, maka orientasi tidak hanya dalam bentuk materi dunia tapi juga untuk bekal akherat. Diharapkan dengan kepemimpinan yang berkarakter nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pegawai yang berada pada naungan kita tidak hanya sejahtera di dunia tapi juga memiliki perbaikan-perbaikan akhlak.

7. Kolaborasi


Pemimpin yang tentunya ditandai dengan bisa bekerjasama dengan banyak pihak. Karena tanpa kerjasama yang baik, maka usahapun tidak bisa berkembang, malah cenderung menuju kehancuran.

8. Pencari Ilmu


Seorang pemimpin terus-terusan menambah ilmunya untuk bisa menghadapi tantangan yang ada. Terkadang masalah tidak bisa diselesaikan karena kurangnya pengetahuan kita tentang cara menyelesaikan masalah tersebut. karena itu pemimpin yang baik harus banyak membaca dan rajin mengikuti pelatihan- pelatihan yang bisa meningkatkan kapabilitasnya.

9. Win-Win Solution


Tidak ada seorangpun yang mau rugi dan dirugikan, pemimpin yang baik harus mampu menciptakan suatu kondisi win-win solution jika terdapat suatu masalah di dalam perusahaan. Jangan menggunakan kekuasaan untuk menekan bawahannya demi mencapai apa yang dia inginkan. Berusahalah untuk bernegosiasi dan menentukan solusi yang terbaik bagi semua pihak

Dari semua sifat kepemimpinan diatas saya memiliki sifat yang semangat, inovatif dan kreatif


[1] http://pengusahamuslim.com/sifat-kepemimpinan-yang-harus-dipunyai-1863/

Senin, 07 November 2016

Resensi Buku Akhlak Tasawuf



Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan resensi buku yang berjudul “AKHLAK TASAWUF” tepat pada waktunya. Shalawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Dalam penyusunan resensi buku ini, penulis menyadari telah melibatkan banyak pihak turut serta berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung. Partisipasi yang membawa andil dalam penulisan ini berupa bimbingan, motivasi maupun materi yang tiada ternilai harganya bagi penulis. Guna menghargai seluruh kontribusi yang telah diberikan pihak-pihak yang terkait. Sudah selayaknya penulis menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Drs. H. Barowi, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Ilmu Tasawuf

2. Kedua orang tua yang selalu mendo’akan serta mendukung saya dari belakang menuju kesuksesan.

Adapun tujuan penulisan resensi ini adalah untuk memenuhi tugas individu mata kuliah “Ilmu Tasawuf” pada semester genap. Saya berharap resensi ini dapat memberikan manfaat serta suatu dampak positif bagi kita semua.

Resensi buku Akhlak Tasawuf ini memang jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan arah yang lebih baik. Semoga buku ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin..

Jepara, 27 Juni 2015





Identitas Data Buku


Judul Buku : AKHLAK TASAWUF
Pengarang : Dr. H. Jamil, MA.
Penerbit : Referensi
ISBN : 978-979-915167-4
Edisi/cet : Pertama
Tahun Terbit : 2013
Bahasa : Indonesia
Jumlah Halaman : xii + 244 hlm.
Jumlah Bab : 12 Bab
Kategori : Agama
Design Cover : Kultural
Layout Isi : Rio QQQ
Ukuran : 14,8 x 21 cm

Pendahuluan


Ulasan Pembahasan

Bab I : AKHLAK


A. Pengantar

Misi risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan kepada dunia tentang keesaan Allah dan upaya memperbaiki kondisi kehidupan manusia dalam bingkai Islam sekaligus memperbaiki akhlak manusia.

B. Pengertian Akhlak

Akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan analisa.

C. Ruang Lingkup Akhlak

Akhlak dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai ruang lingkup seperti:

1. Akhlak terhadap Khaliq (Pencipta)

Sikap ini dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

2. Akhlak terhadap Makhluk

Dalam konteks hubunga sesama muslim, maka Rasulullah SAW mengumpamakan bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait dan merasakan penderitaan jika salah satu organ tubuh tersebut mengalami sakit.

D. Akhlak Kepada Lingkungan

Manusia adalah makhluk Allah sejak dahulu merasa mampu melaksanakan amanah yang diberikan Allah kepadanya baik dalam bentuk peribadahan kepada Allah maupun memelihara bumi dan langit tersebut dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka.

E. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral

Etika membahas perbuatan manusia namun bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Moral adalah sebuah ukuran baik dan buruk yang diakui oleh sebuah komunitas masyarakat atau kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama atau tidak.

F. Kajian Akhlak Dalam Lintasan Sejarah

Kajian akhlak dalam sejarah dapat ditemukan pada sejarah Yunani. Kajian-kajian ini berkutat pada masalah etika, moral, dan tingkah laku yang bersumber pada pemikiran tokoh-tokohnya seperti Socrates, Plato dan Aristoteles dan di era Islam dengan tokoh-tokohnya yaitu Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Mikawaih.

G. Kedudukan Akhlak Dalam Ajaran Islam

Ajaran Islam terdiri dari tiga komponen yaitu Islam, Iman dan Ihsan, tiga komponen tersebut saling terkait dan dapat dianggap sebagai sebuah tindakan akhlak terpuji.

H. Akhlak Terpuji dan Tercela

Akhlak terpuji meliputi karakter-karakter yang diperintahkan Allah dan Rasul seperti: rasa belas kasihan dan lemah lembut, pemaaf, dapat dipercaya dan menepati janji, manis muka dan tidak sombong, malu, sabar, tolong-menolong dan lain-lain.

Sedangkan akhlak tercela meliputi: egois, kikir, berdusta, khianat, pengecut, menggunjing, dengki, berbuat kerusakan, berlebih-lebihan, berbuat zalim dan berbuat dosa besar.

