Rabu, 09 September 2015

ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH


ALIRAN ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Makalah
Tugas Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : H. Amir Gufran, Drs., M.Ag.

Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR




Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Bapak H. Amir Gufran selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jepara, 30 Mei 2015

Kelompok 6




BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat bebebrapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan para pengikut Muawiyah, sehingga muncullah golongan-golongan baru yaitu golongan Khowarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.

Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran agama Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal dengan berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Kedua aliran inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2. Apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3. Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah?
4. Bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?



C. Tujuan Masalah

1. Agar para pembaca mengetahui bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2. Agar para pembaca dapat memahami apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3. Supaya para pembaca dapat membedakan sekte-sekte aliran Maturidiyah.
4. Supaya para pembaca mengetahui bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.



BAB II

PEMBAHASAN



A. Aliran Asy’ariyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah

Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[1] Beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari, yaitu seorang tahkim dalam Perang Siffin dari pihak Sayyidina Ali.

Menurut Ibn A’sakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya as-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[2]

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah Masjid Basroh bahwa ia telah keluar dari paham Mu’tazilah. Yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah pada malam ke 10, 20 dan 30 bulan Ramadlan. Dalam mimpi itu, Rasulullah memperingatkannya untuk segera keluar dari paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Sebab lain ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri.[4] Al-Asy’ari sangat mendambakan persatuan umat, ia khawatir kalau al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’azilah yang semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat karena terlalu menonjolkan akal pikiran.



2. Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah


a. Tuhan dan sifat-sifatNya

Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiah).[5]

b. Perbuatan manusia


Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,[6] bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni bersamaan dengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

c. Pelaku dosa besar


Menurut al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada beberapa kemungkinan:

1) Ia mendapat ampunan dari Tuhan dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku dosa besar tersebut dimasukkan ke dalam surga.

2) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau,

شَفَاعَتِىْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ

Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar.

3) Tuhan memberikan hukuman kepadanya dengan memasukkannya ke dalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia dimasukkan ke surga.

d. Keadilan Tuhan

Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-segalanya adalah milik Tuhan.

e. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk

Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[7]

f. Melihat Allah

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Tuhan yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]



3. Pengaruh Ajaran Asy’ariyah


Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan Ahlusunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasannya pengaruh ajaran Ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:

a. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.

b. Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini.


B. Aliran Maturidiyah


1. Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah


Aliran ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi.[9] Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.[10] Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.[11] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

Sebenarnya al-Maturidi itu sebaya dengan al-Asy’ari. Hanya saja berbeda tempat tinggal. Al-Asy’ari hidup di Basrah Irak, sebagai pengikut madzhab Syafi’i, sedangkan al-Matiridi bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, kebanyakan pengikutnya juga bermadzhab Hanafi. Riwayatnya tidak terlalu banyak diketahui. Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia memiliki pemikiran tentang teologi yang hampir sama.

Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya juga sudah banyak yang dituangkan dalam karya tulis.

2. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah


a. Sifat Tuhan


Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi.[12] Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.

b. Kewajiban mengetahui Tuhan


Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.[13]


c. Perbuatan Manusia


Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[14]

d. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal.


Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.[15]

e. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan


Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.[16]

f. Pelaku dosa besar


Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asy’ariyah yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mu’tazilah.[17]


g. Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh al-Qur’an, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23.

artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.


3. Sekte-Sekte Maturidiyah


a. Golongan Samarkand

Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri.[18] Pahamnya lebih dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Begitu juga Tuhan berkuasa dengan dzatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, al-Maturidi berpaham Qodariyah. Al-Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain Maturidiah tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.

Aliran Maturidiyah juga sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-wa’d wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti akan terjadi. Demikian pula tentang antropomorphisme. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an. Pasti diberi arti kiasan. Dalam hal ini al- Maturidi bertolak belakang dengan pendapat al-Asy’ari yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi takwilan.

b. Golongan Bukhara


Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[19] Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.



4. Pengaruh Aliran Maturidiyah


Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.

Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.[20]







BAB III

PENUTUP




A. Kesimpulan

Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). Mulanya al-Asy’ari berpaham Mu’tazilah, karena merasa tidak cocok dengan Mu’tazilah akhirnya ia condong kepada ahli fiqh dan hadits.

Dokrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-sifatnya, perbuatan manusia, pelaku dosa besar, keadilan Tuhan, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.

Keahlian dalam berdebat al-Asy’ari dengan basis keilmuan yang dalam, shaleh, taqwa dan melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini, merupakan pengaruh dari aliran Asy’ariyah.

Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H dan wafat pada tahun 333 H.

Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan.

Sekte-sekte Maturidiyah, pertama golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.

Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli, berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.



DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Siradjuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. 2001.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2012.
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Purta. 2009.
Hanafi. Pengantar; Theology Islam. Jakarta: Al Husna Zikra. 2007.
Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia press. 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: New Cordova. 2012.
http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.






[1] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, hlm. 154.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 146-147.
[3] IbId., hlm. 147.
[4] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 154.
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 148.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta: Universitas Indonesia press, 1986), cet. V, hlm. 71.
[7]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149.
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 149-150.
[9] Sahilun A. Nasir, Op.Cit. hlm. 168.
[10] Harun Nasution, Op.Cit. hlm. 76.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 150.
[12] Harun Nasution, Op.Cit.
[13] Hanafi, Pengantar, Theology Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 2007), cet. VII, hlm. 123.
[14] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[15]Ibid.
[16] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 190.
[17] Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 77.
[18] Ibid., hlm. 78.
[19] Ibid.
[20] http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses 1Juni 2015.

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

AL-HADITS (AS-SUNNAH)

 


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Secara bahasa, hadits berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan maupun penetapan Rasulullah saw. Akan tetepi para ulama Ushul Fiqh, membatasi hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan apabila mencakup perbuatan maupun takrir (penetapan) mereka menyebutnya dengan as-sunnah.

Dari pengertian-pengertian tersebut, sangat menarik apabila membicarakan tentang kedudukan hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa, al-Qur’an merupakan sumber hukum primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakannya, atau hanya membicarakan secara global bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Untuk memperjelas maupun merinci keuniversalan al-Qur’an, maka diperlukan hadits atau as-sunnah sebagai penjelas dari al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam?
2. Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar?
3. Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)?
4. Bagaimana Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits?

C. Tujuan Masalah

1. Supaya Pembaca Mengetahui Bagaimana Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam.
2. Supaya Pembaca Mengetahui Apa Saja Macam-Macam Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar.
3. Supaya Pembaca Memahami Bagaimana Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya).
4. Agar Pembaca Memahami Bagaimana Hubungan antara al-Qur’an dan al-Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi al-Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam


Ditinjau dari segi etimologi, makna kata as-sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan tersebut terpuji maupun tercela.[1]

Sementara secara terminologi, makna kata as-sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut.[2]

1. Menurut para ahli hadits, as-sunnah sama dengan hadits, yaitu: sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.

2. Menurut para ahli Ushul Fiqh, as-sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.

3. Menurut ahli Fiqh, makna as-sunnah mengandung dua pengertian; yang pertama sama dengan yang disebut ahli Ushul Fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.

Sedangkan as-sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.[3]

Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah saw., dan dari segi fungsi as-sunnah terhadap al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Melalui al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk patuh kepada-Nya dan patuh kepada Rasulullsh saw. Allah berfirman dalam surat an-Nisaa’(4): 80:
artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasulullah, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. an-Nisaa’: 80)

Demikian juga dalam surat an-Nisaa’ (4): 59:

artinya :Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa’: 59)

Di samping itu, Allah juga memuji akhlak Rasulullah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Qalam (68): 4:

artinya :Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam: 4)

Allah juga memerintahkan umat Islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ahzab (33): 21:

artinya :Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah merupakan suatu kewajiban.[4]

Sisi yang kedua yaitu, as-sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai penompang dalam menjelaskan hukum Islam; dirumuskan dalam tiga hal.[5] Pertama, as-sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kedua, as-sunnah berfungsi menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an. Ketiga yaitu, as-sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an.