I. Kriteria Seseorang Telah Mencapai Tingkatan Akhlak Terpuji

Empat kriteria seseorang telah mencapai tingkatan akhlak terpuji menurut Imam Ghozali adalah: bijaksana, menjaga kesucian diri, berani dan adil.

J. Hubungan Akhlak dan Tasawuf

Akhlak merupakan awal perjalanan tasawuf, sedang tasawuf merupakan akhir perjalanan akhlak.

K. Urgensi Akhlak di Jaman Modern

Kehidupan modern yang cenderung bisa menyebabkan dehumanisasi (tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan) dan alienasi (merasa terasing dalam kehidupan) memerlukan terapi konkret berupa keharusan manusia untuk dekat kepada Allahda memperbaiki hubungan sosialnya dengan manusia lain.

L. Akhlak Dalam Kehidupan Keluarga

Keluarga sebagai organisasi sosial terkecil memainkan peran yang signifikan dalam menyebarkan nilai-nilai akhalak kepada masyarakat. Sebuah komunitas masyarakat yang dilandasi nilai-nilai akhlak yang mulia biasanya diawali dari keluarga-keluarga yang memiliki akhlak yang baik.

Bab 2: Pengertian, Dasar-Dasar & Sejarah Asal Usul Tasawuf


A. Memahami Arti dan Tujuan Tasawuf

Kata tasawuf berkonotasi pada kebijakan, keucian hati dari godaan hawa nafsu, memutuskan ketergantungannya dengan kehidupan material yang dapat mengganggu hubungan dengan Tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri dalam ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.

Tasawuf berkutat pada kegiatan-kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah.

B. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal yang terdapat di dalm tasawuf di antaranya sebagai berikut:

واذكر الله كثيرًا لعلّكم تفلحون (الأنفال: ٤٥)

“dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”

C. Dasar-Dasar Dari Sunnah Rasulullah SAW

Ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari Al-qur’an dan Al-Sunnah, karena amalan para sahabat, tidak keluar dari ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, seperti hadist ini:

.....أعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك (متفق عليه)

“sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim).

D. Kontroversi Asal Usul Tasawuf

1. Unsur Nashrani

Dari literatur tasawuf terlihat bahwa ada beberapa hal yang dikatakan bersumber dari agama Nasrani. Di antaranya sifat fakir, karena menurut keyakinan Nashrani bahwa Isa adalah orang yang fakir dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir.

2. Unsur Hindu-Budha

Paham fana yang ada dalam tasawuf dikatakan hampir sama dengan nirwana dalam agama Budha, dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif.

3. Unsur Yunani

Ada penetrasi budaya Yunani ke dalam budaya Islam lewat bacaan-bacaan yang diterjemahkan. Disadari atau tidak bacaan-bacaan tersebut telah mempengaruhi orang-orang Islam khususnya dalam bidang filsafat.

4. Unsur Persia

Belum ditemukan dalil yang kuat yang menerangkan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia melalui ahli-ahli tasawuf.

E. Komentar

Jika tasawuf diidentikkan dengan khouf, raja’, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah dan lainnya, maka Rasulullah dan para sahabatnya telah mempraktekkan hal ini. Mereka bisa mengamalkan hal itu tanpa dengan buku-buku Persia, Hindu-Budha dan lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, meskipun dalam perkembangannya mungkin banyak pengaruh-pengaruh asing dan sudah bnyak perubahan.

F. Istilah Syari’at Dan Hakikat

Syari’at meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aqidah, ibadah maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi, syari’at berarti amal ibadah lahiriah (eksoterik).

Hakikat dalam pandangan tasawuf adalah inti atau rahasia yang paling dalam dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.

Bab 3: Pengenalan Tasawuf Akhlaqi dan Falsafi


A. Sejarah Ringkas

Tasawuf dibagi menjadi dua bagian: tasawuf akhlaqi (konsentrasinya pada teori-teori perilaku, akhlak atau budi pekerti) dan dikembangkan oleh ulama-ulama salaf, dan tasawuf falsafi (yang didasarkan pada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat dikembangkan oleh ahli sufi sekaligus filosof.

1. Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Pada periode ini tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud). Tokoh-tokohnya dari golongan sahabat yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Al-Yaman dan lain-lain. Dan dari golongan tabi’in yaitu Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi’ah Al-Adawiyah dan lain-lain.

2. Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Tasawuf mulai berkembang dan di fokuskan kepada tiga hal: a) jiwa tasawuf yang berisi cara pengobatan jiwa, b) akhlak, tasawuf yang berisi teori-teori tentang bagaimana berakhlak mulia dan menghilangkan akhlak buruk, c) metafisika, tasawuf yang berisi teori ketunggalan hakikat Ilahi atau kemutlakan Tuhan. Tokoh-tokohnya Ma’ruf Al-Karkhi, Surri Al-Saqti, Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Busthami dan lain-lain.

3. Abad Kelima Hijriyah

Pada periode ini lahirlah seorang tokoh sufi besar Al-Ghazali yang melancarkan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebatinan dan berupaya mengembalikan tasawuf kepada ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Tokoh-tokohnya adalah Al-Qusyairi dan Al-Harawi.

4. Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah

Kembali munculnya tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni tasawuf dan juga tidak murni filsafat yang lebih dikenal dengan nama tasawuf falsafi. Tokohnya adalah As-Suhrawardi, Mahyuddin Ibn ‘Arabi, Ibn Sab’in dan lain-lain.

5. Abad Kedelapan Hijriyah dan seterusnya

Pada periode ini tasawuf mengalami kemunduran, itu semua karena orang-orang yang berkecimpung di dalam tasawuf kegiatannya terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta memfokuskan pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi tasawuf.