Atas dasar itu, kita hampir tidak menemukan satu contohpun bagi hukum yang dibawa oleh as-sunnah, kecuali kita temukan ketentuan pokoknya di dalam al-Qur’an, baik tersurat maupun tersirat. Pendapat ini dinukil oleh asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah, yang kemudian diperteguh oleh asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqot. Syatibi berkata, “as-sunnah dari segi maknanya (esensinya) kembali pada al-Qur’an”. Ia berfungsi merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena as-sunnah berkedudukan sebagai penjelas al-Qur’an, sesuai yang ditunjukkan oleh firman Allah swt dalam surat an-Nahl (16): 44:

Berdasarkan fungsi as-sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, maka as-sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber hukum dan dalil hukum Islam, setelah al- Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama.[6]

Setelah lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi as-sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an terdiri atas tiga kategori sebagai berikut.[7]

1. Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-Qur’an
a. Merinci ketentuan-ketentuan hukum al-Qur’an yang disebutkan secara garis besar.
b. Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam al-Qur’an. 
2. Men-takhsish ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an.
4. Menetapkan hukum baru yang menurut zahirnya tidak terdapat dalam al-Qur’an.

B. Macam-Macam as-Sunnah Serta Perbedaannya dengan al-Hadits dan al-Atsar


Dalam menyampaikan sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya satu atau dua orang saja. Begitu juga halnya dengan para sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits tertentu ada yang didengar oleh banyak murid, tetapi hadits yang lainnya lagi didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang hanya didengar oleh satu orang saja. Hadits yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan daripada yang hanya disampaikan oleh satu ataupun dua orang. Sehingga, ada pembagian hadits dari segi jumlah periwayat, yaitu:

1. Hadits Mutawattir


Hadits mutawattir yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab); orang yang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk bohong.[8]

Contohnya seperti nukilan-nukilan yang mengenai shalat lima waktu, bilangan rakaat, kadar zakat dan yang sepertinya.

Ulama membagi hadits mutawattir menjadi dua, yaitu:

a. mutawattir lafdzi, yaitu mutawattir redaksinya. Contoh.[9]

...من كدب على متكدافليتبوأمقعجه من النار...

...orang yang berdusta atas nama saya hendaknya bersiap-siap menduduki api neraka.

b. mutawattir ma’na, yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.[10] Contoh:[11]

انماالأعمال بالنيات

bahwasannya segala amalan itu menurut niat.

Sesuatu dapat dikatakan hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat yaitu;[12]pertama, diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Kedua, adanya keseimbangan antara perawi pada thobaqot pertama dengan thobaqot berikutnya. Ketiga, berdasarkan tanggapan pancaindra.

2. Hadits Masyhur

Hadits masyhur yaitu, hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.[13]

Di antara as-sunnah ini adalah sebagian hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian diriwayatkan oleh kelompok yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta; seperti hadits:

لاضررولاضرار

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan juga tidak boleh membalas sesuatu yang membahayakan.

3. Hadits ahad

Adalah as-sunnah yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan mutawattir. Artinya, satu, dua atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasulullah yang kemudian diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan sanad seperti itu. Yakni pada setiap tingkatannya adalah perorangan, tidak sampai pada hitungan mutawatir.[14]

Perbedaan hadits dan atsar yaitu terdapat beberapa istilah yang mengandung perbedaan makna dalam membicarakan as-sunnah, hadits dan astar. Istilah sunnah bisa disandarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat, dan umat manusia pada umumnya. Istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.[15]


C. Kehujjahan al-Sunnah (Qoth’iyyah dan Dhanni-yahnya)


Para ulama bersepakat bahwa as-sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.



Argumen al-Qur’an yang mereka ajukan antara lain;[16]

1. Surat al-Hasyr (59): 7:


artinya :Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

2. Surat al-Nahl (16): 44:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.

3. Surat al-Imran (3): 31:

artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ada banyak hadits yang mewajibkan kita taat kepada Rasulullah. Sebagai contoh adalah hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini.[17]

Rasulullah bersabda:

كُلُّ اُمَّتِي يَدخُلُونَ الجَنَّىةَ اِلاَّمَن اَبَى قالوا: يارسول الله وَمن يَأبي؟ قال: مَن دخل الجنّةَ ومن عصاني فقَدأبيَ.

Semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau. Dikatakan kepada Beliau, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Siapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga, dan orang yang tidak taat kepadaku adalah orang yang tidak mau masuk surga.

Rasulullah juga berpesan apabila terjadi perselisihan hendaklah orang-orang kembali kepada as-sunnah, supaya kesepakatan bersama di antara mereka tidak disesatkan perbuatan bid’ah dan supaya tidak bercerai-berai. Misalnya hadits yang dikatakan Rasulullah ketika sedang haji wada’, yakni riwayat Ibn Abbas yang dinilai shahih oleh Al-Hakim serta disepakati Adz-Dzahabi:[18]

قَدترَكتُ فيكُم ماان اعتصَمتُم به فلَنْ تضِلوْا أَبداً: كِتابَ اللهِ وسنةَ نَبِيِه

Telah aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat, yakni al-Qur’an dan Hadits.

At-Tirmidzi meriwayatkan pula melalui Abdullah bin Mas’ud. Ketika sedang haji wada’, Rasulullah bersabda:[19]

لِيُبَلغَ الشا هدُالْغَا ئِبَ فان الشاهدَعسَ أن ُيبلَغ من هوأوعىَ لهُ منهُ

Hendaklah orang yang hadir (mengetahui sesuatu) menyampaikannya kepada yang gaib (tidak tahu atau tidak menyaksikan). Ada kalanya seseorang menyampaikan kepada orang yang lebih hafal menurutnya tentang hal ini.

Sedangkan menurut ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya, para sahabat telah sepakat atas kehujjahan as-sunnah. Mereka menjadikannya sebagai referensi cara pandang keagamaan mereka, serta menjadikannya sebagai sumber hukum syara’ setelah al-Qur’an.

D. Hubungan Antara al-Qur’an dan al-Hadits


Hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring al-Qur’an.[20] Artinya seorang mujtahid dalam membahas suatu kejadian tidak boleh merujuk kepada as-Sunnah kecuali setelah tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum syara’.

Sedangkan hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah dari segi hukum yang dibawanya, yaitu sebagai berikut.[21]

1. As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa al-Qur’an, sehingga hukum itu mempunyai dua sumber dan dua dalil. Hukum-hukum tersebut antara lain yaitu; perintah mendirikan shalat, menerimakan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, larangan menyekutukan Allah, kesaksian palsu, mendurhakai orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar dan perintah atau larangan lainnya yang ditetapkan oleh ayat al-Qur’an dan didukung sunnah Rasulullah yang keduannya digunakan sebagai dalil.

2. As-sunnah merinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa al-Qur’an, membatasi kemuthlakannya dan mentakhsis keumumannya. Penjelasan, pembatasan atau pentakhsisan sunnah terhadap al-Qur’an adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an. Karena Allah memberikan hak kepada Rasulullah untuk menjelaskan nash al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

artinya :Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl: 44)

3. As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Sehingga hukum itu ditetapkan berdasarkan dalil dan as-sunnah, bukan al-Qur’an. Antara lain, haram menikahi seorang perempuan sekaligus bibi (dari ayah atau ibu) perempuan itu, memakan binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam, memakai kain sutra dan cincin emas bagi laki-laki, juga seperti dalam hadits Nabi saw.

يحرم من الرضاع مايحرم من النسب

apa yang haram sebab nasab juga haram sebab susuan.




BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sunnah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir (ketetapan) Nabi Muhammad. Kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an; yaitu, berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, menambah dan menyempurnakan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an, serta membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas. Hal ini karena sunnah berkedudukan sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.

Hadits (sunnah) dilihat dari jumlah periwayatnya dibagi menjadi tiga; yaitu, hadits mutawatir, hadits masyhur dan hadits ahad. Perbedaan hadits dan atsar yaitu, istilah hadits biasanya digunakan hanya terbatas terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad. Sedangkan istilah atsar digunakan terhadap apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.

Jumhur ulama sepakat akan kehujjahan hadits yang merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengajukan dalil berupa al-Qur’an, sunnah serta ijma’ sahabat dan generasi sesudahnya.

Hubungan antara sunnah dan al-Qur’an yaitu menetapkan dan menguatkan hukum, merinci dan menjelaskan keglobalan hukum, serta menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an.



B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang as-Sunnah.

Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.


DAFTAR PUSTAKA



Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 1991.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Azmah. 2011.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.
Hasbi ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2013.
Hassan, Qodir. Ilmu Musththalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2007.
Idris asy-Syafi’i, Muhammad. Kitab ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pres. 2011.
Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2011.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2011.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A., Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130.
[2] Ibid., hlm. 131.
[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), cet. 1, hlm. 39.

[4] Dr. Asmawi, M. Ag., Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Azmah, 2011), cet. 1, hlm. 44.

[5] Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), cet. XVII, hlm. 161-162.

[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 141.

[7] Ibid., hlm. 141-142.

[8] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), cet. III, hlm. 83.

[9] Ibid., hlm. 84.

[10] A. Qodir Hassan, Ilmu Musththalah Hadits, ( Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), hlm. 48.

[11] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), cet. VIII, hlm. 154.

[12] Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, ( Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 97-105.

[13] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 85.

[14] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 49.

[15] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hlm. 45-46.

[16] Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Kitab ar-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 73-75.

[17] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1991), hlm. 75-76.

[18] Ibid., hlm. 77.

[19] Ibid., hlm. 81.

[20] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 44.

[21] Ibid., hlm. 45-46.

Selasa, 08 September 2015

AR-RIWAYAH BIL-MA’NA (Periwayatan Hadits dengan Makna)


AR-RIWAYAH BIL-MA’NA

(Periwayatan Hadits dengan Makna)


Periwatan Hadis


TugasMata Kuliah: Hadits dan Ilmu Hadits
DosenPengampu :MayadinaRohmiMusfiroh, M. A.
DisusunOleh:
Achmad Miftachul Alim (1213001)
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM SEMESTER 2 TAHUN 2015
Jl.TamanSiswa (Pekeng) TahunanJepara 59427 Telp : (0291)595320


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT kami ucap kan atas selesainya tugas pembuatan makalah dengan tema “ar-riwayah bil ma’na”ini. Dengan taufiq ridha dan inayah-Nya tugas ini dapat di selesaikan dengan baik tanpa halangan apapun.

Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Hadits dan Ilmu Hadits. Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan bagi siapa saja yang membacanya walaupun penyusun makalah ini memiliki sedikit kelebihan dan banyak kekurangan, kami mohon untuk kritik dan sarannya.



Jepara, 2April 2015



Kelompok 3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


Kehadiran hadits atau as-sunnah dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci terhadap suatu persoalan. Hadits atau as-sunnah yang menjadi penjelas atau bayan al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual al-Qur’an. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian hadits dan as-sunnah. Pendapat yang populer dikalangan ulama hadits menyebutkan bahwa hadits dan as-sunnah adalah dua istilah yang semakna.

Pendapat tersebut memunculkan perbedaan antara dua istilah tersebut. Hafid Hasan al-Mas’udi misalnya, dia menilai as-sunnah lebih luas dari hadits.[1] Pemahaman Rasulullah terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk “tradisi” atau sunnah kenabian. Sedangkan hadits merupakan penuturan tentang apa yang disabdakan Rasulullah atau yang dijalankan dalam praktik atau tindakan orang lain yang didiamkan beliau.

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits memiliki kedudukan yang sangat penting bagi umat Islam. Hadits menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak tersesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadits.

Dalam ajaran Islam, hadits atau sunnah memiliki posisi yang sangat penting, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Jika didiskusikan lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan hadits. Pertama, periwayatan dengan lafadz, yaitu hadits diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafadz hadits yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya. Kedua, periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadits dengan redaksi yang berbeda dari redaksi hadits yang diterima oleh para perawi, namun isi, maksut dan maknanya sama.

Terkait dengan hal tersebut tulisan ini akan mencoba membahas lebih jauh tentang periwayatan hadits dengan makna. Periwayatan hadits dengan makna sangat terkait dengan hadits qouliyah. Hal ini disebabkan hadits fi’liyah dan taqririyah redaksinya bukan berasal dari Rasulullah, melainkan dari sahabat yang membuat reportasi kehidupan beliau.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep riwayah bil-makna tersebut?

2. Apakah yang menjadi latar belakang munculnya riwayah bil-makna?

3. Seperti apakah riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin?

C. Tujuan Masalah

1. Agar pembaca mengetahuai bagaimana konsep riwayah bil-makna.
2. Supaya pembaca mengetahuai apa yang menjadi latar belakang munculnya riwayah bil-makna.
3. Supaya pembaca mengetahuai seperti apa riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Konsep ar-Riwayah bil-Ma’na

Riwayah bil ma’na atau dalam bahasa Indonesianya “periwayatkan hadits dengan makna” adalah meriwayatkan hadits berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan.[2] Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksutnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama. Sehingga yang masih ingat hanya maksutnya, sementara apa yang di ucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.[3]

Konsep riwayah bil-makna, dikalangan umat Islam masih sering dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadits disebabkan oleh riwayah bil-makna. Sehingga menurut mereka, riwayah bil-makna itu mencakup seluruh hadits yang membahas tema yang sama dengan menggunakan redaksi yang berbeda. Maka, jika menemukan suatu hadits dengan redaksi yang berbeda untuk satu tema, akan langsung dikatakan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan secara makna.

Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafal tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadits dengan makna.[4]


Sedangkan periwayatan hadits dengan makna menurut Luwis Ma’luf adalah proses penyampaian hadits-hadits Rasulullah saw. dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafal, karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu.[5]


Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadits secara makna, seperti: Abdullah bin Mas’ud, Annas bin Malik, Aisyah istri Rasulullah, Umar bin Dinar, Amir asy- Sa’bi, Ibrahim asy- Sa’bi, Ibnu abi Najih, Ja’far bin Muhammad bin Ali dan Fufian bin Uyainah.[6] Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadits secara makna, seperti: Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab dan Zaid bin Arqom.

Adapun contoh hadits maknawi adalah sebagai berikut:

جا ئت امرأةالى النبي صلي الله عليه وسلم واراد ان تهب نفسها له فتقدم رجل فقا ل: يارسول الله انكحنيهاولم يكن معه من المهر غيربعض القرأن فقال له النبي صلى الله عليه وسلم انكحتكها بما معك من القرأن وفىرواية, قد زوجتكها بما معك من القرأن وفىرواية, زوجتكها على معك من القرأن وفىرواية, ملكتكها بما معك من القرأن وفىرواية.

Ada seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw. yang bermaksut menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang lelaki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Maka Rasulullah berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat al-Qur’an.


Sedangkan hukum periwayatan hadits dengan makna telah terjadi perselisihan pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits secara makna. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafalnya yang di dengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya saja.