B. Tasawuf Akhlaqi

Adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Untuk menghilangkan penghalang yang membentengi manusia dengan Tuhannya, ada tiga tahapan yang harus dijalani yaitu:

1. Takhalli, yaitu usaha membersihkan diri dari semua perilaku tercela, baik maksiat batin maupun maksiat lahir.

2. Tahalli, yaitu tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela.

3. Tajalli, yaitu tersingkapnya nur ghaib.

Untuk melanggengkan dan memperdalam rasa kedekatan dengan Tuhan, para sufi mengajarkan munajat, muhasabah, muraqabah, kastrat al-dzikr, dzikr al-maut dan tafakkur.

C. Tasawuf Falasafi

Tasawuf jenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya karena teori-teorinya lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan kepada rasa atau dzauq.



Bab 4: Maqamat dan Ahwal


A. Maqamat (Stages)

Maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Maqamat meliputi: taubat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridha.

B. Ahwal (States)

Ahwal adalah suatu kondisi keadaan jiwa yang diberikan Allah tanpa upaya dari orang yang berkenaan. Ahwal meliputi: muraqabah, mahabbah, khawf (takut), raja’ (berharap), al-syauq (rindu) dan al-uns (intim).

C. Metode Irfani

Penyingkapan pengetahuan dengan sarana qalb yang suci merupakan lingkup irfaniyah, di mana ma’rifah hanya dapat diperoleh seseorang setelah memiliki qalb yang suci. Dalam metode irfani ada beberapa tahapan untuk mencapai ma’rifah yaitu riyadhah, tafakkur, tazkiyah al-nafs dan dzikrullah.

Bab 5: Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filasafat, Fiqih dan Ilmu Jiwa Agama


A. Ilmu Dalam Pandangan Kaum Sufi

Ilmu dalam Islam dibagi atas dua bagian yaitu ilm al-muktasab (diperoleh lewat proses pembelajaran) dan ilm ladunni (tanpa proses pembelajaran). Para sufi sangat menghargai ilm muktasab, hal ini terlihat dari guru-guru kaum sufi yang mencapai tingkatan tinggi dalm penguasaan berbagai ilmu seperti Imam Ghazali, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecam ilmu, maka itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu.

B. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam

Ilmu kalam menjelaskan bahwa Allah itu Esa, Maha Pengasih dan Penyayang, maka ilmu tasawuf mengemukakan bahasan bagaimana merasakan Esa dan kasih sayang Tuhan tersebut.

C. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Fiqh

Ilmu tasawuf memberikan unsur-unsur batiniyah kepada fiqih. Fiqih akan terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa amar kering tanpa tasawuf. Sebaliknya fiqh pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf terhindar dari kebenaran sendiri yang batiniyah tanpa memerhatikan aturan-aturan lahiriyah.

D. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Filasafat

Filsafat telah memberikan sumbangan dalam dunia tasawuf. Kajian-kajian filsafat tentang roh banyak dikembangkan dalam tasawuf, khususnya tasawuf falsafi.

E. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa

Di dalam tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku manusia dengan dorongan yang dimunculkan oleh jiwanya sehingga perbuatan tersebut dapat terjadi.

Bab 6: Tasawuf Akhlaqi


A. Hasan Al-Basri

Nama lengkapnya, Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar lahir di Madinah 21 H (642 M), dan meninggal di Bashrah 110 H (728 M). beliau terkenal di kalangan tabi’in sebagai orang yang zahid. Kezahidannya didasarkan kepada rasa takut (khouf) yang mendalam kepada Allah.

B. Al-Muhasibi

Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Bashri Al-Muhasibi (165-243 H) lahir di Bashrah. Beliau adalah seorang sufi yang menyatukan antara ilmu syari’at dan ilmu hakikat.

C. Al-Qusyairi

Nama lengkapnya ‘Abd Al-Karim bin Hawazin Qusyairi, lahir di Istiwa’ Nais (376-465 H). Beliau mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf, Ia mengemukakan konsep-kkonsep mengompromikan antara syari’at dan hakikat, antara dzahir dan yang bathin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

D. Al-Ghazali

Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Al-Tusi Al-Syafi’i Al-Ghazali. Lahir di Gazalah daerah Tus wilayah Khurusan Iran. Dalam tasawuf Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl As-Sunnah wal Jama’ah. Dia menjauhkan tasawufnya dari kecenderungan gnostis dan teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles (emanasi dan penyatuan).

Bab 7: Tasawuf Irfani


A. Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah Al-Adawiyah dianggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dari konsep zuhud berdasarkan cinta (al-hubb).

B. Dzun al-Nun al-Mishri

Beliau adalah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Beliau juga dipandang sebagai bapak faham ma’rifah. Menurutnya ma’rifah ada tiga macam 1. ma’rifah orang awam, 2. ma’rifah para teolog da filosof, 3. ma’rifah para wali-wali Allah.

C. Al-Junaid

Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan pada kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidak akan dapat dicapai dengan akal fikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemberian dari Tuhan.

D. Al-Bustami

Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dianggap sebagai pembawa faham fana’ dan baqa’ dan sekaligus pencetus faham ittihad.

E. Al-Hallaj

Ada tiga ajaran pokok tasawuf Al-Hallaj yaitu: (1) hulul, (2) haqiqah Muhammadiyah dan (3) wahdah al adyan.

Bab 8: Tasawuf Falsafi


A. Ibn ‘Arabi

Di antara ajaran terpenting Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

B. Al-Jilli

Al-Jilli termasuk dalam kelompok sufi yang berpandanga bahwa yang ada ini adalah tunggal, semua perbedaan pada hakekatnya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. Allah adalah substansi dari yang ada ini. Substansi yang dinamakan Al-Jilli dengan Zat Mutlak ini, memanifestasikan diri melaluui tiga taraf, yaitu: ahadiyah, huwiyah dan aniyah.