Kemudian Imam Nawawi dalam Taqrib Nawawi berkata: “Jika seorang perawi tidak mengetahui dengan lafal-lafal (sebuah hadits) dan maksudnya, tidak teliti terhadap apa yang dibawa oleh makna dari lafal itu, tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna tanpa ada perselisihan pendapat, akan tetapi wajib baginya meriwayatkan dengan lafal yang ia dengar.[7]

Sedangkan jumhur ulama’, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadits secara makna, dengan catatan bukan hadits yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah.

Ulama-ulama lain perbendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan pengertiannya saja tidak dengan lafal aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafal-lafal yang mempunyai beberapa pengertian sehingga dapat terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut, maka wajib menyampaikan dengan lafal yang ia dengar dari gurunya.

Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya baik dan terkenal bersifat jujur, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang di dengar, bukan diriwayatkan dengan makna.[8]

Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman, ia bertanya kepada Rasulullah,”Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadits darimu tetapi saya tidak sanggup meriwayatkannya menurut apa yang saya dengar yang bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka Nabi bersabda: Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai mengharamkan yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu tidak masalah.”[9]

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, ia boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat makna yang asli, karena dia telah menerima hadits, baik lafal maupun maknanya.

Iman Mawardi mewajibkan menyampaikan hadits dengan maknanya apabila lupa lafalnya, karena khawatir apabila tidak di sampaikan maka ia termasuk orang yang menyembunyikan hadits.

Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadits tersebut yang bukan diibadati dan hanya terjadi pada masa sahabat dan tabi’in. Untuk menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits tersebut harus memakai kata-kata شبهه dan كما.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa, meriwayatkan hadits dengan maknanya adalah:

1. Segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin tidak memperbolehkan periwayatan hadits dengan maknanya saja. Tokohnya Ibnu Sirin dan Abu Bakar ar-Razi.[10]

2. Sedangkan jumhur ulama salaf dan khalaf itu memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya. Tokoh: Imam empat.[11]

3. Diperbolehkan dengan syarat yang diriwayatkan tersebut bukan hadits marfu’.

4. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asalkan diyakini bahwa hadits tersebut tidak menyalahi lafal yang didengar.

5. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafal asli yang ia dengar, apabila masih ingat maka tidak diperbolehkan untuk menggantinya.

6. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut yang paling penting adalah isi, maksud yang terkandung dan pengertiannya, masalah lafal tidak dijadikan persoalan.

7. Apabila hadits tersebut tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, misalnya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a. hanya pada periode sahabat
b. bukan hadits yang telah dibukukan
c. tidak pada lafal yang diibadati, misalnya lafal tentang tasyahud dan qunut.

Sedangkan syarat periwayatan hadits secara makna banyak memunculkan kontraversi di antara ulama. Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan makna. Beliau mengemukakan alasan untuk mendukung pendapatnya tersebut. Yaitu, yang pertama sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Kedua, sahabat menyaksikan langsung tentang keadaan perbuatan Rasulullah saw. Namun pendapat yang populer dikalangan ulama hadits menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadits secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari kekeliruan.

2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafal ataupun harfiyah.

3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi. Seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawani al-kalim.

4. Periwayatan hadits secara makna atau mengalami keraguan terhadap susunan matan hadits yang diriwayatkan supaya menambah kataاوكما قلdan او نحو هدا setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.

5. Diperbolehkan hanya pada saat hadits belum dibukukan secara resmi.

Sebagian sahabat juga berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah saw. maka diperbolehkan meriwayatkan hadits secara maknawi.

Abu Rayyah memberikan persyarat, yaitu tidak boleh adanya penambahan atau pengurangan dalam penerjemahannya. Apabila sayrat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak boleh meriwayatkan hadits bil-makna, tetapi harus dengan lafal.

B. Latar Belakang Munculnya Riwayah bil-Makna


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis hadits yang hafalannya lemah dan melarang yang kuat hafalannya untuk menulis hadits, karena khawatir akan tergantung pada tulisan tersebut.[12]

Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan maknanya saja.

Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:[13]

1. Adanya hadits-hadits yang ragu dan tidak mungkin diriwayatkan secara lafal, karena tidak adanya redaksi langsung dari Nabi Muhammad saw., seperti hadits fi’liyah, hadits taqririyah, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Periwayatan hadits-hadits tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

2. Adanya larangan Nabi untuk menuliskan selain al-Qur’an. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadits. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari Nabi tentang kebolehan menulis hadits.

3. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah daripada mengingat susunan kata-katanya.

C. Ar-Riwayah bil-Ma’na Sebelum dan Sesudah Tadwin


Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum termodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal atau matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.[14]

Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan hadits secara makna bagi orang yang cukup mampu menjaga lafal hadits. Dalam hal ini pembahasan berkisar antara dua hal, yakni hukum riwayah bil-makna sebelum dan sesudah tadwin.

1. Riwayah sebelum tadwin

Tentang hukum riwayah bil-makna sebelum tadwin hadits secara resmi, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, di antaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima.

Yang menganut pendapat ini bertujuan untuk meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadits. Jika periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak ada pada mereka. Alasan lain secara ijma’, ulama memperbolehkan penerjemahan hadits dari bahasa Arab ke dalam bahasa Asing bagi orang yang mengetahui bahasa tersebut. Logikanya, jika penerjemahan kebahasa Asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti lebih baik.

2. Riwayah sesudah tadwin

Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis daalam kitab-kitab hadits. Ketika hadit itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya telah jelas. Oleh karenanya, periwayatan tidak diperbolehkan, mengingat makna asal periwayatan adalah memindahkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima dan di dengar dari Rasulullah. Sedangkan riwayah bil-makna menyimpang dari makna asal ini.

Sementara asal diperbolehkannya riwayah bil-makna adalah karena adanya darurat dalam pelaksanaannya dan kondisi khusus misalnya lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya dalam kitab-kitab, alasan yang menyebabkan adanya rikhsah telah hilang, sehingga tetap wajib untuk meriwayatkan hadits secara lafal.

Pandangan para ulama tentang periwayatan bil-makna, secara garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara mutlak, boleh secara mutlak dan boleh dengan syarat.

a. Tidak membolehkan secara mutlak
Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayatan hadits secara lafal, dan melarang sam sekali periwayatan secara makna. Mereka ini termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang secara keras periwayatan hadits secara makna ini beragumentasi bahwa:
1) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tinggi.
2) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits “nabiyyika” dengan “rasullika”.
Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar, al-Qosim, Muhammad bin Sirrin, Malik bin Annas, dan Ahmad bin Hambal.

b. Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua ini termasuk golongan mutasahil dalam periwayatan. Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna.
Periwayat yang termasuk kelompok ini adalah Hasal al-Basri, as-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakha’iy.

c. Membolehkan dengan syarat

Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah dengan menentukan persyaratan-persyaratan, mereka menghendaki periwayatan tidak terlalu sembrono dan lengah yang disebabkan kelonggaran ketentuan yang ada. Mereka menganggap periwayatan bil-makna merupakan rukhsoh bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.

Pendapat ini banyak dianut oleh para sahabat dan tabi’in, diantaranya Aisyah ra., Abu Sa’id al-Khudri, Amr bin Dinar, dll.
Penganut pendapat ini mengajukan beberapa argumentasi, yaitu:[15]
1) Perbedaan lafal hadits asal tidak merubah arti diperbolehkan, yang tidak diperbolehkan adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
2) Mengganti lafal hadits dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja diperbolehkan, maka mengganti lafal hadits dengan bahasa Arab yang muradis tentunya lebih baik.
3) Yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah hadits-haditsnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga maksud hadits berarti boleh.



BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan


Riwayat hadits bil-makna adalah periwayatan hadits yang isi dan matanya berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadits tersebut tetap sama. Meskipun dalam sejarah hadits riwayah bil-makna telah diakui terjadi secara besar-besaran, di antara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya riwayah bil-makna dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ushul fiqh serta Abu Rayyah.Sedangkan ulama yang membolehkan seperti Ibn Mas’ud, ia membolehkan apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah, dan harus dengan hati-hati.

Pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis hadits yang hafalannya lemah. Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan maknanya saja.

Periwayatan sebelum tadwin banyak ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, yaitu salah satunya mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam. Sedangkan periwayatan sesudah tadwin para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis daalam kitab-kitab hadits.

B. Kritik dan Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang ar-Riwayah bil-Ma’na.
Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika. 1995.
Ahmad Jasim, Abdul Aziz. Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil-Ma’na. Kuwait: Jami’ah Kuwait. tt.
Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhwa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
as-Sunnah Qabla al-Tadwin. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2010.
As- Suyuti. Tadrib ar-Rawi. Kairo: Daarul Hadits. 2004.
Hasan, Hafid al-Mas’udi. Minhatul Mughits. Surabaya: Andalas. Tt.
Ma’luf, Luis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq. 1973.
Ritonga, A. Rahman. Studi Ilmu-Ilmu Hadits. Yogyakarta: Interpena. 2011.
Soetari, Endang. Ulumul Hadis. Bandung: Amal Bakti Press. 1997.
Yahya, Zakariya bin Syaraf an-Nawawi adh-Dhimisyqie. Shohih Muslim. Beirut: Darul Fikr. 2009. Juz .
http:// siskanajwa.blokspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html, di akses 2 April 2015.


[1] Hafid Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits, (Surabaya: Andalas, tt), hlm.7-8.
[2] Ibid., hlm. 61.
[3] http:// siskanajwa.blokspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html, di akses 2 April 2015.
[4] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil-Ma’na, (Kuwait: Jami’ah Kuwait, tt), hlm. 24.
[5] Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hlm. 289.
[6] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1993, hlm. 132.
[7] As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), hlm. 381.
[8] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, Op. Cit., hlm. 133.
[9] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 22-23.
[10] Muhammad Athohan, Taisirul Mustholahal al- Hadits, (Sangkapura: Haramain, 1985), hlm. 172
[11] Ibid.
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, Op. Cit., hlm. 306.
[13] A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Interpena, 2011), hlm. 181.
[14] Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 213.
[15] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhwa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 133-134.

Jumat, 04 September 2015

Khotbah : Konsep Islam Tentang Persaudaraan

Konsep Islam Tentang Persaudaraan 


Persaudaraan
Indahnya Persaudaraan
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بسم الله الرحمن الرحيم، الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، أَشْهَدُ اَنْ لَاإِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْن، سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ.
حَضَرَةُ المُكَرَّم وَالمُخْتَرَمِ مُدِيْرُ المَعْهَد نور الهدى
أَيُّهَا الاَسَاتِذَةُ الكِرَامِ !
وَأَيُّهَا الإِخْوَان الاَحِبَّاءُ !
أَوَّلاً، حَمْدًا وَشُكْرًا إِلىَ اللهِ تَعَالَى الَّذِي قَدْ أَعْطَانَا رَحْمَةً وَبَركةً وَهِدَايَةً حَتَّى نَجْتَمِعَ فِي هَذَا المَكَانِ المُبَارَك. وَثَانِيًا، هَيَّا بِنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم الَّذِى قَدْ أَخْرَجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. وَآخِرًا، أَقُوْلُ شُكْرًا كَثِيْرًا إِلىَ رَئِيْسِ الجَلَسَةِ الَّذِى قَدْ أَعْطَانِي وَقْتًا ثَمِيْنًا لِأَخْطُبَ بَيْنَ يَدَيْكُمْ أَجْمَعِيْنَ تَحْتَ المَوْضُوْعِ:
“فِكْرَةُ الإِسْلاَمِ فِى الإِخْوَةِ البَشَرِيَّةِ”
إِخْوَانِي المُسْلِمُوْنَ السُّعَدَاء....
قال الله تعالى فى كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم.. كَانَتْ تَعَالِيْمُ الإِسْلاَمِ العَالَمِيَّةُ مَذْكُوْرَةً فىِ هَذِهِ الاَيَةِ. فَالإِسْلاَمُ يَكْرَهُ التَّفْرِيْقَ فِى الِجنْسِ وَالدَّرَجَةِ وَاللَّوْنِ وَالمَكَانِ. وقال الله تعالى فى القرآن الكريم "وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ “ وَكَذَلِكَ فَقَدْ أَكَّدَ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم عَلَى إِيْجَادِ المَسَاوَاةِ وَالإِتِّحَادِ بَيْنَ النَّاسِ. وَفَضْلاً عَنْ ذَلِكَ فَقَدْ أَكَّدَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ محمد صلى الله عليه وسلم عَلَى تَحْقِيْقِ حُقُوْقِ الجِوَارِ عَلَى الجَارِ الأَخَر بِدُوْنِ النَّظْرِ إِلىَ أَسَاسِ الدِّيْنِ وَالإِعْتِبَارَاتِ الأُخْرَى، بَلْ هُنَاكَ اَحَادِيْثُ أُخْرَى تَحَثُّنَا عَلىَ اَنْ نُعَامِلَ الجَارَ مُعَامَلَةً طَيِّبَةً، وَذَلِكَ يَشْمُلُ الِجَوارُ غَيْرَ الْمُسْلِمِيْنَ.
هَذَا التَّعْلِيْمُ الكَرِيْمُ لَيْسَ أَلْفَاظًا ُتُقَالُ بَلْ عَمَلٌ وَتَطْبِيْقُ يَقِيْنٍ، وَلاَ شَكَّ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم قَدِ اتَّجَرَ مَعَ الْكَافِرِيْنَ المُعَارِضِيْنَ لَهُ فِى مَكَّةَ عَلىَ أَسَاسٍ سِلْمِيِّ.
إخواني المحترمون!
وَكَذَلِكَ كَانَ الرَّسُوْلُ صلى الله عليه وسلم يَحْفَظُ المُعَامَلَةَ الشَّخْصِيَّةَ الطَّيِّبَةَ مَعَ اليَهُوْدِيِّ فِى المَدِيْنَةِ المُنَوَّرَةِ وَلَوْ كَاُنوْا يُعَارِضُوْنَ بِعْثَتَهُ الكَرِيْمَةَ. وَقَدْ زَارَ الرَّسُوْلُ صلى الله عليه وسلم بُيُوْتَهُمْ وَشَارَكَهُمْ فِى الحُزْنِ وَالفَرَحِ. وَفَوْقَ ذَلِكَ فَقَدْ حَقَّقَ الرَّسُوْلُ صلى الله عليه وسلم مُعَامَلَةَ التِّجَارَةِ مَعَ بَعْضِهِمْ. وَنَضْرِبُ لَكُمْ مَثَلاً حِكَايَةً مَشْهُوْرَةً عَنْ سَيِّدِنَا عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَالأَعْمَى العَجُوْز.
فِى يَوْمٍ مِنَ الأَيَّامِ رَأَى سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الخَطَّاب رضي الله عنه شَيْخًا أَعْمَى اَمَامَ بَيْتٍ يَتَكَفَّفُ الصَّدَقَةَ فَقَرَعَ عَاتِقَهُ بِلُطْفٍ وَسَأَلَهُ: مَنْ أَنْتَ؟ أَجَابَ الأَعْمَى اليَهُوْدِيّ الجِزْيَةُ وَالفَقْرُ وَالشُّيْخُوْخَةُ. فَحَمَلَهُ سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه إِلَى بَيْتِهِ وَأَعْطَاهُ كُلَّ شَيْئٍ عَلَى قَدْرِ اسْتِطَاعَتِهِ لِسَدِّ حَاجَتِهِ المُسْتَعْجَلَةِ وَفَرَجِهِ وَغَيْرِهِ مِنَ الَّذِيْنَ عَاشُوْا كَعِيْشَتِهِ مِنْ دَفْعِ الجِزْيَةِ وَأَمْرِ أن أجرة محافظتهم وحمايتهم من بيت مال الدولة الإسلامية.
وَبِالإِخْتِصَار، فَالإِسْلاَم يَرَى البَشَرِيَّةَ كَأُخُوَّةٍ عَظِيْمَةٍ. وَتَحْتَ هَذِهِ الأُخُوَّةِ كَانَ جَمِيْعُ النَّاسِ مُتَسَاوِيْنَ وَلَهمْ حَقُّ سَوَاءٍ فِى الإِحْتِرَامِ والإِكْرَام كَمَا أَنَّ لَهُمْ حَقًّا فِى المُعَامَلَةِ الطَّيِّبَةِ وَالفُرْصَةِ المُتَسَاوِيَةِ.
إخواني السُّعَدَاء!
الإِسْلاَمُ يَحْتَرِمُ إِحْتِرَامًا فَائِقَ التَّنَوُّعِ فِى لَوْنِ الجِلْدِ وَاللِّسَانِ وَالنَّسَلِ وَالتَّجْرِبَةِ بَلْ فِى الإِعْتِقَادِ.
وَعَلَى أَسَاسِ الأُخُوَّةِ البَشَرِيَّةِ فَكَانَ جَمِيْعُ النَّاسِ فِى العَالَمِ اَعْضَاءُ الأُمَّةِ الوَاحِدَةِ أي الأُمَّةُ الإِسْلَامِيَّة. وَعَلَى ذَلِكَ كَانَتِ الأُمَّةُ الإِسْلَامِيَّةُ مُرْتَبِطِيْنَ بِرَابِطَةِ الجِنْسِ العَامِّ وَالاَهَمِّيَّةِ العَامَّةِ. وَعَلَى عَكْسِ ذَلِكَ يَكْرَهُ الإِسْلَامُ كُلَّ مُحَاوَلَةِ تَفَرُّقِ هَذِهِ الرَّابِطَةِ إِلَى الفِرَقِ الكَثِيْرَةِ إِمَّا فِى الإِعْتِقَادِ وَإِمَّا فِى الشَّعْبِيَّةِ.
لِضَيْقِ الوَقْتِ فِى إِلْقَاءِ المَسْأَلَةِ المُهِمَّةِ. فَالآن أَخْتَتِمُ خُطْبَتِي رَاجِيًا مِنَ الجَمِيْعِ تَقْوِيَةَ هَذِهِ الأُخُوَّةِ. فَاالعَفْوُ مِنْكُمْ وَآخِرًا أَقُوْلُ لَكُمْ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ و.و.