C. Ibn Sab’in

Ibn Sab’in mempunyai teori al-ihathah yaitu bahwa wujud secara keseluruhan adalah satu kesatuan. Menurutnya wujud berdasarkan jenisnya terbagi tiga: 1. Wujud muthlaq, yaitu Allah sendiri, 2. Wujud muqayyad, suatu wujud zat yang bergantung kepada wujud lainnya, 3. Wujud muqaddar, segala peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Bab 9: Seputar Tarekat (Thariqah)


A. Pengertian Tarekat



B. Tarekat Yang Berkembang Di Indonesia

C. Argumentasi Beberapa Praktek Praktis Tarekat

Bab 10: Tasawuf di Indonesia


A. Aliran Tasawuf Falsafi (Hamzah Al-Fansuri)

B. Aliran Tasawuf Sunni (Ar-Raniri Dan Al-Palembani)

1. Ar-Raniri

2. Al-Palembani

C. Tasawuf Modern (Hamka)

Bab 11: Seputar Tasawuf Syar’i


A. Meluruskan Penyimpangan

1. Syari’ah Dan Haqiqah (Hakikat)

2.

3. Motivasi Ibadah

4. Wahdat Al-Wujud

5. Hormat Kepada Syaikh

6. Jihad

7. Pengangguran

8. Komentar

B. Merumuskan Landasan Tasawuf Syar’i

Bab 12: Penutup




Kelebihan

1. Kelebihan dari buku ini adalah mampu memberikan informasi tentang akhlak, mulai dari pengertian secara umum hingga pada hal-hal yang sangat penting dalam proses pembentukan akhlak al-karimah.

2. Terdapat keterangan pada kata-kata asing.

3. Penjelasannya sangat rinci.

4. Dalam penjelasanya memberikan ta’rifnya secara teologis dan dapat menggambarkan dalam sejarah-sejarahnya.

Kekurangan

1. Sebagian ayat Al-Qur’an, lafadz hadist dan maqolah ulama ada yang berharakat dan ada yang tidak berharakat.

2. Bahasanya sedikit sulit difahami dalam segi pengertianya

3. Masih adanya kesalahan penulisan di beberapa tempat.

4. Biografi pengarang tidak dicantumkan, jadi kurang bisa memahami sejarah sekaligus back ground dari penulis sendiri.

5. Tidak adanya indeks untuk kata-kata yang sulit dimengerti.

6. Tidaka adanya Glosarium sebagai penjelasan dalam kaliamat yang sulit untuk difahami.





Penutup


Alhamdulilah telah sampailah pada akhir bacaan resensi dalam buku Akhlak tashawuf, semoga pembaca dapat lebih jeli dalam membaca dan memberikan penilaian serta pandangan dalam bebagai sudut pandang. Karena dapat menjadi tolak ukur pemahaman isi dalam buku yang sudah dibaca.

Harapan penulis semoga bisa diberikan saran, da nada keperdulian sehingga menimbulkan kritikan untuk penulis supaya dapat lebih menghasilkan resnsi yang sempurna, walaupun dalam resnsi yang telah dibuat sangat jauh dari kata sempurna.

Masyarakat Madani

Ciri-ciri Masyrakat Madani Materi Lengkap
Ciri-ciri Masyrakat Madani Materi Lengkap

A. Pendahuluan


1. LatarBelakang

Masyarakat Madani diprediksi sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masrakat madani, untuk itu kehidupan rakyat Indonesia akan mengalami perubahanyang fundamentalyang tentu akan berbeda dengan kehidupan masyrakat Indonesia pada orde baru.

karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan dikatakan akan memungkinkan “terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemajemukan (pluralisme)”, serta taqwa, jujur, dan taat pada hukum negara.

Masyarakat Madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai terobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menhghadapi perubahan masyarakat dan zaman.

2. RumusanMasalah

a. Apa yang dimaksud Masyarakat Madani itu?

b. Bagaimana ciri-ciri Masayarakat Madani?

c. Apa karakteristik Masyarakat Madani?

d. Apa Nilai-nilai yang terkandung dalam Masyarakat Madani?



3. Tujuan

a. Pembaca dapat memahami Masyarakat Madani.

b. Agar pembaca mengerti bagaimana karakteristik Masrakat Madani.

c. Pembaca mengetahui ciri-ciri Masyarakat Madani.


B. Pembahasan


1. Masyarakat Madani


Istilah madani secara umum dapat diartikansebagai adab atau beradab. Masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakatyang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupanya. Masyarakat madani disebut pula dengan civil society. Civil society berasal dari kata civillis societas yang merupakan bahasa Latin. Masyarakat madani tidak terbentuk begitu saja karena ada persyaratan yang harus dipenuhi, seperti adanya keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Kontrol masyarakat dalam proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan rakyat dalam memilih pemimpinya.

Civil society merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa ( bukan oleh pejabat pemerintah). Adapun pendapat beberapa ahli mengenai masyarakat madani, antara lain, sebagai berikut.

a. Riswanda Imawan

Masyarakat madani merupakan konsep keberadaan suatu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri melalui penciptaan aktivitas mandiri, dalam satu ruang gerak yang tidak memungkinkan melakukan intervensi.

b. Zbigniew Rau

Masyarakat madani adalah sebuah ruang dalam masyarakat bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, yang diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualis, pasar (market) dan pliralisme.

c. Eisenstadt

Civil society adalah sebuah masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok, dalam negara maupun berinteraksi dengan negara secara independen.

d. Nicos Mouzelis

Civil society adalah tatanan sosial, dimana ada perbedaan yang jelas antara bidang individu, bidang publik dan tingkat mobilitas sosial dari warga masyarakat.

e. Anwar Ibrahim

Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.

Secara umum, civil society dapat juga diartikan suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisasi, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.

Meskipun masyarakat madani bebas dari pengaruh kekuasaan negara dan dikatakan mandiri, namun tidak berarti terbebas dari tatanan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, kemandirian harus tetap dijalankan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Larry Diamond berpendapat bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, suka rela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.