Yang saya hormati dan semoga Allah muliakan Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda,
Dewan guru yang terhormat,
Para saudara-saudaraku yang saya cintai.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita dapat berkumpul di tempat yang penuh berkah ini. Shalawat beriring salam mari kita curah limpahkan ke jungjunan alam Nabi Muhammad saw. yang telah mengeluarkan manusia dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Mc yang telah memberikan waktunya untuk menyampaikan pidato dihadapan kalian semua dengan judul:”Konsep islam tentang Persaudaraan”
Allah swt. telah berfirman dalam Al-Qur’an:
 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ...الأية
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah yaitu orang yang paling bertaqwa”.
Dalam ayat ini disebutkan ajaran-ajaran islam diantara bahwa islam tidak menyukai/benci terhadap adanya diskriminasi jenis kelamin, pangkat, warna kulit dan kedudukan.  Dan sungguh telah kami muliakan anak keturunan Nabi Adam, demikianlah Nabi kita Muhammad saw telah menegaskan tentang persamaan dan persatuan diantara manusia. Di samping itu, nabi menegaskan mengenai pentingnya untuk mewujudkan hak-hak tetangga tanpa memandang agama dan faktor-faktor yang lainnya, bahkan ada hadits lain yang menganjurkan kepada kita untuk bergaul dengan tetangga secara baik dan ini mencakup tetangga yang non-muslim.
Ajaran islam ini bukanlah hanya omong kosong belaka, akan tetapi perlu realisasi dan aplikasinya. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi berdagang dengan orang-orang kafir yang menentangnya di Mekkah secara baik.
Demikian juga Nabi memelihara pertemanan yang baik dengan orang-orang yahudi di Madinah Al-Munawwarah walaupun mereka menentang akan kerasulannya. Nabi mengunjungi rumah-rumah mereka dan bekerja sama dengan mereka dalam suka dan duka, disamping itu nabi mengadakan transaksi perdagangan dengan sebagian mereka. Kami akan berikan kamu contoh cerita yang terkenal tentang sayyidina umar dan orang tua yang buta.
Pada suatu hari sayyidina umar melihat orang tua yang buta di depan rumahnya sedang mengemis minta-minta kemudian mengetuk pintu dengan pelan-pelan. Beliau bertanya: siapa kamu? Orang tua buta itu menjawab saya orang yahudi yang fakir sudah tua renta, dan saya harus membayar upeti. Kemudian umar membawanya ke rumah dan memberinya segala kebutuhannya untuk dapat memenuhi keperluannya sehari-hari seperti orang lain yang hidup dan membayar upeti kepada baitul mal karena hidup di Negara islam.
Ringkasnya, bahwa islam memandang kemanusian sebagai persaudaraan yang besar. Dibawah persaudaraan ini semua manusia setara dan mempunyai hak yang sama dalam kehormatan dan kemulian sebagaimana hak mereka dalam pergaulan yang baik dan kesempatan yang sama.
Islam menghormati keaneka ragaman warna kulit, bahasa dan ras bahkan dalam keyakinan. Atas dasar persaudaraan maka semua manusia di dunia merupakan satu anggota keluarga yaitu umat islam, oleh karena itu, umat islam diikat oleh ikatan jenis dan kepentingan yang umum. Sebalikanya islam benci terhadap segala usaha dalam mempecah-belahkan suatu ikatan/persatuan menjadi kelompok-kelompok baik dalam keyakinan ataupun golongan.
Karena waktu yang diberikan kepada saya hanya sebentar maka saya tutup pidato saya ini dengan harapan mudah-mudahan kita selalu menjaga persaudaran baik sesama umat islam maupun dengan non-islam. Terakhir, saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan.

Rabu, 02 September 2015

PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN


POTRET PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN

Khulafaur Rasyidin (Khalifah)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester IV
Mata Kuliah Fiqh Siayasah
Dosen Pengampu: M. Husni Arafat, Lc., M.S.I.
 

Disusun Oleh: 
1.      Achmad Miftachul Alim
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA
2015

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya kami diberikan kesehatan untuk dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Salawat salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga sahabatnya.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok di Semester IV mata kuliah Fiqh Siyasah fakultas Syari’ah prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU), di mana judul makalahnya adalah “Potret Pemerintahan Khulafaur Rasyidin” .
Dalam menyusun makalah ini, ternyata tidak mungkin terlaksana apabila tanpa semangat, dukungan, serta bimbingan dari pihak-pihak yang sangat kami hormati. Oleh karena itu, pertama kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Husni Arafat, Lc., M.SI. selaku dosen mata kuliah Fiqh Siyasah yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Kedua, kami berterima kasih kepada kedua orang tua kami atas doa dan dukungan moril maupun materil yang telah diberikannya. Kemudian, kami juga berterima kasih kepada sahabat-sahabat kami di fakultas Syari’ah prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU), yang telah membantu kami demi kelancaran penulisan maklah ini.
Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang diharapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat. Amin…
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jepara, 6 April 2015
Kelompok 3DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii
A.    PENDAHULUAN    1
I.    Latar Belakang    1
II. RumusanMasalah    1
III. Tujuan    2
B.    PEMBAHASAN    3
1.    Pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq    3
2.    Pemerintahan Umar bin Khattab    5
3.    Pemerintahan Usman bin Affan    9
4.    Pemerintahan Ali bin Abi Thalib    10

C.    PENUTUP    12
1.    Kesimpulan    12
2.    Saran    12
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin setelah Rasullullah wafat adalah suksesi politik. Sebagaimana dimaklumi, Rasulullah tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme pergantian itu dilakukan. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam, dikenal bebagai mekanisme penetapan kepala negara, dan tentu saja, dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Dalam kasus Khulafa al-Rasyidiin, sebagai contoh, Abu Bakar ditetapkan berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”, Umar bin al-Khattab ditetapkan berdasarkan “penunjukan kepala negara pendahulunya”, Usman bin al-Affan ditetapkan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur”, dan Ali bin Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan melalui masyarakat dalam pertemua terbuka” (cf. Munawir). Kenyataan demikian dimugkinkan oleh perubahan sosial-budaya dan dengan demikian menampilkan karakter siyasah yang berbeda dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Berikut ini akan dipaparkan bagaimana siyasah pada masa Khulafa al-Rasyidiin, bagaimana mereka menghadapi dan mengendalikan masyarakat Islam.

B.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq?
b.    Bagaimana karakter pemerintahan pada masaUmar bin Khattab?
c.    Bagaimana karakter pemerintahan pada masaUsman bin Affan?
d.    Bagaimana karakter pemerintahan pada masaAli bin Abi Thalib?

C.    Tujuan
a.    Mengetahui dan memahami karakterpemerintahan pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq.
b.    Mengetahui dan memahami karakterpemerintahan pada masa Umar bin Khattab.
c.    Mengetahui dan memahami karakterpemerintahan pada masa Usman bin Affan.
d.    Mengetahui dan memahami karakterpemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib.

PEMBAHASAN

PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN

1.    Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar dilahirkan dengan nama Abdullah ibn Abi Qahafah, sebelum ia memeluk Islam, ia mendapat julukan dengan nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas).  Pemilihan Abu Bakar yang terjadi di Saqifah tampak tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Pemilihan Abu Bakar itu tidak diterima oleh semua pihak. Pada bai’at Saqifah, yang disebut dengan bai’at khusus, terdapat Sa’ad bin Ubadah yang sampai akhir hayatnya tidak mau berbai’at. Ketika kemudian dilakukan bai’at di Masjid Nabawi, yang disebut bai’at umum, pihak-pihak yang tidak ikut membai’at Abu Bakar dari kalangan Muhajirin adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqda bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’ bin Azib, dan Ubay bin Ka’ab.
Penentang Abu Bakar yang paling keras dari kalangan Muhajirin Adalah Fatimah putri Rasulullah. Fatimah sangat kecewa kepada Abu Bakar terutama karena tiga hal, pertama, Abu Bakar meninggalkan Rasulullah tanpa segera dikuburkan, tetapi justru berebut kekuasaan, kedua, Fatimah menuntut warisan Fadak, sebidang kebun di luar Madinah, yang telah diberikan Rasulullah ketika masih hidup namun Abu Bakar menolak memberikannya dengan alasan bahwa “para Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah”, dan ketiga, Abu Bakar bertindak melewat batas dengan memerintah penyerbuan rumah Fatimah.
Pada waktu terjadi bai’at di Masjid Nabawi, Abu Bakar mengucapkan pidato. Dari pidato Abu Bakar, tampak adanya garis politik dan kebijaksanaannya, yaitu sebagai berikut:
a.    Bertekad untuk melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh Rasulullah, yakni melaksanakan syari’at Islam,
b.    Melaksanakan musyawarah,
c.    Menjamin hak-hak umat secara adil,
d.    Melindungi ketaatan rakyat terhadap pemimpin selama pemimpin itu taat kepada Allah dan Rasulullah,
e.    Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
f.    Mendorong terwujudnya kehidupan takwa.
Tantangan pertama pemerintahan Abu Bakar adalah menunjukkan kepada para penentangnya bahwa ia tampil sebagai pemimpin untuk menyelamatkan umat Muhammad dari fitnah atau perpecahan internal umat Islam dan tindakan murtad dari mereka yang masih lemah iman.
Pada masa ini, timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul pada masa Nabi. Oleh karena itu, terdapat beberapa pemecahan masalah yang diambil oleh Abu Bakar, dan dalam hal ini dapat dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup.
Sesudah Abu Bakar mampu menghempaskan keinginan kaum pembangkang di Dzil Qassah, kaum muslimin berduyun-duyun kembali membayar zakat. Mula-mula adalah Shafwan dan Zibriqan, tokoh-tokoh masyarakat dari Bani Tamim. Disusul kemudian dengan Adi ibn Hatim ath-Tha’i dari suku Tha’i. Kaum muslimin yang berada di Madinah merasa sangat yakin bahwa Allah akan membantu khalifah Abu Bakar memerangi kemurtadan dan membela kebenaran. Kecerdasan pikiran dan kematangan perhitungan Abu Bakar mampu membaca situasi menguntungkan seperti ini. Ia bertekad untuk tidak memberikan kesempatan dan ruang gerak musuh-musuh Islam. Mereka harus diperlemah kekuatannya, supaya tidak memiliki kesempatan utuk menggoyahkan kesatuan kaum muslimin.