Menurut Larry Diamond yang dapat disebut sebagai civil society adalah sebagai berikut.

a. Perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif.

b. Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, dan lain sebagainya.

c. Organisasi-organisasi yang bergerak dibidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-ide, berita, dan informasi publik.

d. Gerakan-gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi, dan sebagainya.



2. Ciri-ciri Masyarakat Madani


Untuk mewujudkan masyarakat madani dalam suatu negara demokratis, harus ada upaya yang nyata dari pihak pemerintah dan rakyat. Terwujudnya masyarakat madani didukung oleh masyarakat yang mandiri, dan peradaban yang telah maju. Kemajuan peradaban dapat dilihat dari tingkat pendidikan maupun pemikiran masyarakatnya. Kesediaannya aktif dalam pemerintah, cerdas, kreatif, dan siap menghadapi setiap tantangan.

Masyarakat madani bukan tipe masyarakat yang pasif dan pasrah menerima keadaan, melainkan masyarakat yang aktif dan mau melibatkan diri dalam mewujudkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik.

Prof. Dr. A.S. Hiakam mengemukakan ciri-ciri pokok masyarakat madani sebagai berikut.

a. Kesukarelaan

Keanggotaan masyarakat madani bersifat sukarela, tanpa paksaan. Jadi, kesediaan menjadi anggota karena pemahaman dan kesadaran akan pentingnya tercipta masyarakat madani demi tercapainya tujuan bersama. Dengan sifat tersebut, maka tanggung jawab masing-masing pribadi pun terasa kuat.

b. Keswasembadaan

Keanggotaan masyarakat madani bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain ataupun negara dan lembaga-lembaga lainnya. Para anggota mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk berdiri sendiri dan membantu sesama lain yang kekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut adalah anggota yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun masyarakat.

c. Kemandirian Yang Tinggi Terhadap Negara

Para anggota masyarakat madani adalah manusia-manusai yang percaya diri sehingga tidak bergantung pada perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang terlahir dari kesepakatan tersebeut merupakan tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.

d. Keterkaitan pada Nilai-Nilai Hukum yang Disepakati Bersama

Hal ini berarti bahwa suat masyarakat madani adalah suatu masyrakat yang berdasarkan hukum bukan negara kekuasaan.

Adapun menurut Nurcholis Madjid ciri-ciri masyarakat madani adalah sebagai berikut.

1) Semangat egalitarianisme atau kesetaraan.
2) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain.
3) Keterbukaan.
4) Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
5) Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan.

Selain ciri-ciri pokok tersebut terdapat karakteristik masyarakat madani yang perlu kita pelajari karena dalam upaya mewujudkan masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang bersifat universal.

Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.

a) Ruang Publik yang Bebas

Yaitu adanya ruang publik bebas sebagai sarana dalam mengemukaan pendapat. Menurut Aredt dan Habermas ruang publik secara teoritis diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
 
b) Demokratis

Merupakan satu identitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh dalam menjalankan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakt dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, budaya, dan lain-lain. Demokrasi dapat terwujud melalui penegakan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:

a) Lembaga swdaya Masyarakat (LSM)
b) Pers yang bebas
c) Supremasi hukum
d) Perguruan tinggi
e) Partai politik


c) Toleran

Toleran adalah sikap yang saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain.

d) Pluralisme

Menurut Nurcholis Madjid konsep pluralisme adalah pertalian sejatikebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Pluralisme harus dipahami secara mengakar dangan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

e) Keadilan Sosial

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehingga dengan adanya keadilan memungkinkan tidak adanya monopoli atau pemusatan salah satu aspek kehidupan suatu kelompok masyarakat.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia

a) Kebhinnekaan masyarakat, dimana kelompok-kelompok masyarakat yang ada saling hidup berdampingan , tolong-menolong dan saling menghargai dan dapat hidup dengan damai.

b) Treselenggaranya negara yang demokratis baik dalam kehidupan bermsyarakat dan berbangsa, dimana hak-hak warga negara diakui dan dilindungi, baik oleh aparat maupun masyarakat sendiri

c) Bahwa untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat, maka hukum sebagai pranata pengatur kehidupan masyarakatguna menyelenggarakan kepastian hukum dan keadilan perlu dijinjung tinggi baik oleh anggota masyarakat maupun oleh pemerintah.

d) Untuk mewujudkan masyarakat yang beretika dan bermoral yang tinggi, baik oleh warga negara maupun aparat pemerintah sehingga tindakan-tindakan tercela tidak dilakukan. Namun, bilamana terjadi juga maak hkum akan diberlakukan kepada pelakunya, siapapun dia.

Perkembangan masyarakat madani berada pada tiap-tiap negara. Bahkan, bagi negara yang sudah maju pun, bisa berbeda satu sama lain. Karena dalam menentukan tingkat perkembangan madani perlu mempertimbnagkan beberapa faktor, seperti dimensi kultural (kebudayaan), dan identitas kebersamaan (rasa etnisitas, agama, ideologi, dan lain-lain).



3. Demokratisasi Menuju Masyarakt Madani (Civil society)


Demokratisasi berarti pendemokrasian, bersifat demokratis, atau berarti demokrasi. Dapat diartikan pula bahwa demokratisasi adalah proses pelaksanaan demokrasi dalam proses kehidupan politik, kenegaraan dan kemasyarakatan.

Demokratisasi dalam pelaksanaan pemerintahan ditunjukkan melalui ciri-ciri sebagai berikut.

1) Setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu melibatkan keikutsertaan anggota masyarakat (participation).

2) Tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dibawah.

3) Bertumpu pada penegakan hukum dan aturan hukum (law enforcement and rule of law)

4) Terbuka pada keanekaragaman anggotanya (inclusivines).

5) Bertumpu pada konsensus (consensus)

6) Dapat dipertanggungjawabkan pada anggotanya (accountability)

7) Efisien, efektif, stabil dan bersih (cheks and balance)

8) Adanya proses yang transparansi (transparancy)

Sebuah negara demokrasi diindakasikan dengan pengakuan hak asasi manusia. Selain itu, masih terdapat unsur-unsur yang harus diterapkan oleh sebuah negara demokrasi. Karena dalam negara demokratislah dapat tumbuh dan berkembang masyarakat madani. Sebaliknya jika masyarakat madani berkembang dengan baik, maka proses demokratisasi juga berkembnag dengan baik.

Masyarakat madani mencerminkan kehidupan masyarakat yang mandiri, cerdas, beradab, sejahtera, memiliki tingkat kemampuan yang tinggi, serta mampu bersikap kritis/peka terhadap kehidupan sosial dan berpartisipasi dalam menghadapi persoalan sosial. Terwujudnya masyarakat madani bergantung pada komponen pokok, yaitu masyarakat dan pemerintah. Kadua komponen tersebut harus saling mendukung dan bekerja sama.

Pemerintah harus memberi akses yang mudah bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, harus terbuka saat menerima kritikan dari rakyat. Sebaliknya rakyat harus percaya pada kinerja pemerintah. Meskipun mempunyai hak untuk mengeluarkan aspirasi dan kritikan, hal tersebut harus dilakukan secara wajar, artinya tidak melampaui ketentuan yang berlaku.

Situasi politik di Indonesia saat ini kita rasakan mulai mengindikasikan terwujudnya masyarakat madani. Hal ini dapat dilihat dengan aktifnya rakyat aktif menyuarakan aspirasinya, walaupun hanya melalui aksi demonstrasi. Namun hal tersebut efektif karena peemrintah pun mulai bersedia merespon suara-suara rakyat.

Indikasi lainnya juga terlihat dari seringnya rakyat melakukan diskusi atau musyawarah, yang cenderung masyarakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dan senantiasa menghargai pendapat orang lain.

Namun mewujudkan masyarakat madani bukan berarti tanpa hambatan. Apalagi dengan adanya perbedaan suku, ras, budaya, agama maupunj kepentingan satu sama lain. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu sebagai berikut.

a. Keyakinan


Menumbuhkan keyakinan pada masyarakat mengenai pentingnya mewujudkan suatu masyarakat madani. Masyarakat madani pada akhirnya juga menguntungkan masyarakat itu sendiri, karena masyarakat madani menjadi pelaku utama penyelenggara pemerintahan dan menjadi jalan yang mudah untuk mewujudkan sistem sosial yang dicita-citakan.

b. Kepercayaan


Rasa saling percaya dalam masyarakat sangat penting dalam mewujudkan masyarakat madani. Sebab sangat mustahil muncul kerja sama jika satu sama lain tidak saling percaya. Rasa saling percaya dapat ditumbuhkan dengan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai dimensi kehidupan.

c. Parsamaan tujuan dan misi


Karakteristik dalam masyarakat yang berbeda-beda janganlah dijadikan sebagai pemicu pertikaian, tetapi bagaimana perbedaan tersebut bisa disikapi serta diarahkan menjadi satu hal yang bersifat uniformity(keseragaman), tetapi dalam wujud unity (kesatuan). Oleh karena untuk mewujudkan cita-cita masyarakat harus diupayakan adanya kesamaan pandangan mengenai tujuan dan misi.

d. Satu hati dan saling tergantung


Apabila sudah tercipta rasa saling percaya selanjutnya dibutuhkan kondisi satu hati untuk menentukan arah kehidupan. Apabila tercpta rasa satu hati, maka akan tercipta rasa saling ketergantungan. Hal itu dapat dilihat dari makin menguatnya rasa saling tergantung antara individu dan masyarakat.

Saling bergantung bukan berarti tidak bisa mandiri sehingga hanya bisa mengandalkan orang lain, melain ka diartikan sebagai saling membutuhkan serta saling terikat satu sama lain. Sebab, orang yang saling membutuhkan lebih mudah dalam menggalang kerja sama. Rasa saling membutuhkan antar berbagai unsur masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat.

e. Pamahaman yang sama


Untuk membentuk masyarakat madani diperlukan adanya pemahaman yang sama menganai apa dan bagaimana karakteristik masyarakat madani. Secara konsepsional, prinsip-prinsip masyarakat madani harus dipahami bersama sehingga relatif tidak ada yang tidak memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat madani dalam dinamika kehidupan masyarakat. Setelah masyarakat paham, maka langkah-langkah pemenuhan syarat-syarat sebelumnya akan lebih mudah.

Meskipun aktifitas masyarakat madani terbilang bebas dari kekuasaan pemerintah, namun mereka tetap berada pada jalur yang benar, artinta mereka tetap patuh pada peraturan yang ditentukan oleh pemerintah. Selain itu, amsyarakt madani juga bisa bertindak sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah agar tidak sewenng-wenang dan hak asasi warga terkenang. Karena untuk mewujudkan masyarakat madani, hak asasi warga negara harus terjamin pelaksnaannya.

C. Penutup


1. Kesimpulan

Masyarakat Madani dapat diartikansebagai adab atau beradab, dan menjadi salah satu tujuan negara yang dicita-citakan untuk mencapai kesejahteraan dengan melalui beberapa aspek, dan karakteristik yang sudah di perhitungkan.

Masyarakat madani juga mempunya ciri-ciri yang bisa dijadikan sistem kenegaraan dalam mencapai tujuan masyarakat yang makmur dan sejahtera, antra lain ciri-cirinya yaitu:
a. Kesukarelaan.
b. Keswasembadaan.
c. Kemandirian yang tinggi terhadap negara.
d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati.

Hal inilah yang menjadi tolak ukur tercapainya Masyarkat madani pada negara yang mempunyai tujuan kemakmuran dan mencapai kesejahteraan, negara juga harus mempunyai demokrasi yang transfaran dalam kepemerintahanya.