2.    Pemerintahan Umar bin Khattab

Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd al-‘Uzza in Ribah bin Abdullah bin Qurat bin Zuhrah bin ‘Adi bin Ka’bah bin Luwayy bin Fihr bin Malik.  Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah melalui suara wasiat yang dibuat oleh Abu Bakar, pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat Islam ketika itu, menurut Syibli, Umar menerapkan demokrasi, dan walaupun disebabkan oleh kondisi-kondisi khas zaman itu prinsip tersebut tidak dapat dikembangkan dalam semua aspek dan implikasinya, syarat-syarat yang esensial bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis telah dilahirkan.
Banyak pengalaman dan ilmu yang diperoleh di daerah yang ditaklukkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Misalnya saja penaklukan Persia dan Bizantium. Untuk mengatasi persoalan tersebut, khalifah Umar bin Khattab mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Membagi wilayah-wilayah taklukan yang luas menjadi beberapa propinsi,
b.    Menyusun tata aturan dan tata tertib pengaturan administrasi negara,
c.    Dibuat beberapa jawatan-jawatan dalam mengatur pemerintahan. Jawatan-jawatan tersebut antara lain Jawatan Pos, Pengawasan Timbangan-timbangan Takaran, Jawatan Pertahanan Negara, Baitul Mal, dan sebagainya.
Umar bin al-Khattab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan contoh-contoh siyasah. Di antaranya penerapan bea impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan. Dalam hal ini seimbang dengan bea impor yang dikenakan negara-negara nonmuslim kepada pedagan-pedagang muslim.
Di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya, terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat Al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Irak, Mesir, Palestina dan Persia.
Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahannya, Umar membentuk kebijakan di berbagai bidang, antara lain:
a.    Administrasi Pemerintahan
Umar berjasa membentuk Majlis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga-lembaga peradilan. Ia juga membagi wilayah Islam menjadi 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Untuk masing-masing distrik itu diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi pajak juga dibenahi.
b.    Pertahanan
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar.
c.    Peradilan Islam
Umar melakukan pembenahan peradilan. Dialah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang disebut Dustur Umar atau Risalah al-Qodho’ yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, qodhi di Kufah, yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang.
d.    Dalam Bidang Hukum
Dalam bidang hukum, ijtihadnya adalah mengenai pembagian harta warisan, perumusan prinsip kias, talak tiga, pendirian pengadilan-pengadilan, pengangkatan para hakim, pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukum badan, penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk, pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan, dan larangan penyebutan nama-nama wanita dalam lirik syair, penentuan kalender hijriyah juga merupakan hasil ijtihad Umar yang diabadikan sampai sekarang.
e.    Kesejahteraan Umat dan Peribadatan
Pemberian gaji bagi para imam dam muadzin, pengadaan lampu penerangan dalam masjid-masjid, pendirian Baitul Mal. Dalam hal ibadah antara lain mengenai empat takbir dalam shalat jenazah, penyelenggaraan dalam shalat tarawih berjamaah, penambahan kalimat as-shalat khoirun minannaum dalam adzan shubuh.
f.    Mekanisme Meningkatkan Pemerintah Daerah
Umar melengkapi gubernurnya dalam berbagai staf yang terdiri dari katib, Katib ad-Diwan, Shahib al-Kharaj, Shahib al-Aldas, Shahib Baitul Mal, Qadhi, dll.
Dalam hal penunjukan pejabat dan pegawai-pegawai negara, Umar dianggap memiliki kearifan dan pengertian yang mendalam serta kenegarawan yang tidak ada persamaannya dalam sejarah, khususnya dalam menilai kapabilitas orang.
Umar pada masa pemerintahannya cukup banyak hal-hal baru yang ditempuhnya.  Dalam bidang munakahat, Umar menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan talak tiga kali bermakna hukum menjatuhkan talak tiga. Selain itu, Umar melakukan perubahan atas status tanah Irak dan Syam yang didapat dari musuh menjadi tanah kharaj. Ia tidak memotong tangan pencuri pada ‘am maja’ah (masa kelaparan) dan tidak memberikan bagian kepada muallaf merupakan contoh-contoh lain dari kebijakannya sebagai kepala negara.
Menjelang akhir pemerintahannya dan juga akhir hayatnya, Umar bin Khattab membentuk dewan formatur, yang anggotanya terdiri, Ali bin Abi Thalib, Usmanbin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqaf. Di samping keenam orang ini, Umar juga menunjuk Abdullah bin Umar selaku penasihat dan tidak ditempatkan sebagai calon pengganti khalifah. Umar juga menunjuk Abu Thalhah al-Anshari dari suku Khazraj sebagai pelaksana perintahnya. Ia disuruh mengambil lima puluh orang anggota sukunya dengan pedang di tangan untuk menjaga di pintu majlis pertemuan.
Dewan formatur yang dibentuk Umar ini kemudian berhasil melaksanakan tugasnya, yakni terpilihnya Usman bin Affan. Dengan susunan dewan formatur tersebut sebenarnya sejak awal sudah dapat diduga bahwa Ali tidak akan terpilih sebagai khalifah, untuk tidak mengatakan mustahil terpilih.  Pembentukan dewan formatur ini sesungguhnya merupakan wujud “kecerdikan” Umar, yang tidak menghendaki peristiwa Saqifah terulang. Dalam pandangan Umar, di antara keenam anggota dewan itu hanya Ali yang dianggap ideal sebagai pemimpin. Secara pribadi, Umar cenderung memilih Ali, namun menunjuk Ali secara langsung seperti yang dilakukan Abu Bakar kepada dirinya mengandung resiko besar.

3.    Pemerintahan Usman bin Affan

Usman bin Affan bin al-‘Ash bin Umayyah bin Abd Syam bin Abd Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib.  Sebagaimana para pendahulunya, Usman bin Affan berusaha menerapkan siyasah syar’iyyah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya,  sesuai dengan janji yang diminta Abdurrahman bin Auf ketika akan dibai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya pada masa enam tahun pertama pemerintahannya. Di samping melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan selama masa-masa ini seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dan lain-lain.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, Usman mulai “dikelilingi dan dikendalikan” kaum kerabatnya terutama kalangan bani Umayyah, para kaum thulaqa yang masuk Islam dalam kondisi yang tidak berdaya berhadapan dengan pasukan Rasulullah yang sedang berada dalam puncak keberhasilannya pada waktu fathu Makkah.  Karena kebijakan Usman dalam menjalankan pemerintahan diarahkan dan dikendalikan mereka, maka banyak yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang akibatnya membawa malapetaka bagi umat Islam bahkan bagi Usman sendiri.
Usman sangat berbaik hati kepada kerabat-kerabatnya yakni dengan memberikan uang, fasilitas, jabatan-jabatan penting, dan gaji besar dari yang diambil dari Baitul Mal. Inilah nepotisme pertama dalam sejarah pemerintahan Islam, dan karena nepotismenyalah maka Usman kehilangan nyawanya. Ketika kekuasaan itu telah berpusat di satu tangan, maka berlakulah adagium Lord Acton, “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Para pejabat pemerintahan Usman banyak melakukan tindakan sewenang-wenang, yang menimbulkan ketidakpuasan dan protes rakyat banyak serta menimbulkan kepahitan para sahabat senior terutama para ahli Badar. Sesungguhnya yang menimbulkan protes bagi rakyat dan para sahabat senior bukan semata-mata penumpukan kekuasaan pada keluarga Bani Umayyah, tetapi karena perilaku para pejabatnya yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam.

4.    Pemerintahan Ali bin Abi Thalib

Setelah Usman meninggal dunia, ketika itu tiada pilihan lain untuk dijadikan khalifah penerus Usman kecuali Ali bin Abi Thalib. Secara aklamasi, Ali dibai’at oleh anggota “dewan formatur” bentukan Umar yang masih ada, kemudian diikuti secara umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi. Segera setelah memegang tampuk kepemimpinan, naluri dan visi idealisme Qur’ani Ali mulai dicanangkan. Ali menyingkirkan para pejabat korup dan penindas rakyat serta menyelidiki kekayaan baitul maal yang telah diambil secara haram.
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak, tentu saja, situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa. Pada masa ini terjadi peperangan antar muslim. Sekalipun khalifah telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk.
Abdul Halim Mahmud mengatakan, “pada masa kekhalifahan Ali yang singkat, beliau berusaha untuk membimbing manusia menuju akhirat, tetapi mereka mengarah menuju dunia. Ali selalu dihadapkan pada pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, Ali berusaha menjalankan pemerintahan sesuai dengan sunnah Rasulullah, melanjutkan kebijakan dari para khalifah sebelumnya, mereformasi pemerintahan, meletakkan dasar-dasar gramatika bahasa Arab, memberikan khotbah-khotbah tentang ilmu agama, retorika, falsafah, dan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan.
Ali juga masih sempat memperkenalkan dan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, mengatur keamanan negara, membentuk lembaga-lembaga seperti lembaga keuangan umum, pengadilan, tentara,  demikian juga strategi pada perang Siffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.





PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari keempat khalifah tersebut memiliki karakter pemerintahan yang sama yaitu sesuai dengan sunnah Rasullullah, namun karena sosial budaya menyebabkan adanya perbedaan karakter dari keempat khalifah tersebut. Banyak hal yang dihadapi mereka yang tidak ada pada masa Nabi. Namun, mereka pun melakukan ekspansi wilayah dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membawa umat Islam menjadi lebih baik.

B.    Saran
Demikianlah makalah tentang “Potret Pemerintahan Khulafaur Rasyidin” yang dapat kelompok kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.  Amin.