Masyarakat madani ini sangat mempunyai ciri khas yang menjadikan tujuan negara pada masa ini untuk mencapai tujuan.


2. Kata Penutup

Demikianlah makalah ini penulis buat dengan sebenar-benarnya. Penulis yakin didalamnya masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca dan dosen agar bisa membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya. Atas perhatian dan sarannya penulis ucapkan terimakasih.

DartarPustaka


Hikam, Muhammad A.S. 1999. Demokrasidan civil society.Jakarta: LP3S.
http://www.slideshare.net/mobile/suherlambang/masyarakat-madani-15763229

Kekeliruan Berfikir, Jangan Sampai Kamu Lakukan

kekeliruan berfikir materi lengkap
kekeliruan berfikir materi lengkap

BAB I

PEMBAHASAN


A. Pengertian Kekeliruan Berfikir.


Perkataan fallacy dalam bahasa Inggris secara umum berarti gagasan atau keyakinan yang salah (palsu), dalam arti teknis yang sempit itu perkataan fallacy kita terjemahkan dengan istilah “Kerancuan berfikir” atau “Berfikir rancu” yang semuanya menunjuk pada jalan pikiran yang tidak tepat atau keliru. Jadi, kekeliruan berfikir adalah bentuk-bentuk atau jenis-jenis argument yang tidak tepat atau yang salah (incorrect argument).[1]

B. Macam-Macam Kekeliruan Berfikir.


Dalam ilmu logika kekeliruan berfikir terbagi menjadi tiga yaitu kekeliruan formal, kekeliruan informal dan kekeliruan karena penggunaan bahasa.

1. Kekeliruan Formal.


Kekeliruan formal adalah bentuk-bentuk jalan pikiran yang keliru yang memperlihatkan bentuk-bentuk luar yang sama dengan bentuk-bentuk argument yang valid. Terdapat beberapa contoh kekeliruan formal yaitu[2]:

a. Fallacy of four terms (kekeliruan karena menggunakan empat term).

Kekeliruan berpikir karena menggunakan empat term dalam silogisme.Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda.

Contoh: Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan. Orang yang berpenyakit panu dapat menularkan penyakitnya, jadi orang yang panuan harus diasingkan.

b. Fallacy of undistributed middle (kekeliruan karena kedua term penengah tidak mencakup).

Kekeliruan berpikir karena tidak satu pun dari kedua term penengah mencakup.

Contoh: Orang yang terlalu banyak masalah kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak masalah.

Orang yang suka berjemur kulitnya hitam. Gadis itu berkulit hitam, karena itu tentulah ia suka berjemur.

c. Fallacy of illcit process (kekeliruan karena proses tidak benar).

Kekeliruan berpikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup.

Contoh: Gajah adalah binatang. Ular bukanlah gajah, karena itu ular bukanlah binatang.

d. Fallacy of two negative premises (kekeliruan karena menyimpulkan dari dua premis negative).

Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa di tarik konklusi.

Contoh: tidak satu pun barang yang itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.

e. Fallacy of affirming the consequent (kekliruan karena mengakui akibat).

Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya.

Contoh: Bila presiden A terpilih, Ekonomi akan lebih baik, Sekarang ekonomi lebih baik, jadi presiden A terpilih.

f. Fallacy of denying antecedent (kekeliruan karena menolak sebab).

Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana.

Contoh: jika presiden datang maka semua orang kkan mengerumuni, sekarang presiden tidak datang, jadi orang-orang tidak mengerumuni.

g. Fallacy of Disjunction (kekeliruan dalam bentuk disyungtif).

Kekeliruan berpikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama, kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternative pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain.

Contoh: Ani pergi ke Jepara atau ke Kudus. Ternyata Ani tidak ada di Jepara.Berarti Ani di Kudus. (padahal bisa saja Ani tidak di Jepara maupun di Kudus.

h. Fallacy of Incosistency (kekeliruan karena tidak konsisten).

Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya.

Contoh: Tugas makalah saya sudah sempurna, hanya saja saya harus melengkapi sedikit kekurangannya.



2. Kekeliruan Informal.


Pada kerancuan informal tidak terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan formal dalam berargumen, sekurang-kurangnya tidak terjadi pelanggaran secara langsung terhadap aturan aturan formal.Meskipun demikian, kesimpulan yang diajukan atau ditarik sesungguhnya tidak mendapat dukungan premis-premis yang diajukan dalam argument yang bersangkutan.[3]Berikut dibawah ini adalah kekeliruan informal:

a. Fallacy of Hasty Generalization (kekeliruan karena membuat generalisasi yang terburu-buru)[4].

Yaitu, mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya.

Contoh: Dia seorang yang cantik, mengapa sombong?.Kalau begitu orang cantik memang sombong.

b. Fallacy of Forced Hypothesis (kekeliruan karena memaksakan praduga).

Yaitu, kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan.

Contoh: Seorang mahasiswa pergi ke kampus dengan wajah dan pakaian lusuh sekali, seorang temannya menyatakan bahwa itu semua adalah kebiasaan yang sering sekali dilakukan dalam kehidupanya, padahal sebenarnya wajah dan baju lusuh itu karena akibat sakit.

c. Fallacy of Begging the Question (kekeliruan karena mengundang permasalahan).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya.

Contoh: Pengacara X memang luar biasa hebatnya(disini orang hendak membuktikan bahwa pengacara X memang hebat dengan banyaknya Clien, tanpa bukti kualitasnya diuji terlebih dahulu ).

d. Fallacy of Circular Argument (kekeliruan karena menggunakan argument yang berputar).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argument berikutnya. Contoh: Prestasi kampus X semakin menurunkarena banyaknya mahasiswa yang malas. Mengapa banyak mahasiswa yang malas ?karena prestasi kampus menurun.

e. Fallacy of Argumentative leap (kekeliruan karena berganti dasar).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturnkan dari premisnya.Jadi mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula.

Contoh: Pantas ia memeiliki harta yang melimpah, sebab ia cantik dan berpendidikan tinggi.

f. Fallacy of Appealing to Authority(kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut.

Contoh: Shampo merk X sangat baik mengatasi kerontokan, sebab Agnes Monica mengatakan demikian.

(Agnes Monica adalah seorang penyanyi, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai baik tidaknya shampoo sebab ia adalah penyanyi bukan pakar kesehatan rambut).

g. Fallacy of Appealing to force (kekeliruan karena mendasarkan diri pada kekuasaan).

Yaitu kekeliruan berpikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argument seseorang dengan menyatakan seperti ini.

Contoh: Anda masih saja membantah dan tidak terima dengan pendapatku, kamu itu siapa dan sejak kapan kamu duduk sebagai anggota Dewan ?, aku ini sudah lebih lama dari pada kamu.

h. Fallacy of Abusing (kekeliruan karena menyerang pribadi).

Yaitu, kekeliruann berpikir karena menolak argument yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.

Contoh: Jangan dengarkan pendapatnya tuan X karena ia pernah masuk penjara.

i. Fallacy of Ignorance (kekeliruan karena kurang tahu).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar.

Contoh: kalaukau tidak bisa membuktikan kalau setan itu tidak ada, maka jelaslah pendapatku benar bahwa setan itu tidak ada.

j. Fallacy of Complex question (kekeliruan karena pertanyaan yang ruwet).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak.

Contoh: apakah engkau sudah menghentikan kebiasaan memukuli istrimu? (pertanyaan ini menjebak karena jika dijawab “Ya” maka berarti si suami pernah memukuli istrinya. Jika dijawab “Tidak” maka berarti si suami terus memukuli istrinya.Padahal barangkali si suami tidak pernah memukuli istrinya).

k. Fallacy of oversimplification (kekeliruan karenan alasan terlalu sederhana).

Yaitu kekeliruan berpikir karena berargumen dengan alasn yang tidak kuat atau tidak cukup bukti.

Contoh: Dia adalah siswa terpandai di kelasnya, karena dia mempunyai banyak teman.

l. Fallacy of Accident (kekeliruan karena menetapkan sifat).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya. Contoh: Bahan hidangan untuk pesta besok sudah dibeli tadi pagi. Bahan hidangan untuk pesta yang dibeli tadi pagi sudah busuk. Jadi, hidangan untuk pesta sekarang sudah busuk.

m. Fallacy of irrelevant argument (kekeliruan karena argument yang tidak relevan). Yaitu kekeliruan berpikir karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang jadi pokok pembicaraan.

Contoh: Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkau mau telanjang ke perjamuan itu?







n. Fallacy of false analogy (kekeliruan karena salah mengambil analogi).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar.

Contoh: Manusia butuh makanan agar tetap hidup, itu berarti sepeda motor juga perlu makanan untuk dapat hidup.

o. Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan karena mengundang belas kasih ).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang di harapkan.

Contoh: dalam kasus seorang anak muda yang diadili karena membunuh ibu ayahnya sendiri dengan kapak, memohon kepada hakim untuk memberikan keringanan hukuman dengan alasanbahwa ia adalah seorang yatim piatu.


3. Kekeliruan Karena Penggunaan Bahasa.


Kesesatan ini terjadi karena kurang tepatnya kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat yang dipakai untuk mengekspresikan pikiran.[5] Kekeliruan ini terbagi menjadi lima macam yaitu:

a. Ekuivokasi

Dalam setiap bahasa selalu terdapat perkataan-perkataan yang mempunyai lebih dari satu arti. Kerancuan ekuivokasi akan terjadi, jika perkataan yang sama digunakan dalam arti yang berbeda di dalam konteks yang sama.[6]

Contoh: Semua bintang adalah benda astronomis. Jhonny Deep adalah seorang bintang.Jadi, Jhonny Deep adalah suatu benda astronomis.



b. Amphiboly

Kesesatan ini terjadi bukan karena penggunaan suatu kata yang ambigu, tetapi karena penggunaan suatu frase atau suatu kalimat lengkap yang ambigu.[7]

Contoh: Terbungkus dalam sebuah Koran gadis cantik itu membawa tiga potong pakaiannya yang baru.

c. Aksentuasi

Kesesatan ini terjadi karena suatu aksen yang salah atau karena suatu tekanan yang salah dalam pembicaraan.Suatu tekanan suara yang salah diletakkan pada suatu kata yang diucapkan sehingga menyesatkan, membingungkan, atau menghasilkan suatu interpretasi yang salah[8].

Contoh: Ibu, ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah si pembicara sedang pergi. Tetapi karena ada penekanan pada kata ibu, maknanya menjadi pemberitahuan pada ibu bahwa ayah baru saja pergi).

d. Komposisi

Kesesatan ini terjadi karena penyebutan secara kolektif apa yang seharusnya disebut secara individual.

Contoh: Kuda tersebar di seluruh dunia.

Tiap-tiap bagian dari sebuah mobil adalah ringan, karena itu mobil adalah benda ringan.

e. Divisi

Kesesatan ini terjadi ketika kita menyebut secara individual apa yang seharusnya disebut secara kolektif.

Contoh: Sebuah mobil adalah berat, karena itu tiap-tiap bagian dari mobil adalah berat.
[1]B. Arief Sidharta, Pengantar Logika, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 59.
[2]Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), hlm. 211.
[3]B.Arief Sidharta, OpCit, hlm.59-60.
[4]Mundiri, OpCit, hlm.214.
[5]Rafael Raga Maran, Pengantar Logika, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm.189.
[6]B. Arief Sidharta, OpCit, hlm.65.
[7]Rafael Raga Maran, Loc.Cit
[8]Ibid, hlm. 190